(LENGKAP) “WAKAF DALAM ISLAM” : Definisi/Arti Wakaf, Dasar Hukum Wakaf, Syarat & Rukun Wakaf, Pahala Wakaf, Keutamaan/Keistimewaan
Wakaf, Wakaf Tunai, Wakaf Al-Qur’an, Wakaf Orang yang Terlilit
Utang, Lafadz (Ikrar) untuk Mengungkapkan Wakaf, Kapan Seseorang Telah
Teranggap Mewakafkan Hartanya?
(ditulis oleh: Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc.)
Majalah AsySyariah Edisi 075
Memahami Definisi Wakaf
Wakaf
secara bahasa bermakna الْحَبْسُ yang artinya tertahan. Adapun secara
istilah syariat, sebagian ulama menyebutkan bahwa wakaf adalah:
تَحْبِيْسُ الْأَصْلِ وَتَسْبِيْلُ اْلمَنْفَعَةِ
“Menahan suatu benda dan membebaskan/mengalirkan manfaatnya.”
Maksud dari definisi di atas adalah sebagai berikut.
1. Menahan adalah kebalikan dari membebaskan. Dengan demikian, menahan
bendanya berarti menahan atau membekukan benda dari berbagai bentuk
kepemilikan.
2. Yang dimaksud dengan benda dalam definisi di atas adalah segala
sesuatu yang bisa diambil manfaatnya, dengan mempertahankan bendanya
(tidak habis/hilang bendanya setelah diambil manfaatnya). Contohnya,
rumah, pohon, tanah, mobil, dan semisalnya.
Asy-Syaikh Abdullah al-Bassam Rahimahullah mengatakan, “Benda yang
hilang/habis zatnya setelah dimanfaatkan disebut sebagai sedekah, bukan
wakaf.” (Taudhihul Ahkam)
3. Kalimat “membebaskan manfaatnya” ialah
untuk membedakan antara wakaf dengan gadai dan yang semisalnya. Gadai, meskipun memiliki kesamaan dalam hal menahan bendanya, namun memiliki perbedaan dalam hal tidak diambil manfaatnya.
4. Manfaat yang dimaksud dalam definisi di atas adalah penggunaan dan
hasil dari benda tersebut, seperti hasil panen, uang yang dihasilkan
dari pemanfaatannya sebagai tempat tinggal, dan yang semisalnya. Oleh
karena itu, hibah tidak masuk dalam definisi ini. Hibah adalah pemberian
bendanya, sedangkan wakaf hanyalah mengambil manfaat atau hasil dari
harta tersebut.
Contohnya, seseorang mewakafkan rumahnya untuk orang-orang miskin. Harta
yang berupa rumah tersebut ditahan sehingga tidak dijual, diberikan,
atau diwariskan. Manfaatnya diberikan untuk orang miskin secara mutlak.
Siapa saja yang tergolong orang miskin berhak untuk memanfaatkannya.
(Lihat al-Mughni, Minhajus Salikin, asy-Syarhul Mumti’, dan Mulakhas
al-Fiqhi)
Dasar Hukum Wakaf
Disyariatkannya wakaf di antaranya ditunjukkan oleh dalil-dalil sebagai berikut.
1. Dalil dari al-Qur’an
Secara umum wakaf ditunjukkan oleh firman AllahTa’ala :
“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai dan apa
saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali
‘Imran: 92)
Begitu pula ditunjukkan oleh firman-Nya:
“Apa saja harta yang baik yang kalian infakkan, niscaya kalian akan
diberi pahalanya dengan cukup dan kalian sedikit pun tidak akan dianiaya
(dirugikan).” (al-Baqarah: 272)
2. Dalil dari al-Hadits
Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-’Utsaimin Rahimahullah mengatakan,
“Yang menjadi pijakan dalam masalah ini (wakaf) adalah bahwasanya Amirul
Mukminin Umar bin al-Khaththab Radhiyallaahu ‘anhu memiliki tanah di
Khaibar. Tanah tersebut adalah harta paling berharga yang beliau miliki.
