Labels

Friday, August 23, 2013

Hukum Menyusui Ketika Hamil

Menyusui ketika hamilMenanggapi pertanyaan Ummu Muhammad tentang hukum menyusui anak dalam keadaan hamil, maka kami bawakan fatwa dari Syaikh ‘Abdul  ‘Aziz bin Baz dan sedikit tambahan… semoga bisa memberi  faidah..
***
Oleh: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rohimahulloh
Pertanyaan:
Jika seorang wanita hanya menyusui anaknya selama setahun saja, lalu ia hamil lagi dan menyapih anaknya yang masih menyusui, apakah ia berdosa dengan kondisi seperti itu? Karena aku pernah mendengar bahwa wanita yang menyusui ketika hamil bisa memberi mudhorot bagi anak yang disusui, apakah ini benar?
Jawaban:
Ini terserah dia dan suaminya, jika mereka berdua ridho menyapihnya maka tidak mengapa, dan jika mereka berdua ridho untuk tetap menyusuinya maka silahkan tetap menyusui dan hal ini tidaklah memberi  mudhorot bagi si bayi. Intinya, seorang istri hendaknya mendiskusikannya dengan suaminya dalam masalah itu, jika mereka berdua ridho maka tidak mengapa. Berdasarkan firman Alloh ta’ala:
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
“..Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya..” [QS al-Baqoroh: 233]
Maka urusan ini terserah kepada mereka berdua, apakah akan menyapih atau tidak.
***
Diterjemahkan dari: http://www.binbaz.org.sa/mat/11743
Artikel http://ummushofi.wordpress.com
***
إذا المرأة لم ترضع طفلها إلا لمدة سنة، فحملت وأفطمت الرضيع هل تكون آثمة والحال ما ذكر؛ لأني سمعت أن المرأة إذا أرضعت وهي حامل أن الرضيع يتضرر، فهل هذا صحيح؟
 هذا يرجع إليها وزوجها فإن تراضيا على فطامه فلا بأس وإن تراضيا على بقائه يبقى ولا يضره, فالحاصل أن المرأة تشاور زوجها في ذلك فإذا تراضيا فلا حرج؛ لقوله سبحانه: فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً يعني فطاماً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا (233) سورة البقرة. فالأمر يرجع إليهما في فطمه وعدم فطمه.
____________________
Tambahan:
Ada hadits Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam:
لقد هممتُ أن أنهى عن الغيلة فنظرتُ في الروم وفارس فإذا هم يغيلون أولادهم فلا يضرُ أولادهم ذلك شيئاً
“Aku pernah akan melarang al-Ghilah, lalu aku lihat orang-orang Romawi dan Persia melakukannya terhadap anak-anak mereka namun hal itu tidak membahayakan anak-anak mereka sama sekali.” [HR Muslim no.1442]
Namun makna al-Ghilah diperselisihkan para ulama, ada yang berpendapat ghilah adalah seorang suami mencampuri istri yang sedang masa menyusui, dan ada yang berpendapat ghilah adalah wanita yang menyusui ketika sedang hamil.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, hadits tersebut menunjukkan bolehnya al-Ghilah karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya.
Ana sendiri  pernah mengalami hal tersebut  yaitu ketika sedang hamil anak kedua, ana tetap menyusui anak pertama kami dan kami pernah bertanya kepada dokter SPOG langganan kami dan beliaupun membolehkan. Alhamdulillah menyusui ketika hamil tidak membahayakan bagi anak-anak, keduanya Alhamdulillah sehat-sehat saja sampai sekarang…
Wallohu a’lam

Sumber: ummushofi.wordpress.com

Thursday, August 22, 2013

Karena Setiap Kita Akan Diuji

Hati mana yang tidak bersedih, ketika yang dicinta telah pergi..
maka engkau pun bersedih, lalu menangis..
Hati mana yang tidak bersedih, ketika musibah datang silih berganti
maka engkau pun bersedih, lalu menangis..
Saudaraku, dalam menapaki kehidupan dunia yang fana ini, kita senantiasa dihadapkan pada dua keadaan, bahagia atau sengsara. Perubahan keadaan itu bisa terjadi kapan saja sesuai dengan takdir Allah Ta’ala. Sementara semenjak diciptakan, tabiat dasar manusia memang tidak pernah merasa puas. Apabila diberi kesenangan, manusia lalai dan tak menentu. Sebaliknya jika diberi kesulitan, ia akan bersedih dan gundah gulana tak karuan. Padahal sejatinya bagi seorang mukmin, segala yang terjadi pada dirinya, seharusnya tetap menjadi kebaikan bagi dirinya. Begitulah keistimewaan seorang mukmin sejati. Hal ini ditunjukkan dalam sebuah sabda yang diucapkan oleh pemimpin dan suri tauladan bagi orang-orang yang bertakwa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ عجب. مَا يَقْضِي اللهُ لَهُ مِنْ قَضَاءٍ إِلاَ كَانَ خَيْرًا لَهُ, إِِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan  keadaan seorang mukmin. Segala keadaan yang dialaminya sangat menakjubkan. Setiap takdir yang ditetapkan Allah bagi dirinya merupakan kebaikan. Apabila dia mengalami kebaikan, dia bersyukur, dan hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila dia tertimpa keburukan, maka dia bersabar dan hal itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim no.2999, dari sahabat Shuhaib)
Benarlah, bahwasanya hanya orang yang beriman yang bisa lurus dalam menyikapi silih bergantinya situasi dan kondisi. Hal ini karena ia meyakini keagungan dan kekuasaan Allah Ta’ala serta tahu akan kelemahan dirinya. Tidak dipungkiri memang, musibah dan bencana akan selalu menyisakan kesedihan dan kepedihan. Betapa tidak, orang yang dicinta kini telah tiada, harta benda musnah tak bersisa, berbagai agenda tertunda, bahkan segenap waktu dan perasaan tercurah untuk memikirkannya.
Hakikat Musibah
Musibah adalah perkara yang tidak disukai yang menimpa manusia. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan: “Musibah adalah segala apa yang mengganggu seorang mukmin dan yang menimpanya.” (Al-Jami’li Ahkamil Qur’an, 2/175)
تُرْجَعُونَ وَإِلَيْنَا فِتْنَةً وَالْخَيْرِ بِالشَّرِّ وَنَبْلُوكُمْ الْمَوْتِ ذَائِقَةُ نَفْسٍ كُلُّ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)
Dunia ini adalah medan perjuangan seorang mukmin untuk menjadi sebaik-baik hamba. Allah Ta’ala berfirman :
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 1-2)
Pentingnya Istirja’ Ketika Datang Musibah
Istirja’ adalah ucapan إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهَ رَاجِعُونَ yang artinya “Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.”
Shahabiyah Ummu Salamah radhiyallahu’anha menyebutkan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
:مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللهُ
اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا خْلَفَ وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا؛ إِلاَّ أَ مُصِيْبَتِي إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي
“Tiada seorang muslim yang ditimpa musibah lalu ia mengatakan apa yang diperintahkan Allah (yaitu): ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, wahai Allah, berilah aku pahala pada (musibah) yang menimpaku dan berilah ganti bagiku yang lebih baik darinya’; kecuali Allah memberikan kepadanya yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim no.918)
Kalimat istirja’ adalah obat termanjur bagi mereka yang tertimpa musibah dan paling berguna bagi seorang hamba di dunia dan di akhirat karena ia mengandung dua pondasi dasar yang apabila seorang hamba merealisasikan dengan mengetahui dua pondasi tersebut, insya Allah dirinya terhibur dari musibah tersebut.
Pondasi pertama adalah hendaknya seorang hamba itu mengakui bahwa dirinya, keluarganya, harta dan anaknya pada hakikatnya adalah milik Allah Ta’ala. Dia hanya menitipkannya pada seorang hamba. Apabila Dia mengambilnya, ibarat pemilik barang mengambil barangnya yang dipinjam orang lain
Pondasi kedua adalah bahwasanya tempat kembali dan akhir perjalanan seorang hamba adalah kepada “Pemilik” yang sesungguhnya. Suatu masa, ia harus meninggalkan dunia ini di belakang punggungnya, dan datang mengharap Rabbnya di hari akhir nanti seorang diri, sebagaimana Allah Ta’ala menciptakannya pertama kali, tanpa keluarga, harta, teman.  Seseorang tidak akan membawa apapun kecuali amal kebaikan dan keburukan di akhirat nanti. Karena itu, dengan mengetahui dan menyadari keadaan seorang hamba di awal penciptaan dan di akhir kehidupan dunia, bagaimana mungkin ia akan akan bergembira atau bersedih karena berpisah dengan sesuatu yang sejatinya bukan miliknya?

Penawar Kesedihan

Sebagian orang beranggapan bahwa orang yang ditimpa musibah seperti sakit dan semisalnya adalah orang yang dimurkai Allah Ta’ala, padahal tidaklah demikian kenyataannya. Terkadang seseorang diuji dengan penyakit dan musibah padahal ia seorang yang mulia di sisi-Nya seperti para nabi, rasul dan orang shalih. Musibah yang menimpa mereka tidak lain adalah untuk mengangkat kedudukan mereka dan dibesarkannya pahala serta sebagai contoh kesabaran bagi orang yang datang setelah mereka.
Terkadang seorang diuji dengan kesenangan seperti harta yang banyak, anak-anak, istri dan lainnya, akan tetapi tidak sepantasnya dikatakan orang yang dicintai Allah Ta’ala jika tidak melakukan ketaatan kepada-Nya atau justru terlena karenanya. Orang yang mendapat berbagai kenikmatan bisa jadi memang termasuk orang yang dicintai Allah Ta’ala atau bahkan sebaliknya.
Seorang mukmin hendaknya yakin bahwa apa yang ditakdirkan Allah Ta’ala niscaya akan menimpanya dan tidak meleset sedikitpun. Sedangkan apa yang tidak ditakdirkan oleh-Nya pasti tidak akan menimpanya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya :
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikan itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”(Al Hadid: 22-23)
Ingatlah Saudaraku, cobaan dan penyakit merupakan tanda kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala jika mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberi mereka cobaan.”(HR. Tirmidzi, shahih)

Ada Faedah di Balik Musibah

Saudaraku, sesungguhnya musibah yang menimpa, tak lain adalah sarana penggugur dosa seorang hamba, seperti yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Ujian akan terus datang kepada seorang mukmin atau mukminah mengenai jasadnya, hartanya, dan anaknya sehingga ia menghadap Allah tanpa membawa dosa.” (HR. Ahmad, hasan shahih)
Allah Maha Bijaksana, tiada keputusan dan ketentuan-Nya yang lepas dari hikmah. Tak terkecuali dengan perkara musibah ini. Kalaulah seandainya tidak ada faedah dari musibah ini kecuali sebagai penghapus dosa dimana itu saja sudah mencukupi, apatah lagi jika di sana ada setumpuk faedah? Subhanallah!
Terakhir, mari kita perhatikan nasihat Ibnu Qayyim rahimahullah berikut ; “Andaikata kita bisa menggali hikmah Allah yang terkandung dalam ciptaan dan urusan-Nya, maka tidak kurang dari ribuan hikmah (yang dapat kita gali.red). Namun akal kita sangatlah terbatas, pengetahuan kita terlalu sedikit dan ilmu semua makhluk akan sia-sia jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sebagaimana sinar lamu yang sia-sia di bawah sinar matahari.” (Lihat Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawaz)
Artikel Muslimah.Or.Id
Penulis: Novia Kurniawati Ummu Ilyas
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’ :
  • Hiburan bagi Orang yang Tertimpa Musibah [terj. Tasliyatu Ahlil Masha’ib], Muhammad bin Muhammad Al Majnabi Al Hambali, Darul Haq.
  • http://asysyariah.com/pelipur-lara-saat-musibah-dan-bencana.html
  • http://kajiansunnah.net/2012/02/10-renungan-bagi-yang-ditimpa.html
  • http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/rahasia-sakit.html
  • http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/tips-bersabar-1-macam-macam-kesabaran.html
  • Jeda Radio berjudul Musibah.Radio Rodja.
  • Tazkiyatun Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafushshalih [Terj. Tazkiyatun Nafs], Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Imam Al Ghazali, Pustaka Arafah.

