Labels

Sunday, February 16, 2014

Pengantar Redaksi ” Syiah Berlumuran Darah”

السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Hingga kini, Syiah masih dipahami oleh masyarakat awam sebagai “mazhab kelima” dalam Islam. Artinya, Syiah dianggap sekadar beda fikih dengan keumuman masyarakat muslim lainnya. Apalagi, Syiah acap menampilkan diri sebagai pembela ahlul bait, sebuah wajah yang terlihat “mulia”. Muncullah anggapan bahwa perbedaan Syiah dan Sunni (Ahlus Sunnah) adalah “sekadar” pembela dan bukan pembela Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika masih saja muncul pembelaan yang dilakukan sebagian masyarakat terhadap Syiah. Di kalangan elite Islam, malah gencar ajakan untuk menyatukan Sunni (baca: Islam) dengan Syiah. Jika orang-orang yang masih punya semangat terhadap Islam mau lebih dalam menyelami agama bentukan Yahudi ini, niscaya dia akan menentang keras Syiah. Membincangkan Syiah bukanlah semata soal kekhalifahan Ali. Bukan pula sesederhana bahwa Syiah melakukan kultus individu kepada Ali. Terlalu dangkal jika kita beranggapan seperti itu.
Syiah demikian sarat dengan ajaran menyimpang. Agama ini mengafirkan hampir seluruh sahabat, menganggap istri-istri Rasulullah Subhanahu wata’ala sebagai pelacur, menganggap imam-imam punya kedudukan tertinggi yang tidak dicapai nabi/rasul dan malaikat yang terdekat, menganggap imam-imam mereka sebagai pemilik dunia dan isinya, menganggap kenabian Muhammad salah alamat karena Jibril berkhianat dan tidak memberikannya kepada Ali radhiyallahu ‘anhu, serta sederet kesesatan lainnya. Itu semua baru dari satu sisi. Jika mau berkaca dari sisi sejarah, Syiahlah yang menjadi biang keladi pertumpahan darah di dalam Islam. Pembunuh Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu adalah pemeluk agama Majusi yang merupakan akar agama Syiah.
Pembantaian Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, adalah hasil provokasi tokoh Yahudi pendiri Syiah, Abdullah bin Saba’. Jatuhnya Daulah Abbasiah adalah hasil pengkhianatan perdana menterinya yang Syiah, dan sebagainya. Demikian juga sekarang ini, pembantaian muslimin di Yaman, Syria, bergolaknya suhu politik di Timur Tengah, pembantaian minoritas Ahwaz di Iran yang Sunni, juga tak lepas dari tangan Syiah yang berlumur darah.
Tidak cukupkah sejarah menyuguhkan episode demi episode berdarah Syiah, untuk kemudian kita “melek” terhadap Syiah? Orang-orang bisa tertipu dengan “heroisme” Syiah (baca: Iran) dalam “melawan” hegemoni AS di panggung politik dunia, tapi kami, Ahlus Sunnah tidak. Orang-orang bisa kagum dengan pasukan Hizbullah (baca: Syiah) yang “melawan” tentara pendudukan Israel, tapi kami tidak. Semua berita politik itu tak lebih hasil goreng-menggoreng penguasa opini dunia, Yahudi. Bagaimana pun, Syiah satu rahim dengan Yahudi. Yahudi akan sangat senang ada tangan (yang dianggap) Islam yang selalu menjadi duri dalam daging dalam tubuh Islam.
Walau Syiah terpecah menjadi beberapa sekte, namun mayoritasnya adalah sekte Imamiyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok ini terusmenerus menebarkan berbagai macam kesesatannya—termasuk nikah mut’ah yang dijadikan daya tarik. Lebih-lebih kini didukung Iran, Irak, dan Syria yang kendali politiknya berada di tangan mereka—Syiah Rafidhah. Oleh karena itu, jangan teriak-teriak toleransi jika tidak tahu Syiah sama sekali, jangan teriak-teriak kebebasan beragama dan berkeyakinan jika kita tidak paham agama “made in Yahudi” ini, jangan sok teriak persatuan dan ukhuwah jika itu hanya demi simpati berbuah kursi. Toleransi ada tempatnya. Namun, faktanya, tidak ada tempat untuk toleransi dengan Syiah.

 والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

 Sumber artikel : asysyariah.com

Ummu Habibah binti Abu Sufyan (wafat 44 H/664 M)

Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai wafat?

About us