Beliau pun datang menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam
untuk meminta pendapat beliau Shallallaahu ‘alaihi Wasallam tentang
apa yang seharusnya dilakukan (dengan tanah tersebut)—karena para
sahabat g adalah orang-orang yang senantiasa menginfakkan harta yang
paling mereka sukai. Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam memberikan
petunjuk kepada beliau untuk mewakafkannya dan mengatakan,
إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا، وَتَصَدَقْتَ بِهَا
“Jika engkau mau, engkau tahan harta tersebut dan engkau sedekahkan hasilnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Ini adalah wakaf pertama dalam Islam. Cara seperti ini tidak dikenal di masa jahiliah.” (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
Disyariatkannya wakaf juga ditunjukkan oleh hadits:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ
إِلاّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ
صَالحِ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputus darinya amalnya
kecuali dari tiga hal (yaitu): dari sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, al-Imam an-Nawawi t berkata terkait dengan hadits ini,
“Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tentang benar/sahnya
wakaf dan besarnya pahalanya.” (al-Minhaj, Syarh Shahih Muslim)
3. Ijma’
Disyariatkannya wakaf ini juga ditunjukkan oleh ijma’, sebagaimana
diisyaratkan oleh al-Imam at-Tirmidzi t ketika menjelaskan hadits Umar
Radhiyallaahu ‘anhu tentang wakaf.
Beliau berkata, “Ini adalah hadits hasan sahih. Para ulama dari
kalangan para sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam dan yang
lainnya telah mengamalkan hadits ini. Di samping itu, kami tidak
menjumpai adanya perbedaan pendapat di kalangan orang-orang yang
terdahulu di antara mereka tentang dibolehkannya mewakafkan tanah dan
yang lainnya.” (Jami’ al-Imam at-Tirmidzi)
Wallahu a’lam.
Kapan Seseorang Telah Teranggap Mewakafkan Hartanya?
Wakaf akan terjadi atau teranggap sah dengan salah satu dari dua cara berikut.
1. Ucapan yang menunjukkan wakaf, seperti,
“Saya wakafkan bangunan ini,” atau, “Saya jadikan tempat ini sebagai masjid.”
2. Perbuatan yang menunjukkan wakaf, seperti menjadikan rumahnya sebagai
masjid dengan cara mengizinkan kaum muslimin secara umum untuk shalat
di dalamnya; atau menjadikan tanahnya menjadi permakaman dan membolehkan
setiap orang mengubur jenazah di tempat tersebut.
Ketika seseorang membangun masjid dan mengatakan kepada orang-orang
secara umum (disertai niat berwakaf), “Shalatlah di tempat ini!”,
berarti dia telah mewakafkan tempat tersebut meskipun dia tidak
mengucapkan, “Saya wakafkan tempat ini untuk masjid.”
Jika yang ia inginkan dari perbuatan tersebut sekadar meminjamkan
tempat yang dia bangun untuk shalat, dia harus menulis bahwa tempat
tersebut hanya dipinjamkan, sewaktu-waktu dibutuhkan akan diambil
kembali. Jadi, jika seseorang membangun tempat shalat di kebunnya dan
suatu saat ada orang yang shalat di tempat tersebut, tempat tersebut
tidak teranggap sebagai wakaf untuk masjid.
Begitu pula ketika seseorang memagar tanahnya dan mengatakan, “Barang
siapa yang ingin memakamkan jenazah silakan memakamkannya di tempat
ini.” Perbuatan tersebut menunjukkan wakaf meskipun dia tidak menulis di
pintu masuk kebunnya bahwa kebun tersebut adalah permakaman. (Lihat
asy-Syarhul Mumti’ dan Mulakhash Fiqhi)
Keistimewaan Wakaf
Di antara keistimewaan wakaf dibandingkan dengan sedekah dan hibah adalah dua hal berikut ini.