Wednesday, August 21, 2013

Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya

Bagi anda yang akrab dengan Al Qur’an, tentu sering mendapati ayat-ayat yang melarang kaum mu’minin menjadikan orang kafir sebagai auliya pada ayat yang sangat banyak. Setidaknya ada 9 ayat yang akan kita nukil di sini yang melarang menjadikan orang kafir sebagai auliya.
Makna auliya (أَوْلِيَاءَ) adalah walijah (وَلِيجةُ) yang maknanya: “orang kepercayaan, yang khusus dan dekat” (lihat Lisaanul ‘Arab). Auliya dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At Tafasir, 305).

Jangan Jadikan Orang Kafir Sebagai Orang Kepercayaan Dan Pemimpin

[Ayat ke-1]
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28)
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menjelaskan makna ayat ini: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum mu’minin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan) padahal ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka, sehingga kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath Thabari, 6825).
[Ayat ke-2]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (QS. Al Maidah: 51)
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya. Semoga Allah memerangi mereka. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah auliya terhadap sesamanya. Kemudian Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang mu’min yang melanggar larangan ini Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim“” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).
Lalu Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat dari Umar bin Khathab, “Bahwasanya Umar bin Khathab memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari bahwa pencatatan pengeluaran dan pemasukan pemerintah dilakukan oleh satu orang. Abu Musa memiliki seorang juru tulis yang beragama Nasrani. Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar bin Khathab pun kagum dengan hasil pekerjaannya. Ia  berkata: ‘Hasil kerja orang ini bagus, bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk membacakan laporan-laporan di depan kami?’. Abu Musa menjawab: ‘Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram’. Umar bertanya: ‘Kenapa? Apa karena ia junub?’. Abu Musa menjawab: ‘bukan, karena ia seorang Nasrani’. Umar pun menegurku dengan keras dan memukul pahaku dan berkata: ‘pecat dia!’. Umar lalu membacakan ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim‘” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).
Jelas sekali bahwa ayat ini larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau orang yang memegang posisi-posisi strategis yang bersangkutan dengan kepentingan kaum muslimin.
[Ayat ke-3]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi auliya bagimu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)
As Sa’di menjelaskan: “Allah melarang hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan ahlul kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan juga orang kafir lainnya sebagai auliya yang dicintai dan yang diserahkan loyalitas padanya. Juga larangan memaparkan kepada mereka rahasia-rahasia kaum mu’minin juga larangan meminta tolong pada mereka pada sebagian urusan yang bisa membahayakan kaum muslimin. Ayat ini juga menunjukkan bahwa jika pada diri seseorang itu masih ada iman, maka konsekuensinya ia wajib meninggalkan loyalitas kepada orang kafir. Dan menghasung mereka untuk memerangi orang kafir” (Tafsir As Sa’di, 236)

Jangan Loyal Kepada Orang Kafir Walaupun Ia Sanak Saudara

[Ayat ke-4]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi auliya bagimu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka auliya bagimu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim” (QS. At Taubah: 23)
Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala memerintahkan untuk secara menjelaskan terang-terangan kepada orang kafir bahwa mereka itu kafir walaupun mereka adalah bapak-bapak atau anak-anak dari orang mu’min. Allah juga melarang untuk loyal kepada mereka jika mereka lebih memilih kekafiran daripada iman. Allah juga mengancam orang yang loyal kepada mereka” (Tafsir Ibni Katsir, 4/121).

Jangan Berikan Rasa Sayang dan Kasihan Kepada Orang Kafir

[Ayat ke-5]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi auliya yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian)” (QS. Al Mumtahanah: 1).
Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah kisah Hathib bin Abi Baltha’ah radhiallahu’anhu. Beliau adalah sahabat Nabi yang ikut hijrah, beliau juga mengikuti perang Badar, namun beliau memiliki anak-anak, sanak kerabat dan harta di kota Mekkah yang ia tinggalkan untuk berhijrah. Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diperintahkan untuk membuka kota Mekkah dan memerangi orang Musyrikin di sana, Hathib merasa kasihan kepada orang-orang Quraisy di Mekkah. Hathib pun berinisiatif untuk berkomunikasi dengan kaum Quraisy secara diam-diam melalui surat yang dikirimkan melalui seorang wanita. Hathib mengabarkan kedatangan pasukan kaum Muslimin untuk menyerang kaum Quraisy di Mekkah. Bukan karena Hathib berkhianat dan bukan karena ia munafik, namun ia kasihan kepada kaum Quraisy dan berharap mereka mau dirangkul untuk memeluk Islam daripada mereka hancur binasa. Namun para sahabat memergoki wanita yang membawa surat dan melaporkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu turunlah ayat ini sebagai teguran untuk tidak kasihan dan tidak menaruh rasa sayang kepada orang-orang kafir, apalagi dengan menyampaikan kepada mereka kabar-kabar rahasia kaum Muslimin. Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menegur Hathib namun memaafkannya dan memberinya udzur (lihat Tafsir Ibni Katsir 8/82, Tafsir As Sa’di 7/854)
Berikut ini isi surat Hathib:
أَمَّا بَعْدُ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَكُمْ بِجَيْشٍ كَاللَّيْلِ يَسِيرُ كَالسَّيْلِ فَوَاللَّهِ لَوْ جَاءَكُمْ وَحْدَهُ لَنَصَرَهُ اللَّهُ وَأَنْجَزَ لَهُ وَعْدَهُ فَانْظُرُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَالسَّلَامُ
Amma ba’du. Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang mendatangi kalian dengan membawa pasukan yang bak gelapnya malam, yang cepat bagaikan air bah. Demi Allah, andaikan Ia (Rasulullah) datang seorang diri pun, Allah akan menolongnya dan memenangkannya atas musuhnya. Maka lihatlah (kasihanilah) diri-diri kalian. Wassalam” (Fathul Baari, 7/520).
As Sa’di menjelaskan: “jangan jadikan musuh Allah dan musuh kalian sebagai auliya, yang engkau berikan rasa sayangmu kepada mereka. Maksudnya jangan kalian terburu-buru memberikan rasa sayangmu kepada mereka ataupun menempuh sebab-sebab yang membuat kalian sayang pada mereka. Karena rasa sayang itu jika muncul akan diikuti oleh nushrah (kecenderungan untuk menolong) dan muwalah (kecenderungan untuk loyal), sehingga akhirnya seseorang pun keluar dari keimanan dan menjadi bagian dari orang-orang kafir meninggalkan ahlul iman” (Tafsir As Sa’di, 854).
[Ayat ke-6]
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai auliya bagimu, hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka auliya, dan jangan (pula) menjadi penolong” (QS. An Nisa: 89)
As Sa’di menjelaskan ayat ini dengan berkata: “ini melazimkan tidak adanya kecintaan terhadap orang kafir, karena wilayah (loyalitas) adalah cabang dari mahabbah (kecintaan). Ini juga melazimkan kita untuk membenci dan memusuhi mereka. Karena larangan terhadap sesuatu berarti perintah untuk melakukan kebalikannya. Dan perlakukan tidak berlaku jika mereka ikut hijrah. Jika mereka ikut hijrah, maka mereka diperlakukan sebagaimana kaum muslimin. Sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memperlakukan orang-orang yang ikut hijrah bersama beliau sebagaimana perlakuan beliau terhadap orang Islam. Baik mereka yang benar-benar mu’min lahir batin, maupun yang hanya menampakan keimanan secara zhahir. Dan jika mereka berpaling atau tidak mau berhijrah, ‘tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya‘, maksudnya kapan pun dan dimana pun kau menemui mereka”. (Tafsir As Sa’di, 1/191).
Namun As Sa’di menjelaskan 3 jenis orang kafir yang dikecualikan sehingga tidak diperangi berdasarkan ayat selanjutnya (namun tidak kita bahas panjang lebar di sini), mereka adalah:
  1. Orang-orang kafir yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian damai untuk tidak saling memerangi
  2. Orang-orang kafir yang tidak ingin untuk memerangi kaum Muslimin dan juga tidak memerangi kaumnya, ia memilih untuk tidak memerangi kaum Muslimin maupun kaum kafirin.
  3. Orang-orang munafik yang menampakkan keimanan karena takut diperangi oleh kaum Muslimin (Tafsir As Sa’di, 191).

Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Sifat Orang Munafik

[Ayat ke-7]
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah“ (QS. An Nisa: 139)
Ibnu Katsir berkata: “Lalu Allah Ta’ala menyemat sebuah sifat kepada orang-orang munafik yaitu lebih memilih menjadikan orang kafir sebagai auliyaa daripada orang mu’min. Artinya, pada hakikat orang-orang munafik itu pro terhadap orang kafir, mereka diam-diam loyal dan cinta kepada orang kafir. Ketika tidak ada orang mu’min, orang munafik berkata kepada orang kafir: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah main-main’. Yaitu ketika orang munafik menampakkan seolah setuju terhadap orang mu’min. Maka Allah pun membantah sikap mereka terhadap orang kafir yang demikian itu dalam firman-Nya: ‘Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir?‘. Lalu Allah Ta’ala mengabarkan bahwa sesungguhnya izzah (kekuatan) itu semuanya milik Allah semata, tidak ada yang bersekutu dengan-Nya, dan juga milik orang-orang yang Allah takdir kepadanya untuk memiliki kekuatan” (Tafsir Ibni Katsir, 2/435)

Siksaan Pedih Karena Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya

[Ayat ke-8]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. An Nisa: 144)
Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya dari kaum mu’minin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya padahal ada orang mu’min. Maksudnya Allah melarang kaum mu’minin bersahabat dan berteman dekat serta menyimpan rasa cinta kepada mereka. Juga melarang mengungkapkan keadaan-keadaan kaum mu’minin yang tidak mereka ketahui. Sebagaimana firman Allah Ta’ala berfirman: ‘Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya‘ (QS. Al Imran: 28). Maksudnya Allah memperingatkan kalian terhadap siksaan-Nya bagi orang yang melanggar larangan ini. Oleh karena itu Ia berfirman: ‘Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?‘. Maksudnya perbuatan tersebut akan menjadi hujjah (alasan) untuk menjatuhkan hukuman atas kalian” (Tafsir Ibni Katsir, 2/441).

Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Dipertanyakan Imannya

[Ayat ke-9]
وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik“ (QS. Al Maidah: 81)
Ath Thahawi menjelaskan makna ayat ini: “Andaikan sebagian orang dari Bani Israil yang loyal terhadap orang kafir itu mereka benar-benar mengimani Allah dan mentauhidkan-Nya, juga benar-benar mengimani Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai Rasul yang diutus oleh Allah, serta lebih mempercayai apa yang ia bawa dari Allah daripada petunjuk yang lain, maka mereka tidak akan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat dan penolong padahal ada orang-orang Mu’min. Namun dasarnya mereka itu adalah orang-orang yang gemar membangkang perintah Allah menujuk maksiat, serta gemar menganggap halal apa yang Allah haramkan dengan lisan dan perbuatan mereka” (Tafsir Ath Thabari, 10/498).
Imam Mujahid  menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum munafik (Tafsir Ath Thabari, 10/498).
Semoga bermanfaat. Wabillahit taufiq.

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: muslim.or.id

Tuesday, August 20, 2013

Meniti Iman Menggapai Persaudaraan

MENITI IMAN MENGGAPAI PERSAUDARAAN

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi


Kaum Muslimin dewasa ini dalam keadaan carut marut dan berpecah belah. Kata ukhuwah (persaudaraan) pun mencuat dan dikumandangkan di mana-mana dengan aneka ragam pengertiannya. Banyak kaum Muslimin mendambakan terwujudnya ukhuwah ini seperti pernah terwujud di masa lampau. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut akhirnya banyak opini dilontarkan dan teori pun dikonsepkan. Bahkan tidak sedikit yang sudah mencoba dan mengusahakannya dengan beragam konsep dan teori. Namun kadang mereka melupakan konsep Islam yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan digariskan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam kitab suci-Nya yang paling agung yaitu al-Qur`an. Atau bisa jadi karena ketidaksabaran mereka dalam menunggu hasilnya. Karena itu perlu adanya pencerahan tentang masalah ini.

