Labels

Monday, September 30, 2013

Masya Allah!!! Masjid Kobe Tetap Tegar!

Masjid Kobe di Jepang
Kobe Mosque – Masjid Yang Bertahan dari Bom Atom dan Gempa Dahsyat

Kobe Mosque merupakan masjid pertama di Jepang. Masjid ini dibangun tahun 1928 di Nakayamate Dori, Chuo-ku. Kobe berarti gate of God atau gerbang Tuhan. Tahun 1945, Jepang terlibat perang Dunia Kedua. penyerangan Jepang atas pelabuhan Pearl Harbour di Amerika telah membuat pemerintah Amerika memutuskan untuk menjatuhkan bom atom pertama kali dalam sebuah peperangan.

Friday, September 27, 2013

INILAH AKAR SEJARAH MUNCULNYA PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL (JIL/ISLIB)

Akar dan Wajah Pemikiran Islam Liberal

Rimbun Natamarga

Banyak orang menyangka, Jaringan Islam liberal muncul belakangan ini akibat kemunculan kelompok-kelompok Islam fundamentalis di Indonesia. Buktinya, ketika pemerintah Orde Baru masih berkuasa, belum ada Jaringan Islam Liberal. Demikian pula dengan kelompok-kelompok Islam fundamentalis, pada waktu itu belum menjamur atau, katakanlah, belum muncul dan tersebar seperti sekarang ini.

Friday, September 20, 2013

Hadits tentang Penyebab Kusta

Hadits tentang Penyebab Kusta
[Tanggapan atas Pernyataan Ust. Nur Maulana]
oleh:
Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
(Pengasuh Pesantren Al-Ihsan Gowa)
Seusai membawakan pelajaran Bahasa Arab di Masjid Al-Ihsan, masjid milik pesantren Al-Ihsan Gowa, ada seorang teman bertanya, “Apakah ada hadits yang menjelaskan bahwa berjimak dengan istri di kala haidh akan menyebabkan kusta?”
Pertanyaan ini sangat perlu kami jawab, karena sekarang ini lagi marak diperbincangkan tentang penyakit kusta ini. Pasalnya, ada seorang ustadz yang bernama Nur Maulana mengeluarkan statement (pernyataan) bahwa orang yang berhubungan badan saat istri haidh akan menyebabkan anak yang lahir akan terkena penyakit kusta alias lepra.
Akhirnya, Perhimpunan Mandiri Kusta (PERMATA) mengajukan protes keras terhadap sang ustadz yang selama ini dielu-elukan oleh banyak orang. Mereka menilai bahwa hal itu merupakan diskriminasi[1].
Dengan protes keras itu, Sang Ustadz memberikan tanggapan balik, “Itu ada haditsnya. Aku minta maaf kalau dia tersinggung karena saya harus menyampaikannya”.[2]
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia, KH. Amidhan mengatakan bahwa ia selama ini belum menemukan hadits yang menyebutkan kalau hubungan intim saat menstruasi bisa menimbulkan penyakit kusta!!
Apa yang dinyatakan oleh KH Amidhan memang benar bahwa tak ada hadits yang shohih menjelaskan bahwa orang yang berhubungan di saat haidh akan melahirkan anak yang kusta!!
Kalau ada yang menyatakan bahwa ada haditsnya yang menyatakan hal itu –seperti yang diklaim oleh Ust. Nur Maulana-, maka kami katakan bahwa memang ada haditsnya. Hanya sayang haditsnya adalah hadits yang dho’if  (lemah)!!! Sementara hadits yang lemah bukanlah hujjah yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan aqidah, hukum dan segala urusan agama!!!!
Adapun hadits lemah tersebut, maka hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-, ia berkata, Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ وَطِئَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ، فَأَصَابَهُ جُذَامٌ فَلا يَلُومَنَّ إِلا نَفْسَهُ
“Barangsiapa yang menyetubuhi istrinya, sedang ia haidh, lalu ditetapkan (ditaqdirkan) bagi keduanya seorang anak, lalu si anak itu tertimpa penyakit kusta, maka janganlah ia (suami) mencela, kecuali dirinya sendiri”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Mu'jam Al-Awsath (no. 3300)]
Hadits ini dilemahkan oleh Ahli Hadits Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy di dalam kitabnya As-Silsilah Adh-Dho’ifah, karena beberapa sebab. Diantaranya, karena di dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bermasalah:
  1.  Muhammad bin Abis Sariy, seorang shoduq, hanya saja ia banyak memiliki kesalahan dalam meriwayatkan hadits.
  2. Al-Hasan bin Ash-Sholt tidak ditemukan biografinya.
  3. Bakr bin Sahl Ad-Dimyathiy dinyatakan lemah oleh An-Nasa’iy.[3]
Kesimpulannya, hadits ini lemah dengan tiga alasan ini!! Dari pembahasan tentang derajat hadits ini, maka disini harus kita pahami dan ingat kembali bahwa hadits yang lemah seperti ini tak boleh dijadikan dalil dan hujjah dalam menetapkan sesuatu dalam urusan agama.
Oleh karena itu, kelirulah Ust. Nur Maulana jika ia berhujjah dan berdalil dengan hadits lemah ini dalam menguatkan statement (pernyataan)nya tersebut. Bagaimana pun alasannya, maka tak boleh bagi kita berpegang dengan hadits itu dalam rangka menguatkan suatu perkara, sebab haditsnya lemah!!!
Jika kita ingin mengharamkan masalah berhubungan dengan istri saat haidh, maka cukuplah bagi kita dalam hal ini berdalil dengan ayat dan hadits-hadits yang shohih dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Allah -Ta’ala- berfirman,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ  [البقرة : 222]
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh[4]; dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. (QS. Al-Baqoroh : 222)[5]
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda kepada para suami di saat istrinya haidh,
اصنعوا كلَّ شيءٍ إلا النكاحَ
“Lakukanlah segala hal, kecuali berjimak”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (3/132) dan Muslim dalam Shohih-nya (302)]
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda dalam menjelaskan haramnya mendatangi istri pada duburnya dan haramnya mendatangi tempat haidh (yakni, kemaluan istri) saat ia haidh,
واتقوا الدبُرَ والحيضةَ
“Hindarilah dubur dan tempat haidh”. [HR. At-Tirmidziy (2980) dan Ahmad dalam Al-Musnad (1/297). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adab Az-Zifaf (hal. 31)]
Jadi, cukuplah ayat dan hadits-hadits yang shohih ini bagi kita dalam mengharamkan berhubungan dengan istri di masa haidh, tanpa perlu berpegang dengan hadits lemah, seperti yang dilakukan oleh Ust. Nur Maulana. Sikap si Ustadz ini jelas keliru!!
Hadits lemah seperti ini tak boleh kita sampaikan dalam rangka berhujjah dan berdalil dengannya. Adapun jika disampaikan dalam rangka menjelaskan kelemahannya, maka ini wajib dilakukan oleh orang-orang berilmu, demi menepis adanya sangkaan tentang ke-shohih-an hadits itu, seperti yang kami lakukan disini.
Semoga bermanfaat dan dapat dipahami semua wa shollallahu ala Nabiyyina wa ala alihi wa shohbihi ajma’in[6].

[1] Dalam tulisan ini kami tak akan mengomentari apakah pernyataan itu diskriminasi atau tidak. Yang kami akan jelaskan –insya Allah- tentang dasar dan dalil yang digunakan oleh  Ustadz Nur Maulana.
[2] Lihat detikforum, 21 Mei 2013 M
[3] Lihat Majma’ Az-Zawa’id (4/299) dan Siyar Al-A’lam An-Nubala’ (13/426)
[4] Maksudnya, menyetubuhi wanita di waktu haidh.
[5] Di dalam ayat ini menjelaskan alasan pelarangan, yakni karena haidh itu adalah kotoran dan najis. Ayat ini tak menjelaskan penyakit yang ditimbulkan akibat mendatangi wanita haidh, wallahu a’lam.
[6] Risalah ini kami rampungkan 14 Rajab 1434 H yang bertepatan dengan 24 Mei 2013 M, di rumah kami, Gowa. Semoga Allah memberkahinya

Sumber artikel: pesantren-alihsan.org

Thursday, September 19, 2013

Bagaimana Cara Mengajarkan Perkara Manhajiyah kepada Orang Awam?


Bagaimanakah metode terbaik yang semestinya ditempuh oleh seorang imam salafy dalam mengajarkan agama kepada orang-orang awam, terutama masalah-masalah  manhajiyyah. Misalnya kalau dia hendak mentahdzir awam dari bahaya orang tertentu atau kelompok tertentu.
Cara apakah yang harus ia tempuh untuk mengajarkan hal-hal tersebut. Apalagi keumuman manusia biasanya menjauh dari hal-hal seperti ini (yakni pengajaraan masalah-masalah manhajiyyah)?
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi rahimahullah menjawab sebagai berikut,

Sesungguhnya wajib atas para pengemban ilmu, baik ‘ulama maupun para penuntut ilmu yang kuat keilmuannya, wajib atas mereka untuk memberikan pengajaran kepada umat, dan menyampaikan risalah Allah kepada mereka, baik di lembaga-lembaga pendidikan, perguruan tinggi, masjid-masjid, perkumpulan (majelis-majelis ilmu), maupun melalui media-media syar’iyyah. Di sana ada media-media yang haram, ada pula media-media yang syar’iyyah. Maka apabila seorang muslim mendapatkan media yang syar’I hendaknya ia gunakan untuk berdakwah ke jalan Allah. Karena ‘ulama itu adalah pewaris para nabi. Sedangkan para nabi itu adalah para penyeru ke jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala.          Para nabi tersebut diutus oleh Allah untuk mengajak umat manusia kepada tauhid dan beriman kepada-Nya, serta mengimani hal-hal yang Allah wajibkan untuk diimani, yaitu beriman kepada para rasul, para malaikat, kitab-kitab, surga-neraka dan yang terkait dengannya berupa kebangkitan (dari alam kubur), adzab kubur, melewati ash-shirath, serta lainnya yang berhubungan dengan aqidah dan dakwah.
Dan wajib pula menyampaikan pengajaran secara rinci sesuai dengan kemampuan. Orang-orang awam dipahamkan dengan pengajaran secara rinci sesuai dengan kemampuan. Karena perkara-perkara yang aku sebutkan di atas, merupakan perkara-perkara prinsipil dan besar, tidak bisa tidak. Seseorang tidak bisa menjadi mukmin kecuali dengan perkara-perkara tersebut. Maka hendak dititikberatkan pada (pengajaran) perkara-perkara di atas. Berikutnya pengajaran tentang shalat secara rinci. Sehingga umat mengerti bagaimana cara beribadah kepada Rabb-nya dan bagaimana cara menegakkan rukun Islam yang kedua ini. Karena memang rukun yang pertama adalah syahadatain. Berikutnya pengajaran tentang zakat, shaum, dan haji. Lalu tentang hal-hal yang haram, seperti zina, perbuatan keji, minum khamr, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan cara yang haq (dibenarkan dalam syari’at), dan berbagai perbuatan haram lainnya yang wajib atas seorang mukmin untuk menjauhinya. Tak ketinggalan pula ghibah dan namimah (adu domba) serta dosa-dosa besar lainnya yang telah diperingatkan oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Disebutkan oleh Allah dalam kitab-Nya dan disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Banyak dari dosa-dosa tersebut diketahui oleh umat, baik awamnya maupun kalangan khusus. Namun apabila disampaikan hal-hal tersebut dengan ilmu, mendetail, dan disertai penyebutan dalil-dalilnya, maka itu menambah ilmu dan pengetahuan pada umat, serta semakin mengokohkan sikap takwa dan muraqabah (merasa senantiasa diawasi oleh Allah) di tengah-tengah umat.