1. Terus-menerusnya pahala yang akan mengalir. Ini adalah tujuan wakaf dilihat dari sisi wakif (yang mewakafkan).
2. Terus-menerusnya manfaat dalam berbagai jenis kebaikan dan
tidak terputus dengan sebab berpindahnya kepemilikan. Ini adalah tujuan
wakaf dilihat dari kemanfaatannya bagi kaum muslimin.
Jadi, dalam hal ini wakaf memiliki
kelebihan dari sedekah lainnya dari sisi terus-menerusnya manfaat. Bisa
jadi, seseorang menginfakkan hartanya untuk fakir miskin yang
membutuhkan dan akan habis setelah digunakan. Suatu saat dia pun akan
mengeluarkan hartanya lagi untuk membantu orang miskin tersebut. Bisa
jadi pula, akan datang fakir miskin yang lainnya, namun pulang tanpa
mendapatkan apa yang diinginkannya.
Adalah kebaikan dan manfaat yang besar bagi masyarakat ketika
ada yang mewakafkan hartanya dan hasilnya diberikan untuk fakir miskin.
Bendanya tetap ada, namun manfaatnya terus dirasakan oleh yang
membutuhkan.
Di antara keistimewaan wakaf adalah terus-menerusnya manfaat
hingga generasi yang akan datang tanpa mengurangi hak atau merugikan
generasi sebelumnya. Demikian pula, wakif akan mendapat pahala yang
terus-menerus dan berlipat-lipat.
Oleh karena itu, kita dapatkan para sahabat adalah orang-orang yang
sangat bersemangat mewakafkan hartanya. Kita bisa melihat bagaimana
sahabat Umar bin al-Khaththab z, sebagaimana dalam hadits yang sudah
disebutkan. Beliau memiliki tanah yang sangat bernilai bagi beliau
karena hasil dan manfaatnya yang begitu besar. Namun, beliau
menginginkan harta itu untuk akhiratnya.
Beliau menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam untuk meminta
petunjuk tentang hal tersebut. NabiShallallaahu ‘alaihi Wasallam
menyarankan agar Umar menyedekahkannya. Sedekah tanpa dijual, ditukar,
atau dipindah, yaitu dengan memanfaatkan tanah tersebut dan hasilnya
disedekahkan untuk fakir miskin dan yang lainnya, sedangkan tanahnya
ditahan. Tanah itu tidak bisa diambil lagi oleh pemiliknya, tidak boleh
dibagikan untuk ahli warisnya, serta tidak boleh dijual dan dihibahkan.
Termasuk wakaf yang dilakukan oleh para sahabat adalah apa yang
disebutkan oleh sahabat Utsman bin ‘Affan z berikut. Ketika
NabiShallallaahu ‘alaihi Wasallam datang di kota Madinah dan tidak
menjumpai air yang enak rasanya selain air sumur yang dinamai Rumah,
beliau Shallallaahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ يَشْتَرِي بِئْرَ رُومَةَ فَيَجْعَلَ دَلْوَهُ مَعَ دِلَاءِ
الْمُسْلِمِينَ بِخَيْرٍ لَهُ مِنْهَا فِي الْجَنَّةِ. فَاشْتَرَيْتُهَا
مِنْ صُلْبِ مَالِي
“Tidaklah orang yang mau membeli sumur Rumah kemudian dia menjadikan
embernya bersama ember kaum muslimin (yaitu menjadikannya sebagai wakaf
dan dia tetap bisa mengambil air darinya) itu akan mendapat balasan
lebih baik dari sumber tersebut di surga.” Utsman mengatakan, “Aku pun
membelinya dari harta pribadiku.” (HR. at-Tirmidzi dan dinyatakan hasan
oleh asy-Syaikh al-Albani)
Bahkan, sahabat Jabir Radhiyallaahu ‘anhu sebagaimana dinukilkan dalam kitab al-Mughni mengatakan,
لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ n ذُوْ مَقْدَرَةٍ إِلاَّ وَقَفَ
“Tidak ada seorang pun di antara para sahabat Nabi yang memiliki
kemampuan (untuk berwakaf) melainkan dia akan mengeluarkan hartanya
untuk wakaf.”