Ini adalah sedikit upaya dan partisipasi menyampaikan konsep tersebut secara ringkas, dengan mengambil dasar al-Qur`an dan Sunnah serta pernyataan para ulama. Semoga bisa menjadi sebuah pencerahan kepada kaum Muslimin untuk bisa menggapai ukhuwah imaniyah yang dimaksud.

PERSAUDARAAN IMAN BUKAN SEKEDAR BERKUMPULNYA TUBUH
Banyak orang memandang persaudaraan identik dengan kumpulnya tubuh dalam satu organisasi atau kelompok. Hal ini jelas keliru, sebab sebenarnya dasar persaudaraan iman adalah kesatuan hati kaum Muslimin, bukan berkumpulnya tubuh mereka. Hal ini dapat dilihat pada petunjuk Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam al-Qur`an yang mulia. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan persaudaraan kaum Muslimin dengan kalimat (فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ) tidak dengan kalimat (فَأَلَّفَ بَيْنَكُمْ). Dengan demikian, Allah Subhanahu wa Ta'ala melihat persatuan hati menjadi sebab persaudaraan iman dan bukan kepada persatuan tubuh.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah menjelaskan hal ini dengan menyatakan: "Persatuan hati adalah poros ukhuwah imaniyah (persaudaraan iman) bukan persatuan tubuh. Berapa banyak umat yang berkumpul tubuhnya namun hati mereka berpecah belah, sebagaimana firman Allah l tentang orang Yahudi:

تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّىٰ
Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. [al-Hasyr/59:14]

Tidak ada faedah berkumpulnya tubuh dengan hati yang berpecah belah. Faedah bersatunya hati adalah berkumpulnya hati, walaupun tubuhnya saling berjauhan. Berapa banyak orang yang memiliki hubungan cinta dan persahabatan denganmu namun ia jauh darimu. Dan berapa banyak juga orang yang sebaliknya. Kamu merasa ia bermuka dua dan di antara kamu dengannya tidak ada cinta dan persahabatan. Padahal ia berdampingan denganmu seperti benda dengan bayangannya. Jadi yang penting adalah hati. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ

Maka Allah mempersatukan hatimu. [Ali Imrân/3:103]

Jelaslah persaudaraan terjadi dengan adanya keterikatan antar kaum Muslimin yang dilandasi ikatan agama Islam. Ikatan yang mengikat kuat hati kaum Muslimin seperti satu tubuh yang digambarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:

الْمُؤْمِنُونَ كَرَجُلٍ وَاحِدٍ إِنْ اشْتَكَى رَأْسُهُ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ

Kaum mukminin seperti satu orang, jika kepalanya sakit maka seluruh tubuh merasakan demam dan tidak bisa tidur. [Riwayat Muslim]

Persaudaraan ini bukan persaudaraan karena nasab atau fanatisme golongan (hizbiyah) tapi persaudaraan aqidah dan iman. Oleh karena itu Syaikh Muhammad al-Amîn as-Syingqîti rahimahullah menyatakan: "Secara umum tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum Muslimin, bahwa ikatan yang mengikat di antara penduduk bumi dan yang mengikat antara penduduk bumi dan langit adalah kalimat Lâ ilâha Illa Allâh."[2]

Dengan demikian jelaslah ikatan persaudaraan kaum Muslimin adalah bersatunya hati mereka dalam menegakkan kalimat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kalimat tersebut ditegakkan dengan iman dan ketakwaan sehingga menjadi sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatukan hati mereka.

PERSAUDARAAN IMAN ANUGERAH ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA
Tidak ada seorangpun yang dapat menyatukan hati manusia satu dengan lainnya, baik itu nabi maupun para ulama atau yang lainnya. Hanyalah Allah Subhanahu wa Ta'ala semata yang menyatukan hati-hati mereka dengan hikmah dan ke Maha perkasaan-Nya. Betapa tidak, Dia-lah yang telah menyatakan hal itu kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam firman-Nya:

هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ لَوْ أَنفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَّا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin. Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al- Anfâl/8:62-63]

Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa'di rahimahullah mengatakan: "Mereka bersatu dan bersaudara serta bertambah kuat dengan sebab persatuan tersebut. Itu bukanlah hasil usaha seorang dan dengan satu kekuatan melainkan (hanya) dengan kekuatan Allah Subahnahu wa Ta'ala. Walaupun kamu telah membelanjakan emas dan perak serta selainnya yang ada di bumi ini seluruhnya untuk menyatukan hati mereka setelah perselisihan dan perpecahan yang parah itu, tentulah kamu tidak dapat mempersatukannya. Karena yang mampu menpersatukan hati hanyalah Allah Subhanahu wa Ta'ala. [3]

Oleh karena itulah Allah l terangkan dengan sangat jelas dalam firman-Nya:

وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara. [Ali Imrân/3:103]

Syaikh Salîm bin 'Ied al-Hilâli –Hafizhahullâh- menyatakan: Dengan rahmat-Nya, Allah Subhanahu wa Ta'ala mempersatukan hati kaum Mukminin di atas ketaatan dan manhaj-Nya. Pantaslah disyukuri atas nikmat ini dengan cara cinta mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berpegang teguh dengan tali-Nya yang kokoh (Islam).[4]

Demikianlah persaudaraan tersebut Allah Azza wa Jalla karuniakan kepada kaum Mukminin yang bertaqwa dan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah. Tidak dikaruniakan kepada orang-orang yang melanggar ajaran syari'at Allah Subhanahu wa Ta'ala, sehingga tidak akan terwujudkan dengan mengorbankan aqidah dan agama.

KIAT MENGGAPAINYA
Namun ingat Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak merubah keadaan satu kaum tanpa ada usaha dari mereka untuk merubah keaadannya. Inilah yang dijelaskan AllahSubhanahu wa Ta'alal dalam firman-Nya:

ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. [ar-Ra'd/13:11].

Sehingga untuk mendapatkan persaudaraan iman tersebut dibutuhkan usaha dari kaum Muslimin untuk merubah keadaan mereka sekarang. Mereka harus berusaha untuk menjalankan sebab-sebab persatuan hati dengan meniti iman dan takwa. Di antara cara menggapainya adalah:

1. Meluruskan Aqidah dan cara beragama dengan melakukan tashfiyah (pemurnian agama) dan tarbiyah (pembinaan umat di atas ajaran agama yang murni). Sebab persaudaraan iman yang pernah ada dahulu dihancurkan oleh kebid'ahan dan penyimpangan agama.

Syaikh Muhammad al-Basyîr al-Ibrâhimi menjelaskan :" Setelah kita berfikir, meneliti dan mengkaji keadaan umat dan sumber penyakit-penyakitnya. Kita benar-benar mengetahui bahwa jalan-jalan kebid’ahan dalam Islam adalah pemecah belah kaum Muslimin. Juga kita mengetahui ketika kita melawannya berarti melawan seluruh keburukan". [5]

Jelas, persaudaraan iman harus tegak di atas kemurnian ajaran Islam dan pembinaan umat diatasnya. Kemudian terwujudnya persaudaraan iman di atas ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan mengantarkan kepada kejayaan Islam sebagaimana pernah dicapai para pendahulunya.

Tentang tasfiyah dan tarbiyah ini Syaikh al-Albâni menyatakan: "Apabila kita ingin kejayaan dari Allah Azza wa Jalla, diangkat dari kerendahan serta dimenangkan dari musuh-musuh kita, maka tidak cukup hanya dengan meluruskan pemahaman dan menghilangkan pemikiran-pemikiran yang menyelisihi dalil-dalil syar’i….,ada faktor lagi yang sangat penting yaitu beramal; karena ilmu adalah sarana untuk beramal. Apabila seorang telah belajar dan ilmunya sudah tertashfiyah, kemudian tidak beramal dengannya, maka secara otomatis ilmu tersebut tidak menghasilkan buah. Sehingga harus menyertakan ilmu ini dengan amal. Sudah menjadi kewajiban para ulama untuk mengurus pembinaan kaum Muslimin yang baru di atas dasar ketetapan yang ada dalam al-Qur`an dan Sunnah. Jangan membiarkan manusia berada di atas pemikiran dan kesalahan yang mereka warisi. Karena sebagiannya pasti batil menurut kesepakatan para ulama.,.Sebagiannya masih diperselisihkan dan memiliki kekuatan dalam penelitian dan ijtihad serta ra’yu dan sebagian ijtihad dan ra’yu ini menyelisihi sunnah. Setelah tashfiyah terhadap perkara-perkara ini dan menjelaskan semua kewajiban memulai dan berjalan padanya, maka harus ada tarbiyah (pembinaan) terhadap orang-orang baru di atas ilmu yang shahih ini. Pembinaan inilah yang akan membentuk masyarakat Islam yang bersih dan kemudian akan tegak daulah Islam untuk kita. Tanpa dua hal ini, yaitu ilmu yang shahih dan pembinaan yang benar di atas ilmu yang shahîh ini mustahil –menurut keyakinan saya- akan tegak tiang-tiang Islam atau hukum Islam atau Negara Islam.[6]

Beriman dan bertakwa dengan benar yang dihasilkan dari proses at-tashfiyah dan tarbiyah di atas. Sebab persaudaran ini didasarkan kepada iman dan takwa seperti dijelaskan Allah Subahnahu wa Ta'ala dalam firman-Nya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara [al-Hujurât/49:10].

Syaikh Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan menyatakan: "Ini adalah ikatan yang Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan sebagai pengikat antar orang-orang yang beriman. Apabila didapatkan pada siapapun juga yang ada diseluruh dunia memiliki iman kepada Allah Azza wa Jalla, malaikat, kitab-kitab suci, para rasulnya dan hari akhir (dengan benar (pen)), maka ia adalah saudara bagi orang-orang yang beriman. Persaudaraan yang mengharuskan kaum Mukminin mencintai (kebaikan-red) untuk mereka sebagaimana mereka mencintai (kebaikan-red) untuk diri mereka sendiri.[7]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menjelaskan hubungan tersebut harus ditegakkan dengan takwa dalam firman-Nya:

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa. [az-Zukhruf/43:67]

Kecintaan orang-orang bertakwa kekal dan terus bersambung dengan sebab kesinambungan orang yang mencintai karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.

2. Dasar persaudaraan iman adalah ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai konsekwensi kesempurnaan iman dan takwa. Sebab persaudaraan iman ini adalah ibadah yang tidak diterima tanpa keikhlasan.

3. Komitmen dengan manhaj Islam yang benar dan ketentuannya yang merupakan kesempurnaan ikhlas. Sehingga bersatu dan berpisahpun di atas manhaj Allah Azza wa Jalla sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Azza wa Jalla :

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تُتْرَكُوا وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنكُمْ وَلَمْ يَتَّخِذُوا مِن دُونِ اللَّهِ وَلَا رَسُولِهِ وَلَا الْمُؤْمِنِينَ وَلِيجَةً ۚ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Apakah kamu akan mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyatan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [at-Taubah/9:16] demikian juga sabda beliau kepada 7 orang yang mendapatkan naungan-Nya:

وَرَجُلاَنِ تَحَابَا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ

Dua orang saling mencintai di jalan Allah berkumpul dan berpisah di atasnya. [Muttafaqun 'alaihi].