Kemudian di tengah-tengah proses pengajaran di atas, apabila ada kebutuhan untuk mentahdzir dari bahaya bid’ah, maka bisa dilakukan tahdzir secara umum. Apabila di sana ada orang yang getol menyebarkan bid’ah dan kesesatan, maka bisa (ditahdzir bid’ah tersebut) dengan disebut bid’ahnya dan dinisbahkan kepada pengucapnya, dibantah dengan ilmu dan hikmah. Bukan untuk menjatuhkan, atau mencela; bukan pula untuk membingungkan umat. Karena maksud-maksud jelek tersebut justru menjadikan amalan ini berubah menjadi maksiat.

Seorang da’i bertaqarrub kepada Allah dengan amalan nasehat dan tahdzir seperti di atas. Dia meniatkannya karena mengharap wajah Allah dan dalam rangka melindungi umat dari bahaya yang mengancam agama mereka dan bisa menjerumuskan mereka dalam kemurkaan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Ini adalah niat yang sangat luhur. Dia meniatkan dengan amalan tersebut wajah Allah, memberikan manfaat kepada manusia, serta menjauhkan umat dari kejelekan dan hal-hal yang membahayakan mereka baik di dunia maupun di akhirat.
Adapun cara dan uslub, maka berbeda antara satu orang (da’i) dengan orang (da’i) lainnya. Untuk setiap kondisi, maka ada yang tepat untuk diterapkan sesuai dengan kondisi tersebut. Orang yang hadir di tempat tentu akan melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh orang yang tidak hadir. Beragamnya situasi akan menempa seseorang untuk bisa menentukan bagaimana dia berbicara, dan bagaimana dia menyelesaikan problem-problem yang ada. Sehingga tidak terpaku hanya pada satu cara, atau jumud (monoton) pada satu metode saja yang ia lakukan sepanjang hidupnya, tidak demikian. (Kemampuan itu) semata-mata merupakan pemberian dan karunia dari Allah. Allah memberikan taufiq kepada orang-orang (yang dikehendakinya), yang dengan mereka Allah memberikan manfaat (kepada umat manusia).
Seorang da’i (juru dakwah) ke jalan Allah, baik dia itu sebagai imam masjid atau yang lainnya, dia senantiasa berupaya untuk senantiasa meletakkan di pelupuk matanya (prinsip yang ada dalam firman Allah)
“Serulah (ajaklah) ke jalan Rabb-mu dengan hikmah, dan nasehat yang baik, serta debatilah mereka dengan cara yang lebih baik.”
Ayat ini menggariskan satu sisi penting dalam dakwah ke jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala. Bahkan ayat ini menggariskan prinsip-prinsip penting dalam dakwah ke jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala. Seorang muslim hendaknya meletakkannya di pelupuk matanya. Dengan prinsip tersebut dia mengatasi berbagai problem, memberikan faidah kepada umat, dan mengantarkan mereka kepada agama Allah yang benar. Ini yang bisa aku jelaskan menjawab pertanyaan di atas.
(Fatawa Fadhilatusy Syaikh Rabi’ I/218)
http://dammajhabibah.net/2013/09/15/bagaimana-cara-mengajarkan-perkara-manhajiyah-kepada-orang-awam/
 

Tuesday, September 17, 2013

Hakekat Konflik Yang Terjadi Di Mesir

asy-Syaikh Muhammad bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah

Muqaddimah
Banyak kalangan yang prihatin dengan kondisi di Mesir. Karena mereka melihat bahwa Presiden Muhammad Mursi, yang berasal dari partai yang berlabelkan Islam dan disebut-sebut sebagai tokoh yang memperjuangkan Islam, ternyata dikudeta oleh pihak militer. Tentu saja pembahasan tentang sebab-sebab dan alasan kudeta tersebut merupakan pembahasan rumit dan sangat terkait dengan situasi politik dalam negeri Mesir.
Namun terlepas dari itu, kita perlu tahu siapa sebenarnya Muhammad Mursi ini? Apakah benar dia seorang tokoh yang memang hendak memperjuangkan Islam? Benarkah berbagai aksi demo pembelaan terhadap Mursi ini berarti pembelaan terhadap Islam? Dan apakah benar dengan dilengserkannya Mursi berarti dilengserkannya Islam?
Seorang muslim dituntut untuk bersikap berdasarkan ilmu, yaitu ilmu yang benar berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah dengan manhaj salaful ummah. Sehingga segala sikap dan peniliannya berdasarkan prinsip tersebut. Bukan semata-mata karena emosi, semangat, perasaan, atau “yang penting Islam.”
Maka perlu kita mendengar bagaimana penjelasan para ‘ulama ahlus sunnah dalam masalah ini. Yaitu ‘ulama yang benar-benar berjalan di atas al-Kitab dan as-Sunnah dengan manhaj salaful ummah.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, mari kita ikuti penjelasan salah seorang ‘ulama ahlus sunnah dari Madinah asy-Syaikh Muhammad bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah. Beliau dikenal sebagai ‘ulama yang banyak mengetahui seluk-beluk ‘pergerakan-pergerakan Islam’. Kami terjemahkan penjelasan beliau ini dengan terjemahan bebas dan dengan sedikit diringkas. Juga kami lengkapi dengan catatan kaki pada beberapa kalimat yang membutuhkan penjelasan, untuk membantu pembaca memahaminya. Semoga bisa memberikan pencerahan kepada kita semua.
_____________

Pertanyaan : Ada sebagian pihak yang mengatakan, bahwa keberhasilan Ikhwanul Muslimin (IM) mencapai tampuk kepemimpinan [1] adalah seperti kemenangan kaum muslimin dalam perang Badr, dan tatkala IM lengser adalah seperti kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud. Sebagian pihak lagi mengatakan, bahwa ini adalah perang antara Islam lawan kekufuran.
Jawab : Kejadian (di Mesir) ini kami dengar sebagaimana anda mendengarnya. Namun berapa dari hukum (syari’at) Islam yang mereka (IM) terapkan? Sungguh demi Allah,
Pertama: Aku sebelum ini justru berangan-angan kalau IM (di Mesir) bisa menjalankan kekuasaannya selama 4 tahun! Dengan itu tidak ada lagi alasan sama sekali setelahnya. Yakni agar semua pihak menyaksikan apa yang mereka terapkan dari hukum-hukum Islam ini. [2]
Kedua: Perintah Allah yang pasti terlaksana dan kehendak-Nya pasti mengalahkan (segala kehendak makluk). Tidak ada yang bisa menolak keputusan dan hukum-Nya. Subhanahu wa Ta’ala. [3]
Ketiga: IM telah menjalankan kekuasaannya selama 1 tahun di mesir. Lihat apa yang mereka perbuat? [4]
Keempat: ____ (suara terputus) nashrani
Kelima: Sebelum memegang kekuasaan, sudah mengatakan bahwa hukum potong tangan dan hukum cambuk bukan bagian dari syari’at Islam! Itu hanyalah perkara ijtihadiyah!! Pernyataan ini ada dan terekam. Ini dinyatakan sebelum menang dalam pemilu. … maka bagaimana bisa kemenangan IM ini diserupakan dengan kemenangan pada perang Badr?
Kesimpulannya, mereka itu adalah para penyeru demokrasi sejak awal.
Bahkan aku sendiri mendengar dia mengatakan, bahwa hukum itu adalah milik rakyat, bersumber dari rakyat juga, bukan (milik /dari) Allah.
Di mana itu ayat
{إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاه} [يوسف: 40]
“Tidak ada hukum kecuali milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepada-Nya.” (Yusuf : 40) Yang mereka selama ini  menghujat kita (ahlus sunnah) [5], dan mereka mengkafirkan kaum muslimin karena tidak menerapkan ayat ini dalam penilaian mereka. [6]

Keenam: Jalan (cara) yang kalian buat (untuk bisa naik ke kursi kekuasaan), maka kalian terjatuh melalui jalan (cara) itu pula. Jalan (cara) yang kalian buat (untuk bisa naik ke kursi) adalah kalian menuntut/menyuarakan pembebasan (negeri Mesir), yang di antaranya sampai Yusuf al-Qaradhawi datang dan menyerukan itu di mimbar Jum’at! Dengan itu kalian (IM) berhasil naik ke kursi.  Maka sekarang pun kalian (IM) jatuh dengan cara yang sama, yaitu adanya tuntutan pembebasan (negeri Mesir) dari rakyat.

Ketujuh: Mereka sendiri menyatakan, bahwa kebebasan rakyat tidak boleh dibatasi. Sementara demo yang terjadi sekarang merupakan tuntutan kebebasan rakyat. Dalam undang-undang dinyatakan rakyat tidak boleh dibatasi kebebasannya. Maka mereka bebas menyatakan kemauannya. Kalian (IM) menuntut keinginan kalian. Namun kini mereka berhasil mengalahkan kalian. Maka, bukankah “hukum adalah milik rakyat”.?!