Sebelumnya, tentu saja adalah panutan umat, Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi Wasallam. Beliau adalah suri teladan dalam seluruh kebaikan,
termasuk wakaf. Sahabat ‘Amr ibn al-Harits z mengatakan,
مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ n عِنْدَ مَوْتِهِ دِرْهَمًا وَلاَ
دِينَارًا وَلاَ عَبْدًا وَلاَ أَمَةً وَلاَ شَيْئًا إِلاَّ بَغْلَتَهُ
الْبَيْضَاءَ وَسِلاَحَهُ وَأَرْضًا جَعَلَهَا صَدَقَةً
“Setelah RasulullahShallallaahu ‘alaihi Wasallam wafat, beliau tidak
meninggalkan dirham, dinar, dan budak lelaki atau perempuan. Beliau
hanya meninggalkan seekor bighal (yang diberi nama) al-Baidha’, senjata,
dan tanah yang telah beliau jadikan sebagai sedekah.” (HR. al-Bukhari)
Al-Imam Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari menjelaskan riwayat ini,
“Beliau Shallallaahu ‘alaihi Wasallam menyedekahkan manfaat dari
tanahnya. Hukumnya adalah hukum wakaf.”
Kaum muslimin yang bersemangat mencontoh Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi Wasallam dan menginginkan keutamaan yang besar, tidak akan
menyia-nyiakan pintu kebaikan yang berupa wakaf ini, baik wakaf yang
ditujukan sebagai tempat ibadah maupun yang lainnya, berupa kegiatan
pendidikan, dakwah, dan sosial. Dengan izin Allah l, hal ini akan
menjadi kebaikan yang besar bagi kaum muslimin dan menjadi sebab baiknya
kehidupan sebuah masyarakat.
Sungguh, betapa besar manfaatnya bagi kaum muslimin ketika muncul
orang-orang yang mewakafkan hartanya untuk mendirikan pondok pesantren
atau tempat pendidikan yang mengajarkan hafalan al-Qur’an kepada
anak-anak kaum muslimin, tajwid, dan mempelajari kandungannya.
Begitu pula ketika orang-orang mewakafkan hartanya untuk operasional
belajar-mengajar di pondok-pondok pesantren dan membantu memenuhi
kebutuhan para pengajar. Tidak mustahil, nantinya akan bermunculan
ma’had-ma’had yang tidak lagi memungut biaya bagi yang belajar di sana.
Termasuk kebaikan yang sangat besar adalah adanya orang yang mau
mewakafkan hartanya untuk tempat tinggal para penuntut ilmu dan
membiayai kebutuhan mereka sehingga lebih tekun dalam menuntut ilmu dan
mengajarkannya. Demikian pula, adanya orang yang mengeluarkan hartanya
untuk mencetak kitab-kitab dan mewakafkannya kepada para penuntut ilmu.
Sangat diharapkan juga adanya orang yang mewakafkan hartanya dan
hasilnya disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan dana dari
kalangan fakir miskin atau untuk membiayai pengobatan orang-orang yang
tertimpa musibah dan yang semisalnya.
Begitu pula, diharapkan ada orang yang mewakafkan hartanya untuk
membuat sumber air/sumur, jalan umum, sarana transportasi, permakaman,
dan fasilitas umum lainnya.
Seandainya orang-orang yang memiliki kemampuan mau mewakafkan
hartanya, dengan izin Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, semua ini akan menjadi
suatu kebaikan dan manfaat yang besar bagi kaum muslimin, serta bagi
berlangsungnya kegiatan dakwah, pendidikan. Hal ini juga akan membantu
perekonomian masyarakat, di samping berbagai manfaat lainnya.