Syaikh Salîm bin 'Ied al Hilâli Hafizhahullâh mengomentari hal ini dengan menyatakan: "Berpegang teguh kepada manhaj Islam yang benar dengan semua yang telah Allah l syariatkan. Penerapan teladan baik dari kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah standar (kebenaran). Bukan berpegang teguh kepada hubungan nasab, tokoh, organisasi, partai, madzhab, kelompok, pemerintahan atau kebangsaan. Sesungguhnya kelemahan dan ketidak mampuan yang menggerogoti kehidupan Islam bersumber dari sikap penentangan dan berpaling dari standar (kebenaran) ini. Atau juga usaha-usaha merampasnya dari tangan seorang muslim." [9]

4. Melaksanakan tugas nasehat-menasehati yang menjadi bagian tak terpisahkan dari komitmen terhadap manhaj yang shahîh. Oleh karena itu para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu berbai'at dengannya, sebagaimana dijelaskan Jarîr bin Abdillâh Radhiyallahu 'anhu :

بَايَعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n عَلَى إِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

Aku berbai'at kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat dan menasehati setiap muslim. [HR al-Bukhâri 1/20]

5. Tugas nasehat-menasehati tentunya menjadikan kaum Muslimin bekerjasama dalam kebaikan dan takwa, sebagaimana diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firman-Nya:

ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa. [al-Mâidah/5:2].

Kerja sama yang baik ini akan menghasilkan sikap solidaritas terhadap saudaranya seiman.

6. Memiliki solidaritas, berkorban dan tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan hidup saudaranya, sebagai wujud kesempurnaan iman. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidak sempurna iman salah seorang kalian hingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya. (Muttafaqun 'Alaihi) Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَى

Permisalan kaum mukminin dalam saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah lembuti seperti satu tubuh; apabila salah satu anggotanya sakit maka menjadikan seluruh tubuhnya demam dan tidak bisa tidur. [Muttafaqun ‘Alaihi]

Demikianlah, antara lain sebab terwujudnya ukhuwah imaniyah (persaudaraan iman). Mudah-mudahan Allah Subhanahahu wa Ta'ala memberikan taufiq kepada kaum Muslimin untuk melaksanakan dan menggapainya. Wabillâhi taufîq.

Marâji'
1. Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm surat ali Imrân, Ibnu Utsaimîn , cetakan pertama tahun 1426 H, Dâr ibni al-jauzi, KSA .
2. Adhwâ' al-Bayâni Fî Idhah al-Qur`ân bi al-Qur`ân, Syaikh Muhammad al-Amîn bin Muhammad al-Mukhtâr asyingqîthy, cetakan tahun 1426 H, Maktabah al-'Ulûm wa al-Hikam, Madinah.
3. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa'di
4. At-Tashfiyah Wa at-tarbiyah, Syaikh Ali Hasan al-Halabi
5. at-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Hâjat an-Nâs ilaha, Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albâni
6. Al-Hubbu Wa al-Bagh-dhu Fillâhi Fî Dhu`I al-Kitâb wa as-Sunnah, Syaikh Salîm bin 'Ied al-Hilâli, cetakan pertama tahun 1421 H, Dâr ibnu al-Qayyim.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/1430H/2009M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Tafsir al-Qur`ân al-Karîm surat ali Imrân, Ibnu Utsaimîn 1/596-597
[2]. Adhwâ' al-Bayân 3/298
[3]. Taisîr al-Karîmir-Rahmân hlm 325
[4]. Al-Hubbu Wa al-Bagh-dhu Fillâhi Fî Dhu`I al-Kitâb wa as-Sunnah, Syaikh Salîm bin 'Ied al-Hilâli, hlm 20.
[5]. al-Ashâlah edisi 1 hlm 34 dinukil dari at-Tashfiyah Wa at-tarbiyah, Syaikh Ali Hasan al-Halabi hlm
[6]. at-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Hâjat an-Nâs ilaha hal 29-31
[7]. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, hlm 800
[8]. Ibid hlm 796
[9]. Al-Hubbu Wa al-Bagh-dhu Fillahi , hlm 20.

Monday, August 19, 2013

Hukum Memakai Software Bajakan

Bagaimanakah hukum menggunakan uang hasil usaha dengan menggunakan software bajakan?
Pendengar Radio Muslim
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.menjawab:
Menggunakan software bajakan untuk suatu usaha telah dijelaskan keharamannya oleh p
ara ulama rahimahumullah. Sehingga penggunaan uang hasil usahanya adalah termasuk menggunakan hasil dari usaha yang tidak halal. Maka seharusnya hasil usaha tersebut tidak digunakan untuk makan. Hasil usaha yang haram seharusnya disalurkan kepada orang lain. Tidak boleh kita makan hasilnya.
Wallahu'alam bis shawab
 

Friday, August 16, 2013

Imam Shalat Sambil Membaca Mushaf

sujud dalam shalat

 Imam Shalat Tarawih Membaca Surat dengan Melihat Mushaf

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Di kampung saya, terdapat masjid yang ketika shalat terawih di bulan puasa, imam yang memimpin shalat membaca surat pendek setelah al-Fatihah dengan melihat Alquran. Tujuan imam dan pengurus masjid disana, membaca sambil melihat surat Alquran itu adalah untuk menghatamkan bacaan Alquran di dalam shalat terawih berjamaah selama sebulan.

Hal ini dilakukan karena memang jamaah di masjid ini tidak ada yang hatam Alquran.
Pertanyaan saya, apa ada dalilnya seorang imam yang memimpin shalat berjamaah membaca surat pendek itu dengan melihat Alquran terlepas dari tujuan yang dimaksud? Kami mohon penjelasnnya beserta dalilnya dan mohon penjelaasn apakah hal ini sebaiknya boleh atau tidak dilakukan oleh seorang Imam. terima kasih.
Dari: Muhammad
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du
Kasus imam yang memimpin shalat jamaah sambil membawa atau membaca mushaf, ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Al-Kasani menyebutkan,
ولو قرأ المصلي من المصحف فصلاته فاسدة عند أبي حنيفة. وعند أبي يوسف و محمد: تامة ويكره. وقال الشافعي: لا يكره.
“Jika ada orang yang shalat sambil membaca mushaf, maka shalatnya batal menurut Imam Abu Hanifah, sementara menurut Abu Yusuf dan Muhammad asy-Syaibani (dua murid senior Imam Abu Hanifah), shalatnya sah, namun makruh. Kemudian Imam asy-Syafii berpendapat, “Tidak makruh.” (Bada’i ash-Shana’i, 1:236).
Selanjutnya al-Kasani menyebutkan alasan masing-masing pendapat,
Abu Hanifah menganggap ini membatalkan shalat karena dua hal:
Pertama, bahwa orang yang shalat sambil membawa mushaf, membolak-balik halaman mushaf, melihat mushaf, dst. adalah gerakan yang terlalu banyak, padahal itu bukan bagian dari shalat. Sementara itu juga tidak diperlukan ketika shalat, sehingga hal ini merusak shalatnya.
Kedua, orang yang menjadi imam sambil membawa mushaf, dia membaca teks dari mushaf. Padahal orang yang membaca teks termasuk belajar, sebagaimana dia belajar dari teks yang lain, sehingga ini bisa membatalkan shalat.
Sementara ulama yang tidak menghukumi batal beralasan dengan hadis tentang Dzakwan (bekas budak Aisyah)
أن مولى لعائشة يقال له: ذكوان كان يؤم الناس في رمضان وكان يقرأ من المصحف
“Bahwa mantan budak Aisyah, yang namanya Dzakwan, beliau mengimami masyarakat ketika Ramadhan dan beliau sambil membaca mushaf.”
Kemudian, melihat mushaf termasuk ibadah, membaca mushaf juga ibadah, dan menggabungkan satu ibadah dengan ibadah yang lain, tidak menyebabkan batal. Hanya saja, semacam ini dimakruhkan, karena menyerupai Ahli kitab (Yahudi dan Nasrani, yang shalat dengan membaca kitabnya).
Sedangkan Imam asy-Syafi’i beralasan bahwa itu bukan tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir, karena kita juga makan apa yang mereka makan, dan itu tidak disebut meniru kebiasaan ahli kitab. (Bada’i ash-Shana’i, 1:236)
Badruddin Al-Aini mengatakan:
“Zahirnya menunjukkan bolehnya membaca dari mushaf ketika shalat. Ini merupakan pendapat Ibnu Sirin, Hasan al-Bashri, al-Hakam, dan Atha’. Anas bin Malik juga pernah menjadi imam, sementara ada anak di belakang beliau yang membawa mushaf. Apabila beliau lupa satu ayat, maka si anak tadi membukakan mushaf untuk beliau. Imam Malik juga membolehkannya ketika tarawih, sementara an-Nakhai, Said bin Musayib, dan asy-Sya’bi membencinya. Mereka mengatakan: ‘Itu seperti perbuatan orang Nasrani.’” (Umdatul Qori, Syarh Shahih Bukhari, 5:225)
Lajnah Daimah pernah mendapatkan pertanyaan semacam ini, selanjutnya mereka menjawab:
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum kasus ini. Sebagian membencinya, dan mayoritas ulama membolehkannya. Dalam kitab “Qiyam al-Lail wa Qiyam Ramadhan” karya al-Maruzi dinyatakan:
عن ابن أبي مليكة أن ذكوان أبا عمرو كانت عائشة أعتقته عن دبر فكان يؤمها ومن معها في رمضان في المصحف
Dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Dzakwan (Abu Amr) –budak yang dijanjikan bebas oleh Aisyah jika beliau (Aisyah) meninggal- mengimami Aisyah dan orang-orang bersama Aisyah di bukan Ramadhan dengan membaca mushaf. (HR. Bukhari secara Muallaq, dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf)
Ibnu Wahb mengatakan:
Imam Malik ditanya, ada sebuah kampung yang masyarakatnya tidak ada yang hafal Alquran. Bolehkah imam membaca mushaf ketika jamaah? Imam Malik menjawab: “Tidak masalah.”
Kemudian, diantara ulama yang membenci, imam shalat sambil membaca mushaf adalah Mujahid, Ibrahim, dan Sufyan. Mereka membenci seseorang mengimami shalat ketika Ramadhan sambil membaca mushaf, khawatir termasuk tasyabbuh dengan ahli kitab.
Sementara alasan ini dibantah oleh al-Maruzi, dengan mengatakan:
Membaca Alquran terlalu jauh untuk disebut meniru ahli kitab, dibandingkan membaca buku-buku matematika. Karena membaca Alquran termasuk amal shalat, sementara buku-buku berhitung tidak termasuk bagian shalat.
Maksud al-Maruzi, sebagaimana kita boleh membaca buku umum yang bermanfaat dan itu tidak teramasuk tasyabbuh terhadap ahli kitab, maka mmebaca Alquran lebih layak untuk tidak disebut meniru kebiasaan orang kafir. (Fatwa Lajnah Daimah, 579).
Sementara itu, Imam Ibnu Baz berpendapat bahwa hal semacam ini boleh jika dibutuhkan. Seperti shalat malam ketika Ramadhan yang panjang bagi imam yang tidak hafal Alquran. Hanya saja beliau menyarakan agar imam berusaha untuk menghafalkan Alquran, sehingga tidak perlu membawa Alquran ketika menjadi imam. (Kitab ad-Dakwah, 2:116)
Inilah saran yang tepat, agar kita bisa terbebas dari perselisihan pendapat di atas dan berada di posisi yang lebih selamat.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

Sumber: konsultasisyariah.com

Thursday, August 15, 2013

Hukum Onani atau Masturbasi

Hukum Onani atau Masturbasi
Tanya:
Apa hkm onani bg bujang/blm mampu menikah utk melampiaskan nafsu sahwat.