Kedelapan: Sebagaimana dikatakan dalam sebuah bait syair,
أعلمه الرماية كل يوم … فلما اشتد ساعده رماني
وكم علمتُه نظم القوافي … فلما قال قافية هجاني
“Aku ajari dia memanah setiap hari, namun ketika dia kuat tangannya dan sudah mahir memanah justru dia (balik) memanahku.
Sudah berapa banyak aku mengajarinya (cara) pembuatan syair, namun ketika dia telah bersyair, justru dia  menghujatku (dengan syair itu)”
(Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi melanjutkan): Sejak awal aku sudah katakan, bahwa IM akan meneguk dari gelas yang darinya Husni Mubaraki meneguk, bahkan lebih jelek lagi. [7]
رَأَيْتَ بَنِي الدُّنْيَا إِذَا مَا سَمَوْا بِهَا … هَوَتْ بِهِمُ الدُّنْيَا عَلَى قَدْرِ مَا سَمَوْا
Engkau lihat ahli dunia ketika dia berhasil tinggi (popular, terkenal, kaya, dll) dengan dunianya,
Maka dunia itu akan membuat dia terpelanting sesuai dengan ketinggian yang ia raih
Mereka menghendaki sesuatu, namun Allah Subhanahu wa Ta’ala
{يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُور} [غافر: 19]
“mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.”  (Ghafir : 19)
Kesembilan: Pemerintahan-pemerintahan yang ada ini – kata mereka (IM) – semuanya  adalah antek-antek Amerika, Yahudi, dan Israel. Namun anehnya, begitu memegang tampuk kekuasaan, IM langsung memperbaruhi dan menguatkan perjanjian persahabatan dan kerjasama dengan Yahudi!! Amerika-lah yang sejak awal menekan mereka. Maka tidaklah Mursi naik ke kursi kekuasaan kecuali setelah Amerika yakin bahwa pemerintahan Mursi tidak akan mengubah perjanjian damai dengan Israel!! Bagaimana pemerintahan-pemerintahan yang ada dinyatakan kafir, sementara yang memperbaruhi perjanjian tidak kafir?! Kami tidak mengkafirkan, (Ini berdasarkan kaedah mereka sendiri). Bagaimana Husni Mubarak, Anwar Sadat dinyatakan kafir karena mereka berdamai dengan Yahudi. Sementara yang memperbaruhi, mengokohkan dan memprogandakan perjanjian tersebut tidak dinyatakan kafir?
Partai sekuler di Turki tidak membuat perjanjian dengan Yahudi. Namun ketika Najmudin Erbankan (IM) naik, malah membuat perjanjian persekutuan militer dengan Yahudi!! Dan masih terus berlaku! Ketika pemerintahan IM berhasil digulingkan, maka perjanjian persekutuan militer tersebut langsung dihentikan.
Wahai saudaraku…
Aku tahu, sebenarnya sebagian saudara-saudara kita tidak suka dengan pembicaraan seperti ini. Karena ini membuka kejelekan-kejelekan. Padahal IM sebenarnya sudah sangat jelas berbagai penyimpangannya. Namun banyak dari umat ini yang lalai, seakan mereka tidak mengikutinya sebagaimana kami mengikutinya. Maka janganlah menyikapinya berdasarkan perasaan semata. Mungkin mereka menyaksikan itu semua (pernyimpangan-penyimpangan IM), namun mereka lupa. Maka umat ini perlu adanya orang-orang (para da’i) yang mengingatkan penyimpangan-penyimpangan yang muncul dari IM.

Sepuluh: Selalu meneriakkan “hukum, hukum, hukum”. Namun tatkala memegang tampuk, apa yang mereka (IM) perbuat? Apakah mereka melakukan perubahan. Apakah hukum Islam menjadi satu-satunya sumber hukum? Tidak!
Tatkala IM “berhasil” di Tunisia, apa yang terjadi? “Hilangkan Islam sebagai sumber hukum”. Islam tahakkum tidak ada pada mereka. Yang ada pada mereka adalah Islam hukum.
Tahukah kalian apa itu Islam hukum? Apa bedanya dengan Islam tahakkum?
Sebenarnya hukum yang mereka maukan adalah bahwa Ikhwanul Muslimin-lah yang meletakkan hukum (kebijakan).[8]
Sementara tahakkum adalah diterapkannya Islam. Maka Islam apakah yang mereka terapkan? Sama sekali mereka tidak menerapkan Islam!! Sampai-sampai seorang perempuan kafir heran terhadap mereka (IM). Karena memang mereka seolah mengangkat syiar Islam. Padahal mereka sama sekali tidak menerapkan Islam. Namun mereka memperjuangkan Islam hukum. Apa itu? Yaitu mengejar kursi!
Oleh karena itu, ketika terjadi konflik ini, salah seorang di antara mereka mengatakan, “Jatuhnya Mursi ini sebanding dengan Kesyirikan kepada Allah!” ya, dengan lafazh ini.
Wahai saudara-saudaraku,
Sekarang kalian tahu apa itu Islam hukum dan Islam tahakkum. Islam tahakkum adalah penerepan Islam secara hakiki, ini tidak mereka maukan. Karena ini berarti ‘menzhalimi kebebasan manusia’. Oleh karena ini, di Tunisia kedai-kedai minuman keras dan bar semakin menjamur!! Sampai-sampai seorang wanita kafir spanyol terheran-terheran dengan fenomena tersebut!
Adapun Islam hukum, adalah IM sampai ke kursi!! Sehingga merekapun berjuang mewujudkan Islam hukum, bukan Islam tahakkum.
Demi Allah, kalau sampai mereka memerintah kalian di negeri ini niscaya kalian melihat pemandangan yang lebih jelek dari sekarang. Aku memohon kepada Allah agar tidak mendatangkan orang-orang seperti mereka menguasai negeri ini!  Na’udzubillah min dzalik. Janganlah kalian tertipu dengan mereka (IM). Wajib atas kita semua untuk bahu membahu saling bergandengan tangan dengan pemerintah dan para ‘ulama ahlus sunnah yang ada. …
Semoga Allah menjauhkan dari kita berbagai fitnah, yang tampak maupun yang tersembunyi.
* * *
Kaum wanita tidak boleh masuk dalam urusan seperti ini. “Ada seorang wanita yang terbunuh di Iskandariyah, maka kaum wanita terpaksa keluar berdemo”, katanya. Ini tidak boleh. Jika ada orang-orang yang dizhalim terbunuh, maka Allah yang akan membela mereka. Adapun kalian kaum wanita ikut-ikutan berdemo, maka ini sesuatu yang bukan urusan/tugas kalian.
Allah Jalla wa ‘Ala berfirman kepada para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  – maka lebih-lebih wanita yang di bawah mereka kemuliaan dan keutamaannya – “Tinggallah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dengan cara berhias jahiliyah dulu.”
Seorang wanita itu aurat, apabila dia keluar maka akan diintai oleh syaithan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka bagaimana wanita keluar untuk sesuatu yang bukan urusannya, dan justru malah meninggalkan urusan (tugas/kewajiban)nya, yaitu urusan rumahnya, anak-anaknya, suaminya.
* * *
Namun Ikhwanul Muslimin tidak mengerti ini semua. Karena mereka tidak tahu kecuali “Islam hukum“, adapun “Islam tahakkum” maka mereka tidak mengakuinya, mereka mengingkarinya.  Mereka hanya tahu “Islam hukum“, yaitu mengejar kursi. Ini yang mereka perjuangkan. Sampai-sampai kalian dengar berbagai omongan dusta, “bahwa Nabi-lah yang mengangkat Mursi.”, dan banyak kedustaan lainnya.
Maka sungguh mengagumkanku pernyataan Muhammad Hamid al-Faqi, “Mereka itu adalah khawwanul muslimin (para pengkhianat kaum muslimin)”
download suara
_____________

Penutup
Dari penjelasan asy-Syaikh Muhammad bin Hadi hafizhahullah di atas, nyatalah kepada kita semua siapakah hakekat Muhammad Mursi sebenarnya, dan secara lebih umum lagi siapa dan bagaimana sepak terjang Ikhwanul Muslimin, khususnya di Mesir kali ini. Sehingga jelaslah kepada kita, bahwa konflik di Mesir, baik pihak yang dikudeta maupun pihak yang mengkudeta bukanlah pihak yang mewakili Islam dan sama-sama tidak memperjuangkan Islam. Konflik Mesir ini merupakan fitnah dan musibah.
Sehingga kaum muslimin secara umum, dan di Mesir secara khusus, sikap mereka yang benar adalah sebagaimana yang dinasehatkan oleh al-’Allamah asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah adalah menghindar dan menjauh dari fitnah ini. Nasehat beliau ini merupakan nasehat emas yang bersumber dari dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah serta tauladan dari as-Salafush Shalih.
Adapun ikut berkomentar tanpa ilmu, ikut bereaksi, ikut berdemo, maka itu bukanlah sikap yang benar, dan sama sekali tidak memberikan penyelesaian. Bahkan sebaliknya, sikap tersebut justru memperkeruh suasana. Semakin demo digencarkan, maka semakin kekerasan yang timbul bahkan pertumpahan darah. Akan semakin banyak korban berjatuhan. Kasus terakhir kejadian rabiah adawiyyah dan nahdhah kemarin, yang disebutkan 2200 jiwa melayang!! Allahul Musta’an. Janganlah kita terpedaya dengan pidato berapi-api dari “para tokoh Islam”, yang terus memberikan semangat kepada kaum muslimin untuk “berjihad”. Padahal hakekatnya para tokoh tersebut sangat tidak sayang kepada kaum muslimin, tidak menyadari betapa mahal dan berharganya darah seorang muslimin. Hati-hati dan waspadalah wahai saudaraku, dari paham khawarij yang sangat berbahaya!! Sejarah membuktikan, tidaklah paham tersebut kecuali memang berujung pada pedang dan pertumpahan darah!!
Apabila kita menyaksikan sepak terjang Ikhwanul Muslimin, sejak dulu, baik di Mesir dan di negeri-negeri lainnya, tampak jelas kepada kita bahwa mereka tidak menegakkan dinul Islam dengan sebenarnya. Dan inilah salah satu sebab terbesar kegagalan mereka di berbagai tempat. Karena di antara sebab kekuasaan dan kekokohan adalah menegakkan agama ini dengan sebenarnya.

