Hadits tentang Penyebab Kusta
[Tanggapan atas Pernyataan Ust. Nur Maulana]
oleh:
Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
(Pengasuh Pesantren Al-Ihsan Gowa)

Pertanyaan ini sangat perlu kami jawab, karena sekarang ini lagi marak diperbincangkan tentang penyakit kusta ini. Pasalnya, ada seorang ustadz yang bernama Nur Maulana
mengeluarkan statement (pernyataan) bahwa orang yang berhubungan badan
saat istri haidh akan menyebabkan anak yang lahir akan