Syarat dan Rukun Wakaf
Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah menyebutkan dalam kitab beliau Raudhatuth Thalibin bahwa rukun wakaf ada empat, yaitu:
1. Al-waqif (orang yang mewakafkan),
2. Al-mauquf (harta yang diwakafkan),
3. Al-mauquf ‘alaih (pihak yang dituju dari wakaf tersebut), dan
4. Shighah (lafadz dari yang mewakafkan).
Adapun penjelasan dari keempat rukun tersebut sebagaimana disebutkan
dalam kitab-kitab para ulama di antaranya adalah sebagai berikut.
Al-Waqif (Orang yang Mewakafkan)
Disyaratkan agar wakif adalah:
a. Orang yang berakal dan dewasa pemikirannya (rasyid).
Oleh karena itu, jika ada orang gila yang mengatakan, “Aku wakafkan rumahku”, wakafnya tidak sah.
b. Sudah berusia baligh dan bisa bertransaksi.
Jika ada anak kecil yang belum baligh meskipun sudah mumayyiz
mengatakan, “Aku wakafkan rumahku untuk penuntut ilmu”, wakafnya tidak
sah.
c. Orang yang merdeka (bukan budak).
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menyebutkan dalam Mulakhas Fiqhi,
“Disyaratkan bagi orang yang wakaf, ia adalah orang yang transaksinya
diterima (bisa menggunakan harta), yaitu dalam keadaan sudah baligh,
merdeka, dan dewasa pemikirannya (rasyid). Maka dari itu, tidak sah
wakaf yang dilakukan oleh anak yang masih kecil, orang yang idiot, dan
budak.” (al-Mulakhash)
Asy-Syaikh al-‘Utsaimin t menegaskan, “Seandainya dia adalah seorang
yang baligh, berakal namun dungu yaitu tidak bisa menggunakan hartanya
(karena tidak normal berpikirnya), tidak sah wakafnya karena dia tidak
bisa menggunakan hartanya. Oleh karena itu, sebagaimana tidak sah ketika
dia menjual hartanya maka sedekah dia dengan hartanya lebih pantas
untuk tidak diperbolehkan.” (asy-Syarhul Mumti’)
Wakaf Orang yang Terlilit Utang
Apakah disyaratkan orang yang wakaf adalah orang yang tidak terlilit utang yang bisa menyita seluruh hartanya?
Dalam hal ini ada khilaf di antara ulama. Asy-Syaikh al-‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan,
“Yang
benar dalam masalah ini, tidak sah sedekahnya, karena orang yang
terlilit utang yang akan menyita seluruh hartanya adalah orang yang
sedang tersibukkan dengan utang. Sementara itu, membayar utang hukumnya
adalah wajib sedangkan bersedekah hukumnya adalah sunnah. Maka tidak
mungkin kita menggugurkan yang wajib karena amalan yang sunnah.”
(asy-Syarhul Mumti’)
Al-Mauquf (Harta yang Diwakafkan)
Berdasarkan jenis benda yang diwakafkan, maka wakaf terbagi menjadi tiga macam:
a. Wakaf berupa benda yang diam/tidak bergerak, seperti tanah, rumah,
toko, dan semisalnya. Telah sepakat para ulama tentang disyariatkannya
wakaf jenis ini.
b. Wakaf benda yang bisa dipindah/bergerak, seperti mobil, hewan, dan
semisalnya. Termasuk dalil yang menunjukkan bolehnya wakaf jenis ini
adalah hadits:
وَأَمَّا خَالِدٌ فَقَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Adapun Khalid maka dia telah mewakafkan baju besinya dan pedang (atau
kuda)-nya di jalan Allah Ta’ala.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Rahimahullah berkata, “Hewan
termasuk benda yang bisa dimanfaatkan. Kalau berupa hewan tunggangan
maka bisa dinaiki dan kalau berupa hewan yang bisa diambil susunya maka
bisa dimanfaatkan susunya.”
c. Wakaf berupa uang.