[1]  Yaitu dengan berhasilnya Muhammad Mursi meraih kursi Presiden di Mesir.
[2]  Hal sebagaimana disaksikan oleh sejarah, baik di Sudan, Turki, Tunisia, dll, tatkala Ikhwanul Muslimin berhasil meraih kemenangan dalam politik, maka pada kenyataannya justru mereka tidak menerapkan syari’at/hukum Islam yang selama ini mereka teriakkan.
[3]  Yakni apa yang disampaikan oleh Syaikh di sini adalah berdasarkan prinsip dan manhaj Ikhwanul Muslimin yang memang banyak penyimpangan padanya, dan berdasarkan fakta sejarah. Bukan hendak mendahului taqdir Allah.
[4] Yaitu di Mesir. Apakah benar mereka menerapkan syari’at Islam ataukah tidak?
[5]  Yakni para ‘ulama ahlus sunnah mereka anggap tidak konsekuen dengan ayat ini.
[6]  Ini merupakan prinsip paham khawarij sejak awal kemunculan mereka. Dengan prinsip ini mereka mengkafirkan pihak-pihak yang mereka nilai tidak berhukum dengan hukum Allah. Termasuk pemerintah-pemerintah muslimin hari ini.
[7]  Yakni perjalanan IM tidak akan jauh berbeda dengan perjalanan Husni Mubarak. Disebabkan karena IM tidak mau berpegang kepada Islam yang benar, yaitu al-Kitab dan as-Sunnah berdasarkan pemahaman Salaful Ummah.
[8]  Yaitu slogan yang selama ini mereka teriakkan adalah “hukum Islam, hukum Islam.”  Seolah mereka menginginkan diterapkannya hukum Islam di muka bumi. Padahal hakekatnya tidak demikian. Karena fakta menunjukkan tatkala mereka berhasil meraih tampuk kepemimpinan, baik di parlemen maupun kepresidenan, ternyata mereka sama sekali tidak menerapkan hukum Islam. Jadi slogan “hukum Islam” yang mereka teriakkan hakekatnya tidak lebih sebagai alat atau kendaraan agar mereka bisa sampai ke kursi kekuasaan.

Sumber artikel: salafy.or.id

Tuesday, September 10, 2013

(LENGKAP) “WAKAF DALAM ISLAM” : Definisi/Arti Wakaf, Dasar Hukum Wakaf, Syarat & Rukun Wakaf, Pahala Wakaf, Keutamaan/Keistimewaan Wakaf, Macam-macam Wakaf, Wakaf Tunai, Wakaf Uang, Wakaf Al-Qur’an, Wakaf Orang yang Terlilit Utang, Lafadz (Ikrar) untuk Mengungkapkan Wakaf, Kapan Seseorang Telah Teranggap Mewakafkan Hartanya?

(LENGKAP) “WAKAF DALAM ISLAM” : Definisi/Arti Wakaf, Dasar Hukum Wakaf, Syarat & Rukun Wakaf, Pahala Wakaf, Keutamaan/Keistimewaan Wakaf, Wakaf Tunai, Wakaf Al-Qur’an, Wakaf Orang yang Terlilit Utang, Lafadz (Ikrar) untuk Mengungkapkan Wakaf, Kapan Seseorang Telah Teranggap Mewakafkan Hartanya?

(ditulis oleh: Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc.)
Majalah AsySyariah Edisi 075

Memahami Definisi Wakaf

Wakaf secara bahasa bermakna الْحَبْسُ yang artinya tertahan. Adapun secara istilah syariat, sebagian ulama menyebutkan bahwa wakaf adalah:
تَحْبِيْسُ الْأَصْلِ وَتَسْبِيْلُ اْلمَنْفَعَةِ
“Menahan suatu benda dan membebaskan/mengalirkan manfaatnya.”
Maksud dari definisi di atas adalah sebagai berikut.
1. Menahan adalah kebalikan dari membebaskan. Dengan demikian, menahan bendanya berarti menahan atau membekukan benda dari berbagai bentuk kepemilikan.
2. Yang dimaksud dengan benda dalam definisi di atas adalah segala sesuatu yang bisa diambil manfaatnya, dengan mempertahankan bendanya (tidak habis/hilang bendanya setelah diambil manfaatnya). Contohnya, rumah, pohon, tanah, mobil, dan semisalnya.
Asy-Syaikh Abdullah al-Bassam Rahimahullah mengatakan, “Benda yang hilang/habis zatnya setelah dimanfaatkan disebut sebagai sedekah, bukan wakaf.” (Taudhihul Ahkam)
3. Kalimat “membebaskan manfaatnya” ialah untuk membedakan antara wakaf dengan gadai dan yang semisalnya. Gadai, meskipun memiliki kesamaan dalam hal menahan bendanya, namun memiliki perbedaan dalam hal tidak diambil manfaatnya.
4. Manfaat yang dimaksud dalam definisi di atas adalah penggunaan dan hasil dari benda tersebut, seperti hasil panen, uang yang dihasilkan dari pemanfaatannya sebagai tempat tinggal, dan yang semisalnya. Oleh karena itu, hibah tidak masuk dalam definisi ini. Hibah adalah pemberian bendanya, sedangkan wakaf hanyalah mengambil manfaat atau hasil dari harta tersebut.
Contohnya, seseorang mewakafkan rumahnya untuk orang-orang miskin. Harta yang berupa rumah tersebut ditahan sehingga tidak dijual, diberikan, atau diwariskan. Manfaatnya diberikan untuk orang miskin secara mutlak. Siapa saja yang tergolong orang miskin berhak untuk memanfaatkannya. (Lihat al-Mughni, Minhajus Salikin, asy-Syarhul Mumti’, dan Mulakhas al-Fiqhi)

Dasar Hukum Wakaf

Disyariatkannya wakaf di antaranya ditunjukkan oleh dalil-dalil sebagai berikut.
1. Dalil dari al-Qur’an
Secara umum wakaf ditunjukkan oleh firman AllahTa’ala :
“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali ‘Imran: 92)
Begitu pula ditunjukkan oleh firman-Nya:
“Apa saja harta yang baik yang kalian infakkan, niscaya kalian akan diberi pahalanya dengan cukup dan kalian sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (al-Baqarah: 272)
2. Dalil dari al-Hadits
Asy-Syaikh Muhammad ibn Shalih al-’Utsaimin Rahimahullah mengatakan, “Yang menjadi pijakan dalam masalah ini (wakaf) adalah bahwasanya Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab Radhiyallaahu ‘anhu memiliki tanah di Khaibar. Tanah tersebut adalah harta paling berharga yang beliau miliki. Beliau pun datang menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam  untuk meminta pendapat beliau Shallallaahu ‘alaihi Wasallam   tentang apa yang seharusnya dilakukan (dengan tanah tersebut)—karena para sahabat g adalah orang-orang yang senantiasa menginfakkan harta yang paling mereka sukai. Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam   memberikan petunjuk kepada beliau untuk mewakafkannya dan mengatakan,
إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا، وَتَصَدَقْتَ بِهَا
“Jika engkau mau, engkau tahan harta tersebut dan engkau sedekahkan hasilnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Ini adalah wakaf pertama dalam Islam. Cara seperti ini tidak dikenal di masa jahiliah.” (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
Disyariatkannya wakaf juga ditunjukkan oleh hadits:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ إِلاّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالحِ يَدْعُوْ لَهُ
“Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputus darinya amalnya kecuali dari tiga hal (yaitu): dari sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, al-Imam an-Nawawi t berkata terkait dengan hadits ini, “Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tentang benar/sahnya wakaf dan besarnya pahalanya.” (al-Minhaj, Syarh Shahih Muslim)
3. Ijma’
Disyariatkannya wakaf ini juga ditunjukkan oleh ijma’, sebagaimana diisyaratkan oleh al-Imam at-Tirmidzi t ketika menjelaskan hadits Umar Radhiyallaahu ‘anhu tentang wakaf.
Beliau berkata, “Ini adalah hadits hasan sahih. Para ulama dari kalangan para sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam   dan yang lainnya telah mengamalkan hadits ini. Di samping itu, kami tidak menjumpai adanya perbedaan pendapat di kalangan orang-orang yang terdahulu di antara mereka tentang dibolehkannya mewakafkan tanah dan yang lainnya.” (Jami’ al-Imam at-Tirmidzi)
Wallahu a’lam.

Kapan Seseorang Telah Teranggap Mewakafkan Hartanya?

Wakaf akan terjadi atau teranggap sah dengan salah satu dari dua cara berikut.
1. Ucapan yang menunjukkan wakaf, seperti, “Saya wakafkan bangunan ini,” atau, “Saya jadikan tempat ini sebagai masjid.”
2. Perbuatan yang menunjukkan wakaf, seperti menjadikan rumahnya sebagai masjid dengan cara mengizinkan kaum muslimin secara umum untuk shalat di dalamnya; atau menjadikan tanahnya menjadi permakaman dan membolehkan setiap orang mengubur jenazah di tempat tersebut.
Ketika seseorang membangun masjid dan mengatakan kepada orang-orang secara umum (disertai niat berwakaf), “Shalatlah di tempat ini!”, berarti dia telah mewakafkan tempat tersebut meskipun dia tidak mengucapkan, “Saya wakafkan tempat ini untuk masjid.”
Jika yang ia inginkan dari perbuatan tersebut sekadar meminjamkan tempat yang dia bangun untuk shalat, dia harus menulis bahwa tempat tersebut hanya dipinjamkan, sewaktu-waktu dibutuhkan akan diambil kembali. Jadi, jika seseorang membangun tempat shalat di kebunnya dan suatu saat ada orang yang shalat di tempat tersebut, tempat tersebut tidak teranggap sebagai wakaf untuk masjid.
Begitu pula ketika seseorang memagar tanahnya dan mengatakan, “Barang siapa yang ingin memakamkan jenazah silakan memakamkannya di tempat ini.” Perbuatan tersebut menunjukkan wakaf meskipun dia tidak menulis di pintu masuk kebunnya bahwa kebun tersebut adalah permakaman. (Lihat asy-Syarhul Mumti’ dan Mulakhash Fiqhi)