Jawab:
Berikut jawaban dari tiga ulama besar di zaman ini:
1. Fatwa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan -hafizhahullah-
Tanya : “Saya seorang pelajar muslim (selama ini) saya terjerat oleh kabiasaan onani/masturbasi. Saya diombang-ambingkan oleh dorongan hawa nafsu sampai berlebih-lebihan melakukannya. Akibatnya saya meninggalkan shalat dalam waktu yang lama. Saat ini, saya berusaha sekuat tenaga (untuk menghentikannya). Hanya saja, saya seringkali gagal.
Terkadang setelah melakukan shalat witir di malam hari, pada saat tidur saya melakukannya. Apakah shalat yang saya kerjakan itu diterima ? Haruskah saya mengqadha shalat ? Lantas, apa hukum onani ? Perlu diketahui, saya melakukan onani biasanya setelah menonton televisi atau video.”
Jawab :
Onani/Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’ (meraih kesenangan/ kenikmatan) dengan cara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan. Allah tidak membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan seksual kecuali pada istri atau budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” [QS. Al-Mu`minun: 5 - 6]
Jadi, istimta’ apapun yang dilakukan bukan pada istri atau budak perempuan, maka tergolong bentuk kezaliman yang haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk menghilangkan keliaran dan pengaruh negative syahwat.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya”. (HR. Al-Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas’ud]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kita petunjuk mematahkan (godaan) syahwat dan menjauhkan diri dari bahayanya dengan dua cara : berpuasa untuk yang tidak mampu menikah, dan menikah untuk yang mampu. Petunjuk beliau ini menunjukkan bahwa tidak ada cara ketiga yang para pemuda diperbolehkan menggunakannya untuk menghilangkan (godaan) syahwat. Dengan begitu, maka onani/masturbasi haram hukumnya sehingga tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun menurut jumhur ulama.
Wajib bagi anda untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengulangi kembali perbuatan seperti itu. Begitu pula, anda harus menjauhi hal-hal yang dapat mengobarkan syahwat anda, sebagaimana yang anda sebutkan bahwa anda menonton televisi dan video serta melihat acara-acara yang membangkitkan syahwat. Wajib bagi anda menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar video atau televisi yang menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua itu termasuk sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.
Seorang muslim seyogyanya (selalu) menutup pintu-pintu keburukan untuk dirinya dan membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang mendatangkan keburukan dan fitnah pada diri anda, hendaknya anda jauhi. Di antara sarana fitnah yang terbesar adalah film dan drama seri yang menampilkan perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan yang membakar syahwat. Jadi anda wajib menjauhi semua itu dan memutus jalannya kepada anda.
Adapun tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu tidak wajib bagi anda. Perbuatan dosa yang anda lakukan itu tidak membatalkan witir yang telah anda kerjakan. Jika anda mengerjakan shalat witir atau nafilah atau tahajjud, kemudian setelah itu anda melakukan onani, maka onani itulah yang diharamkan –anda berdosa karena melakukannya-, sedangkan ibadah yang anda kerjakan tidaklah batal karenanya. Hal itu karena suatu ibadah jika ditunaikan dengan tata cara yang sesuai syari’at, maka tidak akan batal/gugur kecuali oleh syirik atau murtad –kita berlindung kepada Allah dari keduanya-. Adapun dosa-dosa selain keduanya, maka tidak membatalkan amal shalih yang terlah dikerjakan, namun pelakunya tetap berdosa. [Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilah Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan IV 273-274]
2. Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin -rahimahullah-
Tanya :
“Apa hukum melakukan kebiasaan tersembunyi (onani) ?”
Jawab:
“Melakukan kebiasaan tersembunyi (onani), yaitu mengeluarkan mani dengan tangan atau lainnya hukumnya adalah haram berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Sunnah serta penelitian yang benar.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan, “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” [QS. Al-Mu'minun: 5 - 7]
Siapa saja mengikuti dorongan syahwatnya bukan pada istrinya atau budaknya, maka ia telah “mencari yang di balik itu”, dan berarti ia melanggar batas berdasarkan ayat di atas.
Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya.” (HR. Al-Bukhari: 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas’ud]
Pada hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak mampu menikah agar berpuasa. Kalau sekiranya melakukan onani itu boleh, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya. Oleh karena beliau tidak menganjurkannya, padahal mudah dilakukan, maka secara pasti dapat diketahui bahwa melakukan onani itu tidak boleh.
Penelitian yang benar pun telah membuktikan banyak bahaya yang timbul akibat kebiasaan tersembunyi itu, sebagaimana telah dijelaskan oleh para dokter. Ada bahayanya yang kembali kepada tubuh dan kepada system reproduksi, kepada fikiran dan juga kepada sikap. Bahkan dapat menghambat pernikahan yang sesungguhnya. Sebab apabila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara seperti itu, maka boleh jadi ia tidak menghiraukan pernikahan.
[As ilah muhimmah ajaba ‘alaiha Ibnu Utsaimin, hal. 9, disalin dari buku Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram]
3. Fatwa Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah-
Tanya:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : “Ada seseorang yang berkata ; Apabila seorang lelaki perjaka melakukan onani, apakah hal itu bisa disebut zina dan apa hukumnya ?”
Jawab:
Ini yang disebut oleh sebagian orang “kebiasaan tersembunyi” dan disebut pula “jildu ‘umairah” dan ‘‘istimna” (onani). Jumhur ulama mengharamkannya, dan inilah yang benar, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan orang-orang Mu’min dan sifat-sifatnya, “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 5 – 7]
Orang yang melampuai batas artinya orang yang zhalim yang melanggar aturan-aturan Allah.
Di dalam ayat di atas Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang tidak bersetubuh dengan istrinya dan melakukan onani, maka berarti ia telah melampaui batas ; dan tidak syak lagi bahwa onani itu melanggar batasan Allah.
Maka dari itu, para ulama mengambil kesimpulan dari ayat di atas, bahwa kebiasaan tersembunyi (onani) itu haram hukumnya. Kebiasaan rahasia itu adalah mengeluarkan sperma dengan tangan di saat syahwat bergejolak. Perbuatan ini tidak boleh ia lakukan, karena mengandung banyak bahaya sebagaimana dijelaskan oleh para dokter kesehatan.
Bahkan ada sebagian ulama yang menulis kitab tentang masalah ini, di dalamnya dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasan buruk tersebut. Kewajiban anda, wahai penanya, adalah mewaspadainya dan menjauhi kebiasaan buruk itu, karena sangat banyak mengandung bahaya yang sudah tidak diragukan lagi, dan juga betentangan dengan makna yang gamblang dari ayat Al-Qur’an dan menyalahi apa yang dihalalkan oleh Allah bagi hamba-hambaNya.
Maka ia wajib segera meninggalkan dan mewaspadainya. Dan bagi siapa saja yang dorongan syahwatnya terasa makin dahsyat dan merasa khawatir terhadap dirinya (perbuatan yang tercela) hendaknya segera menikah, dan jika belum mampu hendaknya berpuasa, sebagaimana arahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendakanya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya.”
Di dalam hadits ini beliau tidak mengatakan : “Barangsiapa yang belum mampu, maka lakukanlah onani, atau hendaklah ia mengeluarkan spermanya”, akan tetapi beliau mengatakan : “Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya”
Pada hadits tadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dua hal, yaitu :
Pertama: Segera menikah bagi yang mampu.
Kedua: Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan.
Maka hendaklah anda, wahai pemuda, beretika dengan etika agama dan bersungguh-sungguh di dalam berupaya memelihara kehormatan diri anda dengan nikah syar’i sekalipun harus dengan berhutang atau meminjam dana. Insya Allah, Dia akan memberimu kecukupan untuk melunasinya.
Menikah itu merupakan amal shalih dan orang yang menikah pasti mendapat pertolongan, sebagaimana Rasulullah tegaskan di dalam haditsnya, “Ada tiga orang yang pasti (berhak) mendapat pertolongan Allah Azza wa Jalla : Al-Mukatab (budak yang berupaya memerdekakan diri) yang hendak menunaikan tebusan darinya. Lelaki yang menikah karena ingin menjaga kesucian dan kehormatan dirinya, dan mujahid (pejuang) di jalan Allah.” (HR. At-Tirmizi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah)
(Dikutip dari terjemah Fatawa Syaikh Bin Baz, dimuat dalam Majalah Al-Buhuts, edisi 26 hal 129-130, disalin dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram)
Sumber: Salafy.or.id offline Judul: Fatwa ulama seputar onani atau masturbasi dengan sedikit perubahan

Sumber: al-atsariyyah.com

Wednesday, August 14, 2013

(TERBARU) CARA,PANDUAN & BIMBINGAN SHALAT JENAZAH YANG BENAR SESUAI SUNNAH | Apa Hukum Sholat Jenazah? Apakah Disyariatkan Menshalati Janin yang Gugur? Bagaimana cara masbuq sholat jenazah? Bagaimana cara takbir sholat jenazah? Apa bacaan/do’a diantara takbir sholat jenazah? |BONUS kajian mp3 gratis tatacara sholat & pengurusan jenazah Al-Ustadz Asykari & Al-Ustadz Ibnu Yunus

Bahasan selanjutnya setelah tatacara memandikan jenazah adalah shalat jenazah. Barangkali sebagian kita telah berulang kali mengamalkannya.
Namun kajian ini insya Allah tetap memiliki nuansa lain karena kita diajak untuk menyelami dalil-dalilnya.
Purna sudah tugas memandikan dan mengafani jenazah. Yang tertinggal sekarang adalah menshalati, mengantarkannya ke pekuburan dan memakamkannya. Untuk mengantarkan ke pekuburan dan memakam-kannya merupakan tugas laki-laki, karena Rasulullah n telah melarang wanita untuk mengikuti jenazah sebagaimana diberitakan Ummu ‘Athiyyah x:
“Kami dilarang (dalam satu riwayat: Rasulullah n melarang kami) untuk mengikuti jenazah namun tidak ditekankan (larangan tersebut) terhadap kami.”1
Al-Imam Ibnul Daqiqil ‘Ied t berkata:“Hadits ini mengandung dalil dibencinya wanita mengikuti jenazah, namun tidak sampai pada keharaman. Demikian yang dipahami dari ucapan Ummu ‘Athiyyah x: (namun tidak ditekankan larangan tersebut terhadap kami) karena ‘azimah menunjukkan ta`kid (penekanan).” (Ihkamul Ahkam fi Syarhi ‘Umdatil Ahkam, kitab Al-Jana`iz, hal. 199)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani tberkata: “Seakan-akan Ummu ‘Athiyyah xhendak menyatakan bahwa: ‘Beliau n benci bila kami mengikuti jenazah, namun beliau tidak mengharamkannya’.” Al-Qurthubi t berkata: “Yang tampak dari konteks ucapan Ummu ‘Athiyyahxadalah larangan tersebut merupakan nahi tanzih (larangan makruh, bukan haram). Demikian pendapat jumhur ahlul ilmi2.” (Fathul Bari, 3/186).
Download File Kajian Bid ‘ah seputar jenazah zip
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/balikpapan/Lain-Lain/Bid_%27ah-seputar-jenazah.zip
 Bid ‘ah seputar jenazah zip Bid ‘ah seputar jenazah Bid ‘ah seputar zip Bid ‘ah seputar Bid ‘ah jenazah zip Bid ‘ah jenazah Bid ‘ah zip Bid ‘ah Bid sepu
Sementara ulama Madinah membo-lehkannya, termasuk Al-Imam Malik t, namun untuk wanita yang masih muda/ remaja beliau memakruhkannya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Al-Imam An-Nawawi 7/5, Ihkamul Ahkam, kitab Al-Janaiz, hal. 200)
Dengan demikian, keutamaan mengikuti jenazah seperti ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairahz3 hanya berlaku untuk lelaki secara khusus (Ahkamul Janaiz, Asy-Syaikh Al-Albani v, hal. 88,90).