Tentang wakaf ini, asy-Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin t mengatakan,
“Yang
benar adalah boleh mewakafkan uang untuk dipinjamkan bagi yang
membutuhkan. Tidak mengapa ini dilakukan dan tidak ada dalil yang
melarang. Semua ini dalam rangka menyampaikan kebaikan untuk orang
lain.” (Lihat Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 77, Taudhihul Ahkam, dan asy-Syarhul Mumti’)
Wakaf uang dengan maksud seperti ini juga disebutkan kebolehannya dalam Fatwa al-Lajnah ad-Daimah no. 1202.
Di antara hal yang juga harus diperhatikan dari harta yang akan diwakafkan adalah:
1. Harta tersebut telah diketahui dan ditentukan bendanya.
Sesuatu yang diwakafkan adalah sesuatu yang sudah jelas dan ditetapkan.
Bukan sesuatu yang belum jelas bendanya, karena kalau demikian, tidak
sah wakafnya. Misalnya, Anda mengatakan, “Saya wakafkan salah satu rumah
saya.”
Wakaf seperti ini tidak sah karena rumah yang dia wakafkan belum
ditentukan, kecuali kalau mewakafkan sesuatu yang belum ditentukan namun
dari benda yang sama jenis dan keadaannya. Pendapat yang benar dalam
masalah ini adalah jika keadaan benda tersebut sama, wakafnya sah.
Contohnya, seseorang memiliki dua rumah yang sama dari segala sisinya.
Kemudian dia mengatakan, “Saya wakafkan salah satu rumah saya kepada
fulan.” Yang demikian ini tidak mengapa….” (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
2. Benda tersebut adalah milik yang mewakafkan.
Tidak boleh mewakafkan harta yang sedang dijadikan jaminan/digadaikan
kepada pihak lain. (Lihat Fatwa al-Lajnah ad-Daimah no. 17196)
3. Harta yang diwakafkan adalah benda yang bisa diperjualbelikan dan
bisa terus dimanfaatkan dengan tetap masih ada wujud bendanya.
Hal ini bukan berarti harta yang telah diwakafkan boleh
diperjualbelikan. Bahkan, para ulama dalam al-Lajnah ad-Daimah
sebagaimana pada fatwa no. 8376, 19300, dan yang lainnya menyebutkan
bahwasanya tidak diperbolehkan atau diharamkan menjual buku atau kitab
yang diwakafkan. Seseorang yang mengambilnya harus memanfaatkannya atau
dia berikan kepada orang yang akan memanfaatkannya. Tidak boleh baginya
untuk menukarnya dengan uang atau buku lainnya kecuali kalau dengan buku
lainnya yang juga telah diwakafkan.
Namun yang dimaksud dari poin yang ketiga ini adalah bahwa benda yang
hendak diwakafkan adalah sesuatu yang jenisnya bisa diperjualbelikan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Adapun sesuatu
yang tidak ada manfaatnya, tidak sah wakafnya, sebagaimana tidak sah
untuk diperjualbelikan. Apa faedahnya dari sesuatu yang diwakafkan namun
tidak ada manfaatnya? Seperti seseorang yang mewakafkan keledai yang
sudah sangat tua. Maka wakaf tersebut tidak ada manfaatnya karena tidak
bisa ditunggangi dan tidak bisa dimanfaatkan untuk membawa beban, bahkan
akan merugikan karena harus memberi makan hewan tersebut….”
(asy-Syarhul Mumti’)
Sebagian ulama menerangkan bahwa harta yang diwakafkan haruslah benda
yang manfaatnya harus terus-menerus. Berdasarkan pendapat ini, jika
harta yang diwakafkan berupa sesuatu yang manfaatnya terbatas waktunya,
wakafnya tidak sah.