Keistimewaan Wakaf

Di antara keistimewaan wakaf dibandingkan dengan sedekah dan hibah adalah dua hal berikut ini.
1. Terus-menerusnya pahala yang akan mengalir. Ini adalah tujuan wakaf dilihat dari sisi wakif (yang mewakafkan).
2. Terus-menerusnya manfaat dalam berbagai jenis kebaikan dan tidak terputus dengan sebab berpindahnya kepemilikan. Ini adalah tujuan wakaf dilihat dari kemanfaatannya bagi kaum muslimin.
 Jadi, dalam hal ini wakaf memiliki kelebihan dari sedekah lainnya dari sisi terus-menerusnya manfaat. Bisa jadi, seseorang menginfakkan hartanya untuk fakir miskin yang membutuhkan dan akan habis setelah digunakan. Suatu saat dia pun akan mengeluarkan hartanya lagi untuk membantu orang miskin tersebut. Bisa jadi pula, akan datang fakir miskin yang lainnya, namun pulang tanpa mendapatkan apa yang diinginkannya.
Adalah kebaikan dan manfaat yang besar bagi masyarakat ketika ada yang mewakafkan hartanya dan hasilnya diberikan untuk fakir miskin. Bendanya tetap ada, namun manfaatnya terus dirasakan oleh yang membutuhkan.
Di antara keistimewaan wakaf adalah terus-menerusnya manfaat hingga generasi yang akan datang tanpa mengurangi hak atau merugikan generasi sebelumnya. Demikian pula, wakif akan mendapat pahala yang terus-menerus dan berlipat-lipat.
Oleh karena itu, kita dapatkan para sahabat adalah orang-orang yang sangat bersemangat mewakafkan hartanya. Kita bisa melihat bagaimana sahabat Umar bin al-Khaththab z, sebagaimana dalam hadits yang sudah disebutkan. Beliau memiliki tanah yang sangat bernilai bagi beliau karena hasil dan manfaatnya yang begitu besar. Namun, beliau menginginkan harta itu untuk akhiratnya.
Beliau menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam untuk meminta petunjuk tentang hal tersebut. NabiShallallaahu ‘alaihi Wasallam menyarankan agar Umar menyedekahkannya. Sedekah tanpa dijual, ditukar, atau dipindah, yaitu dengan memanfaatkan tanah tersebut dan hasilnya disedekahkan untuk fakir miskin dan yang lainnya, sedangkan tanahnya ditahan. Tanah itu tidak bisa diambil lagi oleh pemiliknya, tidak boleh dibagikan untuk ahli warisnya, serta tidak boleh dijual dan dihibahkan.
Termasuk wakaf yang dilakukan oleh para sahabat adalah apa yang disebutkan oleh sahabat Utsman bin ‘Affan z berikut. Ketika NabiShallallaahu ‘alaihi Wasallam datang di kota Madinah dan tidak menjumpai air yang enak rasanya selain air sumur yang dinamai Rumah, beliau Shallallaahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ يَشْتَرِي بِئْرَ رُومَةَ فَيَجْعَلَ دَلْوَهُ مَعَ دِلَاءِ الْمُسْلِمِينَ بِخَيْرٍ لَهُ مِنْهَا فِي الْجَنَّةِ. فَاشْتَرَيْتُهَا مِنْ صُلْبِ مَالِي
“Tidaklah orang yang mau membeli sumur Rumah kemudian dia menjadikan embernya bersama ember kaum muslimin (yaitu menjadikannya sebagai wakaf dan dia tetap bisa mengambil air darinya) itu akan mendapat balasan lebih baik dari sumber tersebut di surga.” Utsman mengatakan, “Aku pun membelinya dari harta pribadiku.” (HR. at-Tirmidzi dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani)
Bahkan, sahabat Jabir Radhiyallaahu ‘anhu sebagaimana dinukilkan dalam kitab al-Mughni mengatakan,
لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ n ذُوْ مَقْدَرَةٍ إِلاَّ وَقَفَ
“Tidak ada seorang pun di antara para sahabat Nabi yang memiliki kemampuan (untuk berwakaf) melainkan dia akan mengeluarkan hartanya untuk wakaf.”
Sebelumnya, tentu saja adalah panutan umat, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam. Beliau adalah suri teladan dalam seluruh kebaikan, termasuk wakaf. Sahabat ‘Amr ibn al-Harits z mengatakan,
مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ n عِنْدَ مَوْتِهِ دِرْهَمًا وَلاَ دِينَارًا وَلاَ عَبْدًا وَلاَ أَمَةً وَلاَ شَيْئًا إِلاَّ بَغْلَتَهُ الْبَيْضَاءَ وَسِلاَحَهُ وَأَرْضًا جَعَلَهَا صَدَقَةً
“Setelah RasulullahShallallaahu ‘alaihi Wasallam wafat, beliau tidak meninggalkan dirham, dinar, dan budak lelaki atau perempuan. Beliau hanya meninggalkan seekor bighal (yang diberi nama) al-Baidha’, senjata, dan tanah yang telah beliau jadikan sebagai sedekah.” (HR. al-Bukhari)
Al-Imam Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari menjelaskan riwayat ini, “Beliau Shallallaahu ‘alaihi Wasallam menyedekahkan manfaat dari tanahnya. Hukumnya adalah hukum wakaf.”
Kaum muslimin yang bersemangat mencontoh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam dan menginginkan keutamaan yang besar, tidak akan menyia-nyiakan pintu kebaikan yang berupa wakaf ini, baik wakaf yang ditujukan sebagai tempat ibadah maupun yang lainnya, berupa kegiatan pendidikan, dakwah, dan sosial. Dengan izin Allah l, hal ini akan menjadi kebaikan yang besar bagi kaum muslimin dan menjadi sebab baiknya kehidupan sebuah masyarakat.
Sungguh, betapa besar manfaatnya bagi kaum muslimin ketika muncul orang-orang yang mewakafkan hartanya untuk mendirikan pondok pesantren atau tempat pendidikan yang mengajarkan hafalan al-Qur’an kepada anak-anak kaum muslimin, tajwid, dan mempelajari kandungannya.
Begitu pula ketika orang-orang mewakafkan hartanya untuk operasional belajar-mengajar di pondok-pondok pesantren dan membantu memenuhi kebutuhan para pengajar. Tidak mustahil, nantinya akan bermunculan ma’had-ma’had yang tidak lagi memungut biaya bagi yang belajar di sana.
Termasuk kebaikan yang sangat besar adalah adanya orang yang mau mewakafkan hartanya untuk tempat tinggal para penuntut ilmu dan membiayai kebutuhan mereka sehingga lebih tekun dalam menuntut ilmu dan mengajarkannya. Demikian pula, adanya orang yang mengeluarkan hartanya untuk mencetak kitab-kitab dan mewakafkannya kepada para penuntut ilmu.
Sangat diharapkan juga adanya orang yang mewakafkan hartanya dan hasilnya disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan dana dari kalangan fakir miskin atau untuk membiayai pengobatan orang-orang yang tertimpa musibah dan yang semisalnya.
Begitu pula, diharapkan ada orang yang mewakafkan hartanya untuk membuat sumber air/sumur, jalan umum, sarana transportasi, permakaman, dan fasilitas umum lainnya.
Seandainya orang-orang yang memiliki kemampuan mau mewakafkan hartanya, dengan izin Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, semua ini akan menjadi suatu kebaikan dan manfaat yang besar bagi kaum muslimin, serta bagi berlangsungnya kegiatan dakwah, pendidikan. Hal ini juga akan membantu perekonomian masyarakat, di samping berbagai manfaat lainnya.

Syarat dan Rukun Wakaf

Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah menyebutkan dalam kitab beliau Raudhatuth Thalibin bahwa rukun wakaf ada empat, yaitu:
1. Al-waqif (orang yang mewakafkan),
2. Al-mauquf (harta yang diwakafkan),
3. Al-mauquf ‘alaih (pihak yang dituju dari wakaf tersebut), dan
4. Shighah (lafadz dari yang mewakafkan).
Adapun penjelasan dari keempat rukun tersebut sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab para ulama di antaranya adalah sebagai berikut.

Al-Waqif (Orang yang Mewakafkan)

Disyaratkan agar wakif adalah:
a. Orang yang berakal dan dewasa pemikirannya (rasyid).
Oleh karena itu, jika ada orang gila yang mengatakan, “Aku wakafkan rumahku”, wakafnya tidak sah.
b. Sudah berusia baligh dan bisa bertransaksi.
Jika ada anak kecil yang belum baligh meskipun sudah mumayyiz mengatakan, “Aku wakafkan rumahku untuk penuntut ilmu”, wakafnya tidak sah.
c. Orang yang merdeka (bukan budak).
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menyebutkan dalam Mulakhas Fiqhi, “Disyaratkan bagi orang yang wakaf, ia adalah orang yang transaksinya diterima (bisa menggunakan harta), yaitu dalam keadaan sudah baligh, merdeka, dan dewasa pemikirannya (rasyid). Maka dari itu, tidak sah wakaf yang dilakukan oleh anak yang masih kecil, orang yang idiot, dan budak.” (al-Mulakhash)
Asy-Syaikh al-‘Utsaimin t menegaskan, “Seandainya dia adalah seorang yang baligh, berakal namun dungu yaitu tidak bisa menggunakan hartanya (karena tidak normal berpikirnya), tidak sah wakafnya karena dia tidak bisa menggunakan hartanya. Oleh karena itu, sebagaimana tidak sah ketika dia menjual hartanya maka sedekah dia dengan hartanya lebih pantas untuk tidak diperbolehkan.” (asy-Syarhul Mumti’)

Wakaf Orang yang Terlilit Utang

Apakah disyaratkan orang yang wakaf adalah orang yang tidak terlilit utang yang bisa menyita seluruh hartanya?
Dalam hal ini ada khilaf di antara ulama. Asy-Syaikh al-‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan, “Yang benar dalam masalah ini, tidak sah sedekahnya, karena orang yang terlilit utang yang akan menyita seluruh hartanya adalah orang yang sedang tersibukkan dengan utang. Sementara itu, membayar utang hukumnya adalah wajib sedangkan bersedekah hukumnya adalah sunnah. Maka tidak mungkin kita menggugurkan yang wajib karena amalan yang sunnah.” (asy-Syarhul Mumti’)

Al-Mauquf (Harta yang Diwakafkan)