Shalat Jenazah

Menshalati jenazah seorang muslim hukumnya fardhu/ wajib kifayah4, karena adanya perintah Nabi n dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Abu Qatadahz, ia menceritakan:
Didatangkan jenazah seorang lelaki dari kalangan Anshar di hadapan Rasulullah n agar beliau menshalatinya, ternyata beliau n, bersabda: “Shalatilah teman kalian ini, (aku tidak mau menshalatinya) karena ia meninggal dengan menanggung hutang.” Mendengar hal itu berkatalah Abu Qatadah: “Hutang itu menjadi tanggunganku.” Nabi n bersabda: “Janji ini akan disertai dengan penunaian?”. “Janji ini akan disertai dengan penunaian,“ jawab Abu Qatadah. Maka Nabi pun menshalatinya.”5
Dikecualikan dalam hal ini dua jenis jenazah yang tidak wajib dishalati, yaitu:
1. Anak kecil yang belum baligh, karena Nabi n tidak menshalati putra beliau Ibrahim ketika wafatnya sebagaimana diberitakan ‘Aisyahx:
“Ibrahim putra Nabi n meninggal dunia dalam usia 18 bulan, beliau n tidak menshalatinya.”6
2. Orang yang gugur fi sabilillah (syahid) karena Nabi n tidak menshalati syuhada perang Uhud dan selain mereka. Anas bin Malik z mengabarkan:
“Syuhada perang Uhud tidak dimandikan, dan mereka dimakamkan dengan darah-darah mereka, juga tidak dishalati kecuali jenazah Hamzah.”7
Kedua golongan di atas, kalaupun hendak dishalati maka tidak menjadi masalah bahkan hal ini disyariatkan. Namun pensyariatannya tidaklah wajib. Kenapa kita katakan hal ini disyariatkan? Karena Nabi n pernah pula menshalati jenazah anak kecil seperti tersebut dalam hadits Aisyah x:
“Didatangkan kepada Rasulullah n jenazah anak kecil dari kalangan Anshar, beliau pun menshalatinya…”8
Sebagaimana Nabi n pernah menshalati jenazah seorang A‘rabi (Badui) yang gugur di medan jihad. Syaddad ibnul Haad berkisah:
“Seorang lelaki dari kalangan A‘rabi datang menemui Nabi n . Ia pun beriman dan mengikuti beliau. Kemudian ia berkata: “Aku berhijrah bersamamu.” Nabi n berpesan kepada beberapa shahabatnya untuk memperhatikan A‘rabi ini. Ketika perang Khaibar, Nabi n mendapatkan ghanimah, beliau membaginya, dan memberikan bagian kepada A‘rabi tersebut dengan menyerahkannya lewat sebagian shahabat beliau. Saat itu si A‘rabi ini sedang menggembalakan tunggangan mereka. Ketika ia kembali, mereka menyerahkan bagian ghanimah tersebut kepadanya.
“Apa ini ?” tanya A’rabi tersebut.
“Bagian yang diberikan Nabi n untukmu,” jawab mereka.
A‘rabi ini mengambil harta tersebut lalu membawanya ke hadapan Nabi n, seraya bertanya: “Harta apa ini?”
“Aku membaginya untukmu,” sabda Nabi n .
“Bukan untuk ini aku mengikutimu, akan tetapi aku mengikutimu agar aku dipanah di sini – ia memberi isyarat ke tenggorokannya– hingga aku mati, lalu masuk surga,” kata A’rabi.
Nabi n bersabda: “Bila engkau jujur terhadap Allah (dengan keinginanmu tersebut), niscaya Dia akan menepatimu.”
Mereka tinggal sejenak. Setelahnya mereka bangkit untuk memerangi musuh (A‘rabi turut serta bersama mereka, akhirnya ia gugur di medan laga, –pent.) Ia dibopong ke hadapan Nabi n, setelah sebelumnya ia terkena panah pada bagian tubuh yang telah diisyaratkannya.
“Apakah ini A’rabi itu?” tanya Nabi n.
“Ya,“ jawab mereka yang ditanya.
“Dia jujur kepada Allah maka Allah pun menepati keinginannya,” kata Nabi n. Kemudian Nabi n mengafaninya dengan jubah beliau. Setelahnya, beliau meletakkannya di hadapan beliau untuk dishalati. Di antara doa Nabi n dalam shalat jenazah tersebut: “Ya Allah, inilah hamba-Mu, dia keluar dari negerinya untuk berhijrah di jalan-Mu, lalu ia terbunuh sebagai syahid, aku menjadi saksi atas semua itu.”9
Ibnul Qayyim t berkata: “Yang benar dalam masalah ini, seseorang diberi pilihan antara menshalati mereka atau tidak, karena masing-masing ada atsarnya. Demikian salah satu riwayat dari pendapat Al-Imam Ahmad t. Dan pendapat inilah yang paling men-cocoki ushul dan madzhabnya.” (Tahdzibus Sunan , 4/295 sebagaimana dalam Ahkamul Jana`iz , hal. 108)
Apakah Disyariatkan Menshalati Janin yang Gugur?
Janin yang gugur dishalati apabila telah ditiupkan ruh kepadanya, yakni ketika telah genap usia 4 bulan. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Ibnu Mas‘ud z secara marfu‘:
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama 40 hari juga, kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama 40 hari juga. Setelah itu (ketika janin telah berusia 120 hari atau 4 bulan, –pent.) Allah mengutus seorang malaikat yang diperintah dengan empat kata, dikatakan kepada malaikat tersebut: “Tulislah amal dan rizkinya. (Tulis pula) apakah ia bahagia atau sengsara. Kemudian ditiupkan ruh pada janin tersebut….”10
Adapun bila janin itu gugur sebelum 4 bulan maka tidak dishalati, karena janin tersebut tidak bisa dianggap sebagai mayat (karena belum mempunyai ruh). (Al-Hawil Kabir, 3/31, Al-Muhalla 3/386-387, Nailul Authar 4/61)
Shalat Jenazah Dilakukan Secara Berjamaah
Disyariatkan shalat jenazah secara berjamaah sebagaimana shalat lima waktu, dengan dalil:
1.    Nabi n senantiasa melaksanakannya secara berjamaah.
2.    Nabi n telah bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” 11
Namun bila mereka mengerjakannya sendiri-sendiri maka telah tertunaikan kewajiban, sebagaimana kata Al-Imam An-Nawawi t: “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa shalat jenazah boleh dilakukan sendiri-sendiri. Namun yang sunnah, shalat jenazah itu dilakukan secara berjamaah. Karena demikianlah yang ditunjukkan dalam hadits-hadits masyhur yang ada dalam kitab Ash-Shahih, bersamaan dengan adanya ijma’ kaum muslimin dalam masalah ini.” (Al-Majmu’, 5/172)
Semakin banyak jamaah yang menshalati jenazah tersebut, semakin afdhal dan ber-manfaat bagi si mayat12, karena Nabi n bersabda:
“Tidak ada satu mayat pun yang dishalati oleh suatu umat dari kaum muslimin yang mencapai jumlah 100 orang, di mana mereka memberikan syafaat kepada si mayat, melainkan mayat tersebut disyafaati.”13
Bahkan jumlah yang kurang dari 100 pun bermanfaat bagi si mayat, dengan syarat mereka yang menshalatinya itu dari kalangan muwahhidin (orang-orang yang bertauhid dengan tidak mencampurinya dengan kesyirikan sedikit pun). Seperti tersebut dalam sabda Nabi n:
“Tidak ada seorang muslimpun yang meninggal, lalu 40 orang yang tidak berbuat syirik terhadap Allah sedikit pun menshalati jenazahnya, melainkan Allah memberikan syafaat mereka itu terhadapnya.”14
Disunnahkan makmum yang ikut shalat jenazah tersebut membentuk tiga shaf atau lebih di belakang imam15, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits dari Abu Umamah t, ia berkata:
“Rasulullah n pernah shalat jenazah bersama tujuh orang, maka beliau menjadikan tiga orang berada dalam satu shaf, dua orang yang lain dalam satu shaf dan dua orang yang tersisa dalam satu shaf.”16
Yang afdhal pelaksanaan shalat jenazah itu di luar masjid, di tempat yang memang khusus disiapkan untuk shalat jenazah, sebagaimana hal ini dilakukan di masa Nabi n (Ahkamul Jana`iz, hal. 135).
Masbuq dalam Shalat Jenazah
Ibnu Hazm t berkata: “Bila seseorang luput dari mendapatkan beberapa takbir dalam shalat jenazah (bersama imamnya), maka ia langsung bertakbir ketika tiba di tempat shalat tersebut tanpa menanti takbir imam yang berikutnya. Apabila imam telah salam, ia menyempurnakan apa yang luput dari takbirnya, dan berdoa di antara takbir yang satu dengan takbir yang lain sebagaimana yang ia perbuat bersama imam. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah n terhadap orang yang (terlambat) mendatangi shalat berjamaah (masbuq) agar ia mengerjakan apa yang sempat ia dapatkan bersama imam dan ia sempurnakan apa yang tertinggal….” (Al-Muhalla, 3/410)
Posisi Berdiri Imam
Ketika jenazah diletakkan untuk dishalati, bila jenazahnya lelaki, imam berdiri di belakangnya pada posisi kepala. Adapun jika jenazahnya wanita maka imam berdiri pada posisi tengahnya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Samurah bin Jundabzyang dikelu-arkan dalam Shahihain17. Samurah berkata:
“Aku pernah menjadi makmum di belakang Nabi n ketika menshalati seorang wanita bernama Ummu Ka’ab yang meninggal karena melahirkan. Nabi n berdiri pada posisi tengah jenazah dan beliau bertakbir empat kali.”18
Abu Ghalib Al-Khayyath t berkisah: “Aku pernah menyaksikan Anas bin Malik z menshalati jenazah seorang lelaki, ia berdiri di bagian yang bersisian dengan kepala jenazah. Ketika jenazah tersebut telah diangkat, didatangkan jenazah seorang wanita dari Anshar, maka dikatakan kepada Anas: ‘Wahai Abu Hamzah (kunyah Anas), tolong shalatilah.’ Anas pun menshalatinya dan ia berdiri pada posisi tengah jenazah.
Di antara kami ketika itu ada Al-’Ala` bin Ziyad Al-’Adawi (seorang yang tsiqah dari kalangan tabi’in, termasuk ahli ibadah dan qurra` penduduk Bashrah). Ketika melihat perbedaan berdirinya Anas tersebut, ia berkata: ‘Wahai Abu Hamzah, apakah demikian Rasulullah n berdiri sebagaimana engkau berdiri ketika menshalati jenazah laki-laki dan ketika menshalati jenazah wanita?’ Anas menjawab: ‘Iya’.”19
Wanita Menshalati Jenazah
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Apabila tidak ada yang menghadiri jenazah kecuali para wanita, maka tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya mereka menshalati jenazah tersebut. Dan tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya ketika itu gugurlah kewajiban (menshalati jenazah) dengan apa yang mereka lakukan. Dan mereka menshalati jenazah tersebut secara sendiri-sendiri. Namun tidak apa-apa bila mereka mengerjakan secara berjamaah (dengan sesama mereka).” (Al-Majmu’, 5/169)