Misalnya, seseorang menyewa rumah untuk jangka waktu sepuluh tahun.
Selanjutnya dia mewakafkan rumah tersebut pada seseorang. Dalam hal ini,
wakafnya tidak sah karena manfaatnya tidak terus-menerus, tetapi hanya
selama waktu sewa saja. Di sisi lain, rumah tersebut adalah rumah sewaan
dan tidak dimiliki oleh yang menyewa. Jadi, si penyewa hanya memiliki
manfaat dan tidak memiliki bendanya.
Di samping itu, sebagian ulama juga menerangkan bahwa harta yang tidak
mungkin untuk dimanfaatkan melainkan dengan menghabiskan bendanya
(seperti makanan, red.) maka tidak sah wakafnya. Di antara dalil yang
disebutkan oleh para ulama tentang hal ini adalah hadits:
إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا
“Jika engkau mau, engkau tahan harta tersebut.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa wakaf tidak bisa melainkan untuk aset yang bisa ditahan bendanya.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah ketika menjelaskan tentang
syarat sahnya wakaf, menyebutkan, “(Disyaratkan) agar aset/benda yang
diwakafkan adalah sesuatu yang bisa dimanfaatkan dengan pemanfaatan yang
terus-menerus dan tetap/masih ada bendanya. Karena itu, tidak sah wakaf
dari harta yang akan lenyap setelah dimanfaatkan, seperti makanan….”
(al-Mulakhas)
Al-Mauquf ‘alaih (Pihak yang Dituju/Dimaksud dari Wakaf)
Dipandang dari sisi pemanfaatannya, maka wakaf terbagi menjadi dua:
1. Wakaf yang sifatnya tertuju pada keluarga (individu).
Orang yang mewakafkan menginginkan agar manfaatnya diberikan kepada
orang-orang yang dia ingin berbuat baik kepadanya dari kalangan
kerabatnya. Tidak diragukan lagi bahwa wakaf ini termasuk kewajiban yang
terkandung dalam keumuman ayat yang memerintahkan berbuat baik kepada
kerabat.
2. Wakaf untuk amalan-amalan kebaikan.
Wakaf ini diarahkan untuk kemaslahatan masyarakat di suatu negeri.
Inilah jenis wakaf yang paling banyak dilakukan, seperti untuk masjid,
madrasah, dan semisalnya. (Lihat Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi
77)
Pembagian wakaf di atas—wallahu a’lam—ditunjukkan dalam hadits:
فَتَصَدَّقَ بهَا عُمَرُ فِي الفُقَرَاءِ، وَفِي القُرْبَى، وَفِي الرِّقَابِ، وَفِي سَبيلِ اللهِ، وَابْنِ السَّبِيْلِ، وَالضَّيْفِ
“Maka
bersedekahlah Umar
dengannya (tanah di Khaibar) yang manfaatnya diperuntukkan kepada fakir
miskin, kerabat, memerdekakan budak, jihad, musafir yang kehabisan
bekal, dan tamu.” (HR. al-Bukhari-Muslim)
Perlu diketahui pula bahwa wakaf pada dasarnya dimaksudkan untuk berbuat
kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, karena seorang yang
mewakafkan hartanya menginginkannya sebagai amalan yang tidak ada
hentinya setelah wafatnya. Orang yang mewakafkan hartanya tentunya
menginginkan dirinya akan terus memperoleh pahala sampaipun telah
meninggal dunia.
Dibangun di atas alasan ini, maka seseorang tidak diperbolehkan untuk
mewakafkan sesuatu dalam perkara yang diharamkan. Misalnya, mewakafkan
untuk sebagian anaknya saja dan tidak pada sebagian yang lainnya.