Berdasarkan jenis benda yang diwakafkan, maka wakaf terbagi menjadi tiga macam:
a. Wakaf berupa benda yang diam/tidak bergerak, seperti tanah, rumah, toko, dan semisalnya. Telah sepakat para ulama tentang disyariatkannya wakaf jenis ini.
b. Wakaf benda yang bisa dipindah/bergerak, seperti mobil, hewan, dan semisalnya. Termasuk dalil yang menunjukkan bolehnya wakaf jenis ini adalah hadits:
وَأَمَّا خَالِدٌ فَقَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Adapun Khalid maka dia telah mewakafkan baju besinya dan pedang (atau kuda)-nya di jalan Allah Ta’ala.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Rahimahullah berkata, “Hewan termasuk benda yang bisa dimanfaatkan. Kalau berupa hewan tunggangan maka bisa dinaiki dan kalau berupa hewan yang bisa diambil susunya maka bisa dimanfaatkan susunya.”
c. Wakaf berupa uang.
Tentang wakaf ini, asy-Syaikh Muhammad al-‘Utsaimin t mengatakan, “Yang benar adalah boleh mewakafkan uang untuk dipinjamkan bagi yang membutuhkan. Tidak mengapa ini dilakukan dan tidak ada dalil yang melarang. Semua ini dalam rangka menyampaikan kebaikan untuk orang lain.” (Lihat Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 77, Taudhihul Ahkam, dan asy-Syarhul Mumti’)
Wakaf uang dengan maksud seperti ini juga disebutkan kebolehannya dalam Fatwa al-Lajnah ad-Daimah no. 1202.
Di antara hal yang juga harus diperhatikan dari harta yang akan diwakafkan adalah:
1. Harta tersebut telah diketahui dan ditentukan bendanya.
Sesuatu yang diwakafkan adalah sesuatu yang sudah jelas dan ditetapkan. Bukan sesuatu yang belum jelas bendanya, karena kalau demikian, tidak sah wakafnya. Misalnya, Anda mengatakan, “Saya wakafkan salah satu rumah saya.”
Wakaf seperti ini tidak sah karena rumah yang dia wakafkan belum ditentukan, kecuali kalau mewakafkan sesuatu yang belum ditentukan namun dari benda yang sama jenis dan keadaannya. Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah jika keadaan benda tersebut sama, wakafnya sah. Contohnya, seseorang memiliki dua rumah yang sama dari segala sisinya. Kemudian dia mengatakan, “Saya wakafkan salah satu rumah saya kepada fulan.” Yang demikian ini tidak mengapa….” (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
2. Benda tersebut adalah milik yang mewakafkan.
Tidak boleh mewakafkan harta yang sedang dijadikan jaminan/digadaikan kepada pihak lain. (Lihat Fatwa al-Lajnah ad-Daimah no. 17196)
3. Harta yang diwakafkan adalah benda yang bisa diperjualbelikan dan bisa terus dimanfaatkan dengan tetap masih ada wujud bendanya.
Hal ini bukan berarti harta yang telah diwakafkan boleh diperjualbelikan. Bahkan, para ulama dalam al-Lajnah ad-Daimah sebagaimana pada fatwa no. 8376, 19300, dan yang lainnya menyebutkan bahwasanya tidak diperbolehkan atau diharamkan menjual buku atau kitab yang diwakafkan. Seseorang yang mengambilnya harus memanfaatkannya atau dia berikan kepada orang yang akan memanfaatkannya. Tidak boleh baginya untuk menukarnya dengan uang atau buku lainnya kecuali kalau dengan buku lainnya yang juga telah diwakafkan.
Namun yang dimaksud dari poin yang ketiga ini adalah bahwa benda yang hendak diwakafkan adalah sesuatu yang jenisnya bisa diperjualbelikan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata, “Adapun sesuatu yang tidak ada manfaatnya, tidak sah wakafnya, sebagaimana tidak sah untuk diperjualbelikan. Apa faedahnya dari sesuatu yang diwakafkan namun tidak ada manfaatnya? Seperti seseorang yang mewakafkan keledai yang sudah sangat tua. Maka wakaf tersebut tidak ada manfaatnya karena tidak bisa ditunggangi dan tidak bisa dimanfaatkan untuk membawa beban, bahkan akan merugikan karena harus memberi makan hewan tersebut….” (asy-Syarhul Mumti’)
Sebagian ulama menerangkan bahwa harta yang diwakafkan haruslah benda yang manfaatnya harus terus-menerus. Berdasarkan pendapat ini, jika harta yang diwakafkan berupa sesuatu yang manfaatnya terbatas waktunya, wakafnya tidak sah.
Misalnya, seseorang menyewa rumah untuk jangka waktu sepuluh tahun. Selanjutnya dia mewakafkan rumah tersebut pada seseorang. Dalam hal ini, wakafnya tidak sah karena manfaatnya tidak terus-menerus, tetapi hanya selama waktu sewa saja. Di sisi lain, rumah tersebut adalah rumah sewaan dan tidak dimiliki oleh yang menyewa. Jadi, si penyewa hanya memiliki manfaat dan tidak memiliki bendanya.
Di samping itu, sebagian ulama juga menerangkan bahwa harta yang tidak mungkin untuk dimanfaatkan melainkan dengan menghabiskan bendanya (seperti makanan, red.) maka tidak sah wakafnya. Di antara dalil yang disebutkan oleh para ulama tentang hal ini adalah hadits:
إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا
“Jika engkau mau, engkau tahan harta tersebut.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa wakaf tidak bisa melainkan untuk aset yang bisa ditahan bendanya.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah ketika menjelaskan tentang syarat sahnya wakaf, menyebutkan, “(Disyaratkan) agar aset/benda yang diwakafkan adalah sesuatu yang bisa dimanfaatkan dengan pemanfaatan yang terus-menerus dan tetap/masih ada bendanya. Karena itu, tidak sah wakaf dari harta yang akan lenyap setelah dimanfaatkan, seperti makanan….” (al-Mulakhas)

Al-Mauquf ‘alaih (Pihak yang Dituju/Dimaksud dari Wakaf)

Dipandang dari sisi pemanfaatannya, maka wakaf terbagi menjadi dua:
1. Wakaf yang sifatnya tertuju pada keluarga (individu).
Orang yang mewakafkan menginginkan agar manfaatnya diberikan kepada orang-orang yang dia ingin berbuat baik kepadanya dari kalangan kerabatnya. Tidak diragukan lagi bahwa wakaf ini termasuk kewajiban yang terkandung dalam keumuman ayat yang memerintahkan berbuat baik kepada kerabat.
2. Wakaf untuk amalan-amalan kebaikan.
Wakaf ini diarahkan untuk kemaslahatan masyarakat di suatu negeri. Inilah jenis wakaf yang paling banyak dilakukan, seperti untuk masjid, madrasah, dan semisalnya. (Lihat Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 77)
Pembagian wakaf di atas—wallahu a’lam—ditunjukkan dalam hadits:
فَتَصَدَّقَ بهَا عُمَرُ فِي الفُقَرَاءِ، وَفِي القُرْبَى، وَفِي الرِّقَابِ، وَفِي سَبيلِ اللهِ، وَابْنِ السَّبِيْلِ، وَالضَّيْفِ
“Maka bersedekahlah Umar dengannya (tanah di Khaibar) yang manfaatnya diperuntukkan kepada fakir miskin, kerabat, memerdekakan budak, jihad, musafir yang kehabisan bekal, dan tamu.” (HR. al-Bukhari-Muslim)
Perlu diketahui pula bahwa wakaf pada dasarnya dimaksudkan untuk berbuat kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, karena seorang yang mewakafkan hartanya menginginkannya sebagai amalan yang tidak ada hentinya setelah wafatnya. Orang yang mewakafkan hartanya tentunya menginginkan dirinya akan terus memperoleh pahala sampaipun telah meninggal dunia.
Dibangun di atas alasan ini, maka seseorang tidak diperbolehkan untuk mewakafkan sesuatu dalam perkara yang diharamkan. Misalnya, mewakafkan untuk sebagian anaknya saja dan tidak pada sebagian yang lainnya. Seperti mengatakan, “Harta ini saya wakafkan untuk anak laki-laki saya si fulan, atau untuk anak perempuan saya si fulanah tanpa untuk yang lainnya.”
Hal ini menunjukkan dia melebihkan salah satu anaknya dalam pemberian dari yang lainnya dan ini adalah perbuatan yang diharamkan. Sebagaimana telah dimaklumi, tidak mungkin untuk mendekatkan diri pada Allah l dengan perbuatan kemaksiatan. (Lihat Fatwa al-Lajnah no. 255, 17, 4412)
Asy-Syaikh as-Sa’di t berkata sebagaimana dinukil oleh penulis kitab Taudhihul Ahkam, “Disyaratkannya untuk kebaikan dan untuk mendekatkan diri kepada Allah l pada amalan wakaf menunjukkan bahwa wakaf untuk sebagian ahli waris tanpa untuk sebagian lainnya adalah haram dan tidak sah.”
Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata, “Wakaf yang berupa bangunan yang dikeramatkan, adalah harta yang tidak ada pemiliknya, maka diarahkan penggunaannya untuk kepentingan kaum muslimin. Hal ini karena wakaf tidak sah kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah l serta dalam bentuk ketaatan kepada Allah l dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, tidaklah sah wakaf untuk pembangunan tempat yang dikeramatkan. Begitu pula kuburan yang diberi lampu di atasnya, yang diagungkan, atau yang dituju dalam bernazar atau dalam menjalankan ibadah haji serta diibadahi selain Allah l dan dijadikan sesembahan selain Allah l. Ini semua adalah perkara yang tidak ada satu pun yang menyelisihinya dari kalangan para ulama dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka.” (Lihat Zadul Ma’ad jilid 3)

Termasuk Syarat yang Batil

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan Hafizhahullah berkata, “(Termasuk dari syarat sahnya wakaf adalah) agar wakaf tersebut untuk suatu kebaikan karena maksud dari wakaf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Misalnya, wakaf untuk masjid, jembatan, fakir miskin, sumber air, buku-buku agama, dan kerabat. Tidak sah wakaf untuk selain kebaikan, seperti wakaf untuk tempat-tempat ibadah orang kafir, buku-buku ahlul bid’ah, wakaf untuk kuburan yang dikeramatkan dengan memberi lampu di atasnya atau dengan diberi wewangian, atau wakaf untuk penjaganya, karena semua itu merupakan bentuk membantu kemaksiatan dan syirik, serta kekufuran.

Lafadz (Ikrar) untuk Mengungkapkan Wakaf

Adapun lafadz yang dengannya wakaf akan teranggap sah, para ulama membaginya menjadi dua bagian:
1. Lafadz yang sharih, yaitu lafadz yang dengan jelas menunjukkan wakaf dan tidak mengandung makna lain.
2. Lafadz kinayah, yaitu lafadz yang mengandung makna wakaf meskipun tidak secara langsung dan memiliki makna lainnya, namun dengan tanda-tanda yang mengiringinya menjadi bermakna wakaf.
Untuk lafadz yang pertama, maka cukup dengan diucapkannya akan berlaku hukum wakaf. Adapun lafadz yang kedua ketika diucapkan akan berlaku hukum wakaf jika diiringi dengan niat wakaf atau lafadz lain yang dengan jelas menunjukkan makna wakaf. (Lihat asy-Syarhul Mumti’)
Para ulama telah sepakat bahwasanya yang harus ada adalah lafadz dari yang mewakafkan. Jadi, wakaf adalah akad yang sah dengan datang dari satu arah. Adapun lafadz penerimaan (qabul) dari yang dituju dari wakaf tersebut tidak menjadi rukunnya. (Lihat Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah edisi 77)
Sumber:
http://asysyariah.com/dasar-hukum-wakaf.html
http://asysyariah.com/syarat-dan-rukun-wakaf.html

Monday, September 9, 2013

[Audio] Menjalin Hubungan Terbaik Dengan Allah [Syaikh Sa'ad Asy-Syatsri]

Alhamdulillah acara Tabligh Akbar “Menjalin Hubungan Terbaik Dengan Allah” di Masjid Istiqlal Jakarta pada Ahad, 23 Juni  2013 berjalan dengan lancar. Puluhan ribu jama’ah menghadiri Tabligh Akbar yang diselenggarakan oleh Radio Rodja 756 AM dan Rodja TV tersebut. Pembicara utama dalam acara tersebut adalah Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri, salah seorang ulama kharismatik dari Saudi Arabia, beliau pernah menjadi anggota Lembaga Ulama Besar Saudi Arabia juga menjadi anggota Lembaga Pengkajian Ilmiyah dan Pemberian Fatwa di Saudi Arabia.
Bagi Anda yang tidak sempat menghadiri acara tersebut berikut kami hadirkan rekaman lengkap dari acara Tabligh Akbar teresebut. Semoga bermanfaat.