Tata Cara Shalat Jenazah

Shalat jenazah memiliki tata cara yang berbeda dengan shalat yang lain, karena shalat ini dilaksanakan tanpa ruku’, tanpa sujud, tanpa duduk, dan tanpa tasyahhud (Al-Muhalla, 3/345). Berikut perinciannya:
1.    Bertakbir 4 kali20, demikian pendapat mayoritas shahabat, jumhur tabi‘in, dan madzhab fuqaha seluruhnya. 
Download File Kajian D 2010 05 28 B TJ09 Mengangkat tangan pada takbir sholat jenazah mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/ashthy/UD/Dauroh-Cepogo-2010_05_28-30/D-2010_05_28-B-TJ09-Mengangkat-tangan-pada-takbir-sholat-jenazah.mp3
2.    Takbir pertama dengan mengangkat tangan, lalu tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri (sedekap) sebagaimana hal ini dilakukan pada shalat-shalat lain. Al-Imam Al-Hafizh Ibnul Qaththan t berkata: “Ulama bersepakat bahwa orang yang menshalati jenazah, ia bertakbir dan mengangkat kedua tangannya pada takbir yang awal.” (Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’, 1/186)
Ibnu Hazm t menyatakan: “Adapun mengangkat tangan ketika takbir dalam shalat jenazah, maka tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa Nabi n melakukannya, kecuali hanya pada awal takbir saja.” (Al-Muhalla, 3/351)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Tidak didapatkan dalam As-Sunnah adanya dalil yang menunjukkan disyariatkannya mengangkat tangan pada selain takbir yang pertama. Sehingga kita memandang meng-angkat tangan di selain takbir pertama tidaklah disyariatkan. Demikianlah pendapat madzhab Hanafiyyah dan selain mereka. Pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaukani t 21 dan lainnya dari kalangan muhaqqiq.” (Ahkamul Jana`iz , hal.148)
3. Setelahnya, berta‘awwudz lalu membaca Al-Fatihah22 dan surah lain dari Al-Qur`an23. Thalhah bin Abdillah bin ‘Auf berkata: “Aku pernah shalat jenazah di belakang Ibnu ‘Abbas c, ia membaca Al-Fatihah dan surah lain. Ia mengeraskan (menjahrkan) bacaannya hingga terdengar oleh kami. Ketika selesai shalat, aku memegang tangannya seraya bertanya tentang jahr tersebut. Beliau menjawab: “Hanyalah aku menjahrkan bacaanku agar kalian mengetahui bahwa (membaca Al-Fatihah dan surah dalam shalat jenazah) itu adalah sunnah24 dan haq (kebenaran)25”.
Sebenarnya bacaan dalam shalat jenazah tidaklah dijahrkan namun dengan sirr (pelan), berdasarkan keterangan yang ada dalam hadits Abu Umamah bin     Sahl, ia berkata: “Yang sunnah dalam shalat jenazah, pada takbir pertama membaca Al-Fatihah dengan perlahan kemudian bertakbir tiga kali dan mengucapkan salam setelah takbir yang akhir.”26
Ibnu Qudamahtberkata: “Bacaan (qira`ah) dan doa dalam shalat jenazah dibaca secara sirr. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini di kalangan ahlul ilmi. Adapun riwayat dari Ibnu ‘Abbas c di atas, maka kata Al-Imam Ahmad t: ‘Hanyalah beliau melakukan hal itu (men-jahrkan bacaan) untuk mengajari mereka’.” (Al-Mughni, fashl Al-Israr bil Qira`ah wad Du’a` fi Shalatil Janazah)
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata: “Jumhur ulama berpendapat tidak disunnahkan menjahrkan bacaan dalam shalat jenazah.” (Nailul Authar 4/81)
4.    Takbir kedua, lalu bershalawat untuk Nabi n sebagaimana lafadz shalawat dalam tasyahhud. (Al-Mughni, fashl Al-Israr bil Qira`ah wad Du’a` fi Shalatil Janazah, Asy-Syarhul Mumti’, 2/526)
5.    Takbir ketiga, lalu berdoa secara khusus untuk si mayat secara sirr menurut pendapat jumhur ulama. (Al-Minhaj 7/34) Nabi n bersabda:
“Apabila kalian menshalati mayat, khususkanlah doa untuknya.”27
Kata Al-Munawi t menerangkan makna hadits di atas: “Yakni doakanlah si mayat dengan ikhlas dan menghadirkan hati karena maksud dari shalat jenazah tersebut adalah untuk memintakan ampun dan syafaat bagi si mayat. Diharapkan permintaan tersebut akan dikabulkan dengan terkumpulnya keikhlasan dan doa dengan sepenuh hati.” (Catatan kaki Ahkamul Janaiz, hal. 156)
Dalam hal ini, mengucapkan doa yang pernah diajarkan Nabi n lebih utama daripada mengamalkan yang selainnya. (Asy-Syarhul Mumti‘ 2/530, At-Ta‘liqat Ar Radhiyyah 1/444).
Di antara sekian doa yang pernah diucapkan Nabi n untuk jenazah adalah:
“Allahummaghfir lahu warhamhu, wa ‘aafihi wa’fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi’ mudkhalahu. Waghsilhu bil maa-i wats tsalji wal barad. Wa naqqihi minadz dzunuubi wal khathaayaa kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minad danas. Wa abdilhu daaran khairan min daarihi, wa zaujan khairan min zaujihi. Wa adkhilhul jannata wa a’idz-hu min ‘adzaabil qabri wa min ‘adzaabin naari.”
“Ya Allah, ampuni dan rahmatilah dia. Lindungilah dia dari perkara yang tidak baik dan maafkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskan/ lapangkanlah tempat masuknya. Basuhlah ia (dari bekas-bekas dosa) dengan air,     salju dan es. Sucikanlah dia dari kesalahan-kesalahannya sebagaimana engkau mensucikan pakaian putih dari noda. Gantikanlah untuknya negeri yang lebih baik daripada negerinya, keluarga yang lebih baik daripada keluarganya dan pasangan yang lebih baik daripada pasangan hidupnya. Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah dia dari adzab kubur dan adzab neraka.”29
“Allahummaghfir lihayyinaa wa mayyitinaa, wa syaahidinaa wa ghaa-ibinaa, wa shaghiirinaa wa kabiirinaa, wadzakarinaa wa utsaanaa. Allahumma man ahyaitahu minna fa ahyihi ‘alal Islaam, wa man tawaffaitahu minnaa fa tawaffahu ‘alal imaan. Allahumma laa tahrimnaa ajrahu wa laa tudhilnaa ba’dahu.”
“Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan orang yang sudah meninggal, orang yang sekarang ada (hadir) dan orang yang tidak hadir, anak kecil di antara kami dan orang besar, laki-laki dan wanita kami. Ya Allah siapa yang engkau hidupkan di antara kami maka hidupkanlah ia di atas Islam dan siapa yang engkau wafatkan di antara kami maka wafat-kanlah dia di atas iman. Ya Allah janganlah engkau haramkan bagi kami pahalanya dan jangan engkau sesatkan kami sepeninggalnya.”30
Bila mayat itu anak kecil, maka disenangi untuk mendoakan kedua orang tuanya31 agar mendapatkan ampunan dan rahmah seperti tersebut dalam hadits Al-Mughirah bin Syu‘bah z.32
Ulama menganggap baik untuk mengucapkan doa berikut ini:
“Allahummaj’alhu dzukh-ran liwaalidaihi wa farathan wa ajran wa syafii’an mujaaban. Allahumm tsaqqil bihi mawaaziinahuma wa a’dhim bihi ujuurahuma wa alhiq-hu bi shaalihi salafil mukminin. Waj’alhu fii kifaalati Ibraahiima wa qihi birahmatika ‘adzaabal Jahiim…..dst”
Artinya:
“Ya Allah jadikanlah anak ini (si mayat) sebagai pendahulu bagi kedua orang tuanya, tabungan/ simpanan dan pahala bagi keduanya. Ya Allah beratkanlah timbangan keduanya dengan kematian si anak, besarkanlah pahala keduanya. Ya Allah, jadikanlah anak ini dalam tanggungan Nabi Ibrahim33 dan gabungkanlah dia dengan pendahulu yang shalih dari kalangan (anak-anak kecil) kaum mukminin. Lepaskanlah dia dari adzab neraka Jahim dengan rahmat-Mu34. Gantikanlah untuknya rumah/ negeri yang lebih baik daripada rumah/ negerinya, keluarga yang lebih baik daripada keluarganya. Ya Allah, ampunilah salaf kami, orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang mendahului kami dalam keimanan.”35 (Al-Mughni, fashl Ad-Du’a` li Walidayith Thifl Al-Mayyit)
6.    Pada takbir terakhir, disyariatkan berdoa sebelum mengucapkan salam dengan dalil hadits Abu Ya‘fur dari Abdullah bin Abi Aufa z ia berkata: “Aku menyaksikan Nabi n (ketika shalat jenazah) beliau bertakbir empat kali, kemudian (setelah takbir keempat) beliau berdiri sesaat –untuk berdoa–.”36
Al-Imam Ahmad t berpendapat disunnahkan berdoa setelah takbir terakhir ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Masa`il Al-Imam Ahmad (153). Demikian pula pendapat dalam madzhab Asy-Syafi‘iyyah. (Ahkamul Jana`iz, hal. 161)
7.    Kemudian salam seperti salam dalam shalat lima waktu, dan yang sunnah diucapkan secara sirr (pelan), baik ia imam ataupun makmum. (Al-Hawil Kabir 3/55-57, Nailul Authar 4/82)
Demikian yang bisa kami susun untuk pembaca yang mulia. Semoga Allah I menja-dikannya bermanfaat untuk kami pribadi dan orang yang membacanya. Amin.
Kebenaran itu datangnya dari Allah I. Adapun bila ada kesalahan dan kekeliruan maka hal itu semata karena kebodohan kami. Kami istighfar (memohon ampun) karenanya kepada At-Tawwabur Rahim (Dzat Yang Banyak Mengampuni hamba-hamba-Nya lagi Maha Penyayang).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ahkamul Janaiz 00 Muqaddimah mp3