Seperti mengatakan, “Harta ini saya wakafkan untuk anak laki-laki saya
si fulan, atau untuk anak perempuan saya si fulanah tanpa untuk yang
lainnya.”
Hal ini menunjukkan dia melebihkan salah satu anaknya dalam pemberian
dari yang lainnya dan ini adalah perbuatan yang diharamkan. Sebagaimana
telah dimaklumi, tidak mungkin untuk mendekatkan diri pada Allah l
dengan perbuatan kemaksiatan. (Lihat Fatwa al-Lajnah no. 255, 17, 4412)
Asy-Syaikh as-Sa’di t berkata sebagaimana dinukil oleh penulis kitab
Taudhihul Ahkam, “Disyaratkannya untuk kebaikan dan untuk mendekatkan
diri kepada Allah l pada amalan wakaf menunjukkan bahwa wakaf untuk
sebagian ahli waris tanpa untuk sebagian lainnya adalah haram dan tidak
sah.”
Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata, “Wakaf yang berupa bangunan yang
dikeramatkan, adalah harta yang tidak ada pemiliknya, maka diarahkan
penggunaannya untuk kepentingan kaum muslimin. Hal ini karena wakaf
tidak sah kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah l serta dalam
bentuk ketaatan kepada Allah l dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, tidaklah
sah wakaf untuk pembangunan tempat yang dikeramatkan. Begitu pula
kuburan yang diberi lampu di atasnya, yang diagungkan, atau yang dituju
dalam bernazar atau dalam menjalankan ibadah haji serta diibadahi selain
Allah l dan dijadikan sesembahan selain Allah l. Ini semua adalah
perkara yang tidak ada satu pun yang menyelisihinya dari kalangan para
ulama dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka.” (Lihat Zadul Ma’ad
jilid 3)
Termasuk Syarat yang Batil
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan Hafizhahullah berkata, “(Termasuk dari
syarat sahnya wakaf adalah) agar wakaf tersebut untuk suatu kebaikan
karena maksud dari wakaf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah
Ta’ala. Misalnya, wakaf untuk masjid, jembatan, fakir miskin, sumber
air, buku-buku agama, dan kerabat. Tidak sah wakaf untuk selain
kebaikan, seperti wakaf untuk tempat-tempat ibadah orang kafir,
buku-buku ahlul bid’ah, wakaf untuk kuburan yang dikeramatkan dengan
memberi lampu di atasnya atau dengan diberi wewangian, atau wakaf untuk
penjaganya, karena semua itu merupakan bentuk membantu kemaksiatan dan
syirik, serta kekufuran.
Lafadz (Ikrar) untuk Mengungkapkan Wakaf
Adapun lafadz yang dengannya wakaf akan teranggap sah, para ulama membaginya menjadi dua bagian:
1. Lafadz yang sharih, yaitu lafadz yang dengan jelas menunjukkan wakaf dan tidak mengandung makna lain.
2. Lafadz kinayah, yaitu lafadz yang mengandung makna wakaf meskipun
tidak secara langsung dan memiliki makna lainnya, namun dengan
tanda-tanda yang mengiringinya menjadi bermakna wakaf.
Untuk lafadz yang pertama, maka cukup dengan diucapkannya akan berlaku
hukum wakaf. Adapun lafadz yang kedua ketika diucapkan akan berlaku
hukum wakaf jika diiringi dengan niat wakaf atau lafadz lain yang dengan
jelas menunjukkan makna wakaf. (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
Para ulama telah sepakat bahwasanya yang harus ada adalah lafadz dari
yang mewakafkan. Jadi, wakaf adalah akad yang sah dengan datang dari
satu arah. Adapun lafadz penerimaan (qabul) dari yang dituju dari wakaf
tersebut tidak menjadi rukunnya. (Lihat Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah
edisi 77)
Sumber:
http://asysyariah.com/dasar-hukum-wakaf.html
http://asysyariah.com/syarat-dan-rukun-wakaf.html