Friday, September 6, 2013

Download Audio: Cinta Rasulullah – Syaikh Abdurrazzaq bin Abdilmuhsin Al-Badr (Masjid Istiqlal Jakarta, 21 April 2013)

Rekaman audio tabligh akbar dengan tema Cinta Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersama Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr di Masjid Istiqlal Jakarta pada Ahad, 10 Jumadits Tsaniyah 1434 H /21 April 2013. Penerjemah kajian ini adalah Ustadz Badrusalam, dengan muqaddimah kajian bersama ustadz Hamzah Abbas.
Silakan download pada link berikut:
DOWNLOAD CINTA RASULULLAH – SYAIKH ABDURRAZZAQ
Sumber: RadioRodja.com
Diupload ulang oleh Tim Kajian.Net

Sumber: salafiyunpad.wordpress.com

Thursday, September 5, 2013

Subhanallah atau Masya Allah, Kadang Suka Terbalik!?

Subhanallah atau Masya Allah
Ungkapan Subhaanallah dianjurkan setiap kali seseorang melihat sesuatu yang tidak baik, dan dengan ucapan itu kita menetapkan bahwa Allah Maha Suci dari semua keburukan tersebut.
Kebalikannya dari ucapan Maasya Allah, yang diucapkan bila seseorang melihat yang indah-indah. Penggunaan kedua kalimat ini di tengah masyarakat Islam tanah air kerap terbalik-balik, kecuali pada sebagian orang yang mengerti ajaran Sunnah ini. Wallahu’alam
Footnote:  Ustadz Abu Umar Basyier di Buku Prahara Cinta hal. 173, Penerbit: Shafa Publika

Sumber: moslemsunnah.wordpress.com

Wednesday, September 4, 2013

Rukun-Rukun Shalat

Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syar’i dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.
Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.
Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan tidak sah dengan kesepakatan para ulama.
Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,
  1. Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk melakukannya kembali. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.
  2. Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa raka’at yang ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.
  3. Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi dari awal lagi karena ia tidak memasuki shalat dengan benar.

Rukun pertama: Berdiri bagi yang mampu

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu lagi, maka kerjakanlah dengan tidur menyamping.[1]

Rukun kedua: Takbiratul ihram

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Pembuka shalat adalah thoharoh (bersuci). Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam.[2]
Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah ucapan takbir “Allahu Akbar”. Ucapan takbir ini tidak bisa digantikan dengan ucapakan selainnya walaupun semakna.

Rukun ketiga: Membaca Al Fatihah di Setiap Raka’at

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Tidak ada shalat (artinya tidak sah) orang yang tidak membaca Al Fatihah.[3]

Rukun keempat dan kelima: Ruku’ dan thuma’ninah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya (sampai ia disuruh mengulangi shalatnya beberapa kali karena tidak memenuhi rukun),
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا
Kemudian ruku’lah dan thuma’ninahlah ketika ruku’.[4]
Keadaan minimal dalam ruku’ adalah membungkukkan badan dan tangan berada di lutut.
Sedangkan yang dimaksudkan thuma’ninah adalah keadaan tenang di mana  setiap persendian juga ikut tenang. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya sehingga ia pun disuruh untuk mengulangi shalatnya, beliau bersabda,
لاَ تَتِمُّ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يُسْبِغَ  … ثُمَّ يُكَبِّرُ فَيَرْكَعُ فَيَضَعُ كَفَّيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ وَتَسْتَرْخِىَ
Shalat tidaklah sempurna sampai salah seorang di antara kalian menyempurnakan wudhu, … kemudian bertakbir, lalu melakukan ruku’ dengan meletakkan telapak tangan di lutut sampai persendian yang ada dalam keadaan thuma’ninah dan tenang.”[5]
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa thuma’ninah adalah sekadar membaca dzikir yang wajib dalam ruku’.

Rukun keenam dan ketujuh: I’tidal setelah ruku’ dan thuma’ninah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,
ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا
Kemudian tegakkanlah badan (i’tidal) dan thuma’ninalah.[6]

Rukun kedelapan dan kesembilan: Sujud dan thuma’ninah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,
ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا
Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud.[7]
Hendaklah sujud dilakukan pada tujuh bagian anggota badan: [1,2] Telapak tangan kanan dan kiri, [3,4] Lutut kanan dan kiri, [5,6] Ujung kaki kanan dan kiri, dan [7] Dahi sekaligus dengan hidung.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: [1] Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), [2,3] telapak tangan kanan dan kiri, [4,5] lutut kanan dan kiri, dan [6,7] ujung kaki kanan dan kiri.

Rukun kesepuluh dan kesebelas: Duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا
Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari sujud dan thuma’ninalah ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali dan thuma’ninalah ketika sujud.[8]

Rukun keduabelas dan ketigabelas: Tasyahud akhir dan duduk tasyahud

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا قَعَدَ أَحَدُكُمْ فِى الصَّلاَةِ فَلْيَقُلِ التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ …
Jika salah seorang antara kalian duduk (tasyahud) dalam shalat, maka ucapkanlah “at tahiyatu lillah …”.[9]
Bacaan tasyahud:
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
At tahiyaatu lillah wash sholaatu wath thoyyibaat. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rohmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin. Asy-hadu an laa ilaha illallah, wa asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuluh.” (Segala ucapan penghormatan hanyalah milik Allah, begitu juga segala shalat dan amal shalih. Semoga kesejahteraan tercurah kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah dengan segenap karunia-Nya. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kami dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya) [10]
Apakah bacaan tasyahud “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” perlu diganti dengan bacaan “assalaamu ‘alan nabi”?
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya,
“Dalam tasyahud apakah seseorang membaca bacaan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” atau  bacaan “assalamu ‘alan nabi”? ‘Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan bahwa para sahabat dulunya sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, mereka mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi”. Namun setelah beliau wafat, para sahabat pun mengucapkan “assalamu ‘alan nabi”.
Jawab:
Yang lebih tepat, seseorang ketika tasyahud dalam shalat mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi wa rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya, inilah yang lebih benar yang berasal dari berbagai hadits. Adapun riwayat Ibnu Mas’ud mengenai bacaan tasyahud yang mesti diganti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat –jika memang itu benar  riwayat yang shahih-, maka itu hanyalah hasil ijtihad Ibnu Mas’ud dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada. Seandainya ada perbedaan hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan setelah beliau wafat, maka pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan menjelaskannya pada para sahabat.
(Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai Ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan ‘Abdullah  bin Ghodyan sebagai anggota)[11]

Rukun keempatbelas: Shalawat kepada Nabi setelah mengucapkan tasyahud akhir[12]

Dalilnya adalah hadits Fudholah bin ‘Ubaid Al Anshoriy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang berdo’a dalam shalatnya tanpa menyanjung Allah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengatakan, “Begitu cepatnya ini.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang tadi, lalu berkata padanya dan lainnya,
إذا صلى أحدكم فليبدأ بتمجيد الله والثناء عليه ثم يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم ثم يدعو بعد بما شاء
Jika salah seorang di antara kalian hendak shalat, maka mulailah dengan menyanjung dan memuji Allah, lalu bershalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berdo’a setelah itu semau kalian.[13]
Bacaan shalawat yang paling bagus adalah sebagai berikut.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa barrokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid.[14]

Rukun kelimabelas: Salam

Dalilnya hadits yang telah disebutkan di muka,
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam.[15]
Yang termasuk dalam rukun di sini adalah salam yang pertama. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan mayoritas ‘ulama.
Model salam ada empat:
  1. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”.
  2. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah wa barokatuh”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”.
  3. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum”.
  4. Salam sekali ke kanan “Assalamu’laikum”.[16]

Rukun keenambelas: Urut dalam rukun-rukun yang ada

Alasannya karena dalam hadits orang yang jelek shalatnya, digunakan kata “tsumma“ dalam setiap rukun. Dan “tsumma” bermakna urutan.[17]
Semoga bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] HR. Bukhari no. 1117, dari ‘Imron bin Hushain.
[2] HR. Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 301.
[3] HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394, dari ‘Ubadah bin Ash Shomit
[4] HR. Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397.
[5] HR. Ad Darimi no. 1329. Syaikh Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[6] Sudah disebutkan takhrijnya.
[7] Idem
[8] Idem
[9] HR. Bukhari no. 831 dan Muslim no. 402, dari Ibnu Mas’ud.
[10] HR. Bukhari no. 6265 dan Muslim no. 402.
[11] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 8571, juz 7, hal. 11, Mawqi’ Al Ifta’.
[12] Point ini adalah tambahan dari Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi Al Kholafiy, hal. 89, Dar Ibni Rojab, cetakan ketiga, tahun  1421 H.
[13] Riwayat ini disebutkan oleh Syaikh Al Albani dalam Fadh-lu Shalat ‘alan Nabi, hal. 86, Al Maktabah Al Islamiy, Beirut, cetakan ketiga 1977.
[14] HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406, dari Ka’ab bin ‘Ujroh.
[15] HR. Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu Majah no. 275. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 301.
[16] Lihat Sifat Shalat Nabi, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 188, Maktabah Al Ma’arif.
[17] Pembahasan rukun shalat ini banyak disarikan dari penjelasan Syaikh Abu Malik dalam kitab Shahih Fiqh Sunnah terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.