Pembahasan bab Ahkamul Janaiz (pengurusan jenasah dan ziarah kubur) disampaikan oleh  Al-Ustadz Abu Karimah Asykari
http://sthelens.audiop.org.uk/thumbnails/download_large.gif Ahkamul Janaiz_Sesi1.mp3
http://sthelens.audiop.org.uk/thumbnails/download_large.gifAhkamul Janaiz_Sesi2.mp3
http://sthelens.audiop.org.uk/thumbnails/download_large.gifAhkamul Janaiz_Sesi3.mp3
Download File Kajian Ahkamul Janaiz 00 Muqaddimah mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-00.-Muqaddimah.mp3
Ahkamul Janaiz Muqaddimah mp3 Ahkamul Janaiz Muqaddimah Ahkamul Janaiz mp3 Ahkamul Janaiz Muqaddimah mp3 Ahkamul Janaiz Muqaddimah Ahkamul Janaiz mp3 Ahka
Download File Kajian Ahkamul Janaiz 02 Yang Dibolehkan Bagi Keluarga Mayat mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-02.-Yang-Dibolehkan-Bagi-Keluarga-Mayat.mp3
Ahkamul Janaiz Yang Dibolehkan Bagi Keluarga Mayat mp3 Ahkamul Janaiz Yang Dibolehkan Bagi Keluarga Mayat Ahkamul Janaiz Yang Dibolehkan Bagi Keluarga mp3 Ah
Download File Kajian Ahkamul Janaiz 04 Memandikan Jenazah mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-04.-Memandikan-Jenazah.mp3
Ahkamul Janaiz Memandikan Jenazah mp3 Ahkamul Janaiz Memandikan Jenazah Ahkamul Janaiz Memandikan mp3 Ahkamul Janaiz Memandikan Ahkamul Janaiz Jenazah mp3]
Download File Kajian Ahkamul Janaiz 06 Yang Memandikan Jenazah mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-06.-Yang-Memandikan-Jenazah.mp3
Ahkamul Janaiz Yang Memandikan Jenazah mp3 Ahkamul Janaiz Yang Memandikan Jenazah Ahkamul Janaiz Yang Memandikan mp3 Ahkamul Janaiz Yang Memandikan Ahkamul
Download File Kajian Ahkamul Janaiz 08 Cara Mengkafani Jenazah mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-08.-Cara-Mengkafani-Jenazah.mp3
Ahkamul Janaiz Cara Mengkafani Jenazah mp3 Ahkamul Janaiz Cara Mengkafani Jenazah Ahkamul Janaiz Cara Mengkafani mp3 Ahkamul Janaiz Cara Mengkafani Ahkamul
Download File Kajian Ahkamul Janaiz 12 Tempat Shalat Jenazah mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-12.-Tempat-Shalat-Jenazah.mp3
Ahkamul Janaiz Tempat Shalat Jenazah mp3 Ahkamul Janaiz Tempat Shalat Jenazah Ahkamul Janaiz Tempat Shalat mp3 Ahkamul Janaiz Tempat Shalat Ahkamul Janaiz T
Download File Kajian Ahkamul Janaiz 14 Tata Cara Shalat Jenazah mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-14.-Tata-Cara-Shalat-Jenazah.mp3
Download File Kajian Ahkamul Janaiz 16 Melewati dan Memasuki Kuburan mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-16.-Melewati-dan-Memasuki-Kuburan.mp3
Ahkamul Janaiz Melewati dan Memasuki Kuburan mp3 Ahkamul Janaiz Melewati dan Memasuki Kuburan Ahkamul Janaiz Melewati dan Memasuki mp3 Ahkamul Janaiz Melewat
Download File Kajian Ahkamul Janaiz 18 Memasukkan Mayat Ke Liang Lahad mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-18.-Memasukkan-Mayat-Ke-Liang-Lahad.mp3
Ahkamul Janaiz Memasukkan Mayat Liang Lahad mp3 Ahkamul Janaiz Memasukkan Mayat Liang Lahad Ahkamul Janaiz Memasukkan Mayat Liang mp3 Ahkamul Janaiz Memasukk
Download File Kajian Ahkamul Janaiz 20 Ta ziyah mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/makassar/abushofiyyah/Al-Ustadz-Ibnu-Yunus-Abu-Abdirrahman/Al-Wijazah—Ahkamul-Janaiz/Ahkamul-Janaiz-20.-Ta_ziyah.mp3
Ahkamul Janaiz ziyah mp3 Ahkamul Janaiz ziyah Ahkamul Janaiz mp3 Ahkamul Janaiz ziyah mp3 Ahkamul Janaiz ziyah Ahkamul Janaiz mp3 Ahkamul Janaiz ziyah mp3
________________________________________
1 HR. Al-Bukhari no. 1278 kitab Al-Jana`iz, bab Ittiba‘in Nisa` Al-Jana`iz dan Muslim no. 2163, 2164, kitab Al-Jana`iz, bab Nahyin Nisa` ‘an Ittiba’il Jana`iz
2 Di antara yang memakruhkannya adalah Ibnu Mas‘ud, Ibnu ‘Umar, Abu Umamah, ‘Aisyah, Masruq, Al-Hasan, An-Nakha’i, Al-Auza’i, dan Ishaq. (Al-Mughni, kitab Al-Janaiz, fashl Yukrahu Ittiba’in Nisa` Al-Jana`iz)
3 Abu Hurairah t berkata: Aku mendengar Nabi n bersabda:
“Siapa yang menyaksikan jenazah sampai dishalatkan (mengikutinya dari tempat keluarga/ rumah si mayat sampai menshalatinya di tempat jenazah tersebut dishalatkan, -pent.), maka ia mendapatkan satu qirath. Dan siapa yang-
menyaksikan jenazah sampai dimakamkan (mengikutinya dari tempat keluarganya hingga selesai pemakamannya, -
pent.), maka ia mendapat dua qirath.” Ditanyakan kepada beliau: “Apakah dua qirath itu?” Beliau menjawab: “Semisal
dua gunung yang besar.” (HR. Al-Bukhari no. 1325, bab Man Intazhara hatta Tudfanu dan Muslim no. 2186 bab Fadhlush Shalah ‘alal Janazah wat Tiba`iha)
Dalam riwayat Muslim (no. 2192) disebutkan: “Siapa yang keluar bersama jenazah dari rumah jenazah tersebut dan menshalatinya, kemudian mengikutinya sampai dimakamkan maka ia mendapatkan dua qirath dari pahala. Masing-masing qirath semisal gunung Uhud. Dan siapa yang menshalatinya kemudian kembali/ pulang (tidak mengikutinya ke pemakaman) maka ia mendapat pahala semisal gunung Uhud.”
4 Al-Hawil Kabir 3/52, Al-Majmu’ 5/169, Al-Minhaj 7/22, At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘ala Ar-Raudhatin Nadiyyah 1/439, Asy-Syarhul Mumti’ 2/523.
5 HR. An-Nasa`i no. 1960, kitab Al-Jana`iz, bab Ash-Shalah ‘ala man ‘alaihi Dainun. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih An-Nasa`i.
6 HR. Abu Dawud no. 3187, kitab Al-Jana`iz, bab Fish Shalah ‘alath Thifl, dihasankan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Abu Dawud dan Ahkamul Jana`iz hal. 104, mengikuti Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani v dalam Al-Ishabah.
7 HR. Abu Dawud no. 3135, bab Fisy Syahid Yughassal. Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits ini hasan menurutku, di atas syarat Muslim.” (Ahkamul Jana`iz hal. 74)
8 HR. An-Nasa`i no. 1947, kitab Al-Jana`iz, bab Ash-Shalah ‘alash Shibyan, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih An-Nasa`i.
9 HR. Abdurrazzaq no. 6651, An-Nasa`i no. 1953, Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar no. 2818 dan selainnya. Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Isnadnya shahih, semua rijalnya di atas syarat Muslim kecuali Syaddad ibnul Had. Al-Imam Muslim t tidak mengeluarkan satu hadits pun darinya. Namun ini tidak menjadi masalah, karena Syaddad adalah shahabat Nabi yang dikenal. Adapun ucapan Asy-Syaukani t dalam Nailul Authar yang mengikuti Al-Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ bahwa Syaddad ini seorang tabi‘in, merupakan ucapan yang sangat keliru, maka jangan terkecoh dengannya.” (Ahkamul Jana`iz , hal. 81)
10 HR. Al-Bukhari no. 3208, kitab Bad’ul Khalq, bab Dzikrul Mala`ikah dan Muslim no. 6665, kitab Al-Qadar, bab Kaifiyyatul Khalq Al-’Adami fi Bathni Ummihi…
11 HR. Al-Bukhari no. 631, kitab Al-Adzan, bab Al-Adzan lil Musafirin Idza Kanu Jama‘atan wal Iqamah.
12 Al-Majmu’ 5/172, Al-Muhalla 3/389, Subulus Salam 2/162, Nailul Authar 4/73, Taudhihul Ahkam 3/194.
13 HR. Muslim no. 2195, kitab Al-Jana`iz, bab Man Shalla ‘alaihi Mi`ah Syuffi’u fihi.
14 HR. Muslim no. 2196, pada kitab dan bab yang sama dengan di atas.
15 Al-Majmu’ 5/172, Taudhihul Ahkam 3/195
16 HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (7785) dan Al-Haitsami dalam Al-Majma’ (3/432), pada sanadnya ada Ibnu Lahi’ah, sementara beliau ini diperbincangkan. Namun kata Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ahkamul Jana`iz (hal. 127-128) haditsnya bisa dijadikan syahid bagi hadits Malik bin Hubairah berikut ini:
Rasulullah n bersabda: “Tidak ada seorang muslim pun yang meninggal lalu ia dishalati oleh tiga shaf kaum muslimin melainkan ia diampuni.” (HR. Abu Dawud no. 3166 bab Fish Shufuf ‘alal Jana`iz, dll.)
17 HR. Al-Bukhari no. 1332, bab Aina Yaqumu minal Mar`ah war Rajul dan Muslim no. 2232, bab Aina Yaqumul Imam minal Mayyit lish Shalah ‘alaihi.
18 Al-Hawil Kabir 3/50, Al-Majmu’ 5/183, Al-Muhalla 3/345, 382, Fathul Bari 3/257, Asy-Syarhul Mumti’ 2/524, Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam 1/372.
19 Kelengkapan haditsnya bisa dilihat dalam riwayat Abu Dawud no. 3194, kitab Al-Jana`iz, bab Aina Yaqumul Imam minal Mayyit idza Shalla ‘alaihi.
20 Boleh pula dilakukan 5-9 kali, semuanya ada keterangan dari Nabi n. Namun jumlah 4 kali takbir paling banyak disebutkan dalam hadits (Ahkamul Jana`iz , hal. 141). Adapun pernyataan adanya ijma’ ulama yang menetapkan takbir shalat jenazah hanya 4 kali dan tidak lebih, merupakan anggapan yang batil. Sebagaimana hal ini ditegaskan Ibnu Hazm t dalam Al-Muhalla (3/347, 348-351). Sedangkan hadits yang menyatakan:
“Akhir (jumlah maksimal) takbir yang dilakukan Rasulullah n terhadap jenasah adalah sebanyak empat kali.”
yang dijadikan sebagai dalil pembatasan takbir hanya 4 kali adalah hadits yang dha’if. Al Hafizh Ibnu Hajar t berkata dalam At-Talkhish (2/677): “Hadits ini diriwayatkan lebih dari satu jalan, namun semua jalannya dhaif.”
21 Sebagaimana dalam Nailul Authar 4/83.
22 Tidak disyariatkan membaca doa istiftah, demikian pendapat madzhab Asy-Syafi‘iyyah dan selain mereka. (Catatan kaki Ahkamul Jana`iz, hal. 151)
23 Nailul Authar 4/82, At-Ta‘liqat Ar-Radhiyyah 1/443, Asy-Syarhul Mumti‘ 2/525, Taudhihul Ahkam 3/205.
24 Yakni Sunnah Nabi n dan jalan beliau, bukan sunnah dalam pengertian hukum fiqih yang lima (wajib, haram, makruh, sunnah, dan mubah).
25 HR. Al-Bukhari no. 1335, bab Qira`ati Fatihatil Kitab ‘alal Janazah, An-Nasa`i no. 1987, 1988 bab Ad-Du’a`, dishahihkan Asy-Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih An-Nasa`i.
26 HR. An-Nasa`i no. 1989 bab Ad-Du’a`, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Nasa’i.
27 HR. Abu Dawud no. 3199, bab Ad-Du’a lil Mayyit, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud.
28 Bila mayatnya seorang wanita maka semua dhamir (kata ganti) seperti dalam lafadz: diganti dengan ta`nits (kata ganti wanita) sehingga kita mengucapkan: (Asy-Syarhul Mumti’, 2/533)
29 HR. Muslim no. 2229, 2231, bab Ad-Du’a` lil Mayyit fish Shalah.
30 HR. Ibnu Majah no. 1498, bab Ma Ja`a fid Du’a` fish Shalah ‘alal Janazah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah dan Al-Misykat no. 1675.
31 Nailul Authar 4/85
32 HR. Abu Dawud no. 3180, bab Al-Masy-yu Amamal Janazah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud.
33 Nabi Muhammad r pernah bermimpi melihat Nabi Ibrahim u di sebuah taman yang besar lagi indah, di sekitar beliau ada anak-anak kecil yang meninggal di atas fithrah. (HR. Al-Bukhari no. 7047, kitab At-Ta’bir, bab Ta’birur Ru`ya ba‘da Shalatish Shubh)
34 Bagaimana anak yang belum baligh bisa diadzab sementara ia belum berdosa? Maka dijawab bahwa setiap hamba Allah pasti akan mendatangi neraka sebagaimana dalam ayat:
“Tidak ada seorang pun dari kalian melainkan pasti akan mendatangi neraka, yang demikian itu bagi Rabbmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (Maryam: 71)
Dengan demikian, doa seperti itu ditujukan untuk si anak agar Allah I menjaganya dari adzab neraka apabila nanti pada hari kiamat ia mendatanginya. (Asy-Syarhul Mumti‘ 2/538)
35 Doa ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari hadits Abu Hurairah z. Yang semisalnya juga diriwayatkan oleh Sufyan dari Al-Hasan. Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits Abu Hurairah z yang diriwayatkan Al-Baihaqi tersebut isnadnya hasan, dan tidak apa-apa diamalkan dalam hal seperti ini, walaupun haditsnya mauquf. Namun tidak boleh dijadikan sebagai sunnah (yaitu) dengan menganggap bahwa doa itu datang dari Nabi r (padahal tidak demikian). Adapun doa yang aku pilih untuk dipanjatkan ketika menshalati anak kecil adalah doa yang kedua (yaitu doa yang diriwayatkan Ibnu Majah no. 1498, bab Ma Ja`a fid Du’a` fish Shalah ‘alal Janazah), karena di dalamnya ada lafadz:
“…anak kecil di antara kami … Ya Allah janganlah engkau haramkan bagi kami pahalanya dan jangan engkau sesatkan kami sepeninggalnya.” (Ahkamul Jana`iz, hal. 161)
36 Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi (4/35) dengan sanad yang shahih, kata Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Jana`iz, hal. 160.

Sumber: kaahil.wordpress.com

About us