Sumber: muslim.or.id

Tuesday, September 3, 2013

Lembut dalam Berbicara dan Menghindari Kata-Kata yang Tidak Berarti

Sesungguhnya pembicaraan yang lembut dapat meluluhkan jiwa yang durhaka, membuatnya mendekat kepada jalan yang benar, dan mendengarkan dalil-dalil serta nasihat.
Allah ta’ala berfirman dalam berbicara kepada Harun ‘alaihis-salaam dan Musa ‘alaihis-salaam :
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى * فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لّيّناً لّعَلّهُ يَتَذَكّرُ أَوْ يَخْشَىَ
”Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut” [QS. Thaahaa : 43-44].
Allah ta’ala mengajarkan Musa secara lisan tentang perkataan-perkataan yang lembut, sebaik-baik hal yang Allah ta’ala bicarakan kepada penguasa yang lalim, Fir’aun.  Ia berkata kepada kaumnya,”Akulah tuhan kalian yang tertinggi”. Maka Allah ta’ala berfirman :
فَقُلْ هَل لّكَ إِلَىَ أَن تَزَكّىَ * وَأَهْدِيَكَ إِلَىَ رَبّكَ فَتَخْشَىَ
”Dan katakanlah (kepada Fir’aun) : Apakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Rabb-mu agar supaya kamu takut kepada-Nya” [QS. An-Naazi’at : 18-19).
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata : ”Perhatikanlah contoh yang terdapat pada diri Musa, ketika beliau diperintahkan oleh Allah ta’ala untuk menyampaikan perkataan kepada Fir’aun :
هَل لّكَ إِلَىَ أَن تَزَكّىَ * وَأَهْدِيَكَ إِلَىَ رَبّكَ فَتَخْشَىَ
”….Apakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Rabb-mu agar supaya kamu takut kepada-Nya” [QS. An-Naazi’at : 18-19].
Allah ta’ala mengungkapkan firman-Nya kepada Fir’aun dengan cara pertanyaan dan penjelasan, bukan dengan bentuk perintah. Allah ta’ala berfirman : ”Hingga ia menyucikan diri” (إِلَىَ أَن تَزَكّىَ ), dan tidak berfirman : ”Hingga aku mensucikanmu”.
Allah ta’ala mengaitkan perbuatan kepada diri-Nya dan menyebutkan kata At-Tazakky tanpa yang lainnya karena ada padanya keberkahan, kebaikan, dan pertumbuhan.
Kemudian Allah ta’ala berfirman [وَأَهْدِيَكَ إِلَىَ رَبّكَ ] ”Dan saya memberikan petunjuk kepada Rabbmu”. Saya menjadi seorang petunjuk jalan bagimu yang berjalan di depanmu. Allah ta’ala berfirman : [إِلَىَ رَبّكَ ] ”kepada Rabb-mu” sebagai panggilan iman kepada Rabb-nya. Yang menciptakannya, memberikan rizki kepadanya, dan mendidiknya dengan segala nikmatnya, baik kecil maupun besar”
[lihat : Badaa-i’ul-Fawaaid, 3/132-133].
Oleh karena itu, sesungguhnya nasihat yang disampaikan dengan adab, maka akan diterima dengan hati dengan lapang dada, jiwa akan menyambutnya, dan pendengaran pun akan merasa tenang.
Sesungguhnya Rabb kami, Allah ta’ala, telah memuji Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan memberikan watak lemah lembut padanya dan menjadikannya mencintai kelembutan, menjauhkan darinya kekerasan, dan ketidaksopanan.
Allah ta’ala berfirman :
وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ
”….Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu……..” [QS. Aali Imraan : 159].
Sesungguhnya perjalanan beliau Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam penuh dengan sifat-sifat mulia dan luhur seperti ini. Siapa saja yang dapat memilikinya, maka ia akan menguasai hati dan meluluhkannya. Sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mempraktekkan sifat yang satu ini, beliau juga telah memerintahkan agar sifat ini dikerjakan oleh setiap muslim dan beliau telah menjelaskan keutamaannya.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يا عائشة إن الله رفيق يحب الرفق ويعطى على الرفق ما لا يعطى على العنف وما لا يعطى على ما سواه
”Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu lembut dan menyukai kelembutan. Dan Dia akan memberikan sesuatu dengan kelembutan apa yang tidak diberikannya dengan kekerasan dan tidak pula diberikan dengan yang lainynya” [HR. Muslim no. 2593].
Dalam sabdanya yang lain :
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه ولا ينزع من شيء إلا شانه
”Sesungguhnya kelembutan itu tidak berada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya. Dan tidak dihilangkan darinya kecuali akan menghinakannya” [HR. Muslim no. 2594].
Ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Musa Al-Asy’ary dan Mu’adz radliyallaahu ‘anhuma ke Yaman, beliau berkata kepada keduanya :
يسرا ولا تعسرا وبشرا ولا تنفرا وتطاوعا ولا تختلفا
”Permudahlah jangan persulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari. Bersatulah dan jangan berseleisih” [HR. Al-Bukhaariy no. 6124 dan Muslim no. 1733].
Imam Ahmad rahimahullah berkata : ”Beliau memerintahkan kepada kelembutan dan ketundukan, sehingga apabila mereka memperdengarkan kepadanya apa yang dibencinya, maka ia tidak akan marah, karena beliau ingin menguasai dirinya” [Jaami’ul ‘Ulum wal-Hikam, 2/456].
Sesungguhnya sangatlah baiklah orang yang bersenandung (sya’ir) :
لو سار ألف مدجج في حاجة ** لم يقضها إلا الذي يترفق
“Seandainya seribu landak berjalan untuk memenuhi kebutuhannya, ia tidak akan memenuhinya kecuali yang berjalan dengan kelembutan” [Raudlatul-‘Uqalaa’, hal. 216].
Pernah dikatakan : “Barangsiapa yang ucapanya lembut, maka wajiblah baginya dicintai” [Al-Bayaan wat-Tabyiin oleh Al-Jahizh].
Kelembutan dan kehalusan percakapan adalah merupakan hal yang harus diwujudkan saat memberi nasihat. Dan hal tersebut lebih pantas menjadi watak dari seorang pemberi nasihat, karena saat menasihati berbeda dengan saat membantah, perdebatan, dan diskusi.
Namun, selain itu ia juga terkadang memerlukan ketegasan. Dan itupun dalam kondisi-kondisi tertentu, untuk orang-orang tertentu pula, dan bagi orang yang berhak untuk mendapatkannya. Apabila seorang pemberi nasihat mempunyai kedudukan dan kondisinya meminta untuk memberikan nasihat dengan ketegasan dan tidak mengakibatkan kemudlaratan setelahnya, maka ia harus melakukan cara tersebut.
Oleh karena itu Musa ‘alaihis-salaam bersikap sangat lemah lembut terhadap Fir’aun pada awal-awal dakwahnya kepadanya – seperti yang baru saja berlalu ---.  Namun ketika ia melihat Fir’aun tidak menghiraukan dan bersikap sombong serta berusaha menghalangi petunjuk Musa ‘alaihis-salaam kepada kaumnya setelah petunjuk tersebut jelas bagi mereka, maka Musa ‘alaihis-salaam bersikap keras dan tegas dalam dakwahnya seperti firman Allah ta’ala :
وَإِنّي لأظُنّكَ يَفِرْعَونُ مَثْبُوراً
”…Dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa” [QS. Al-Israa’ : 102].
Bagaimanakah dengan pembicaraan ini dibanding dengan percakapan yang pertama ? Seperti halnya firman Allah ta’ala :
وَلاَ تُجَادِلُوَاْ أَهْلَ الْكِتَابِ إِلاّ بِالّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلاّ الّذِينَ ظَلَمُواْ مِنْهُمْ
”Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik. Kecuali dengan orang-orang dhalim diantara mereka….” [QS. Al-Ankabuut : 46].
Dan juga perkataan Ibrahim ‘alaihis-salaam kepada kaumnya :
أُفّ لّكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللّهِ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
”Ah (celaka) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami?” [QS. Al-Anbiyaa’ : 67].
Bahwasannya Nabi kita pun, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, memakai cara-cara seperti ini apabila dibutuhkan. Diantaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam sebuah kisah seorang perempuan dari suku Makhzum yang telah mencuri. Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya suku Quraisy sangat terganggu dengan kejadian seorang perempuan dari suku Makhzum yang mencuri. Mereka berkata : ”Siapakah yang akan berbicara kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah ini?” Dan siapakah yang berani kecuali Usamah, kecintaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Maka ia berbicara kepada beliau, lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : ”Apakah kamu akan memberi syafa’at pada hukum-hukum Allah?”. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan berkhutbah pada masyarakat lalu bersabda :
”Wahai manusia, sesungguhnya hal yang menyesatkan orang-orang terdahulu adalah apabila seorang yang mulia mencuri maka mereka akan membiarkannya. Dan apabila orang yang lemah mencuri, maka mereka melaksanakan hukuman kepadanya. Demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam mencuri, maka Muhammad sendiri yang akan memotong tangannya” [HR. Al-Bukhaariy no. 6788 dan Muslim no. 2648].
Dalam Shahiih Al-Bukhaariy dan Shahiih Muslim dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwasannya ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
ليس صلاة أثقل على المنافقين من الفجر والعشاء ولو يعلمون ما فيهما لأتوهما ولو حبوا لقد هممت أن آمر المؤذن فيقيم ثم آمر رجلا يؤم الناس ثم آخذ شعلا من نار فأحرق على من لا يخرج إلى الصلاة بعد
”Tidak ada shalat yang paling berat bagi orang-orang yang munafiq kecuali shalat shubuh dan ‘isya’. Seandainya mereka mengetahui (ganjaran) apa yang ada dalam keduanya, maka niscaya mereka akan mendatanginya walaupun harus merangkak. Sesungguhnya aku ingin untuk menyuruh muadzdzin untuk melakukan iqamat dan menyuruh seseorang menjadi imam shalat yang menggantikanku, lalu aku membawa api dan membakar mereka yang belum keluar melakukan shalat jama’ah di masjid” [HR. Al-Bukhaariy no. 657 dan Muslim no. 651].
Sesungguhnya Imam Al-Bukhaariy telah membuat suatu bab dalam kitab Al-Adab dari Shahiih-nya, yang ia namakan : “Bab Maa Yajuuzu minal-Ghadlabi wasy-syiddati li amrillaahi” (Bab : Bolehnya Seseorang untuk Marah dan Bersikap Keras dalam Menegakkan Perintah Allah ta’ala). Lalu menyebutkan di dalamnya lima hadits.
Rangkuman masalah tersebut adalah bahwasannya kelembutan merupakan dasar. Ia merupakan hal yang paling sesuai dengan sikap pemberi nasihat selama kekerasan belum dibutuhkan. Dan kekerasan tidak selamanya cocok dengan setiap orang, khususnya mereka yang tidak memiliki umum yang lebih tua, ilmu, kedudukan, atau penerimaan dari masyarakat.
Allahu a’lam.
[Ditulis kembali oleh Abu Al-Jauzaa’ dari Aadabul-Mau’idhah (terjemahan Indonesia dengan judul : Kiat Istimewa agar Nasihat Diterima – Pustaka Ibnu Katsir)]
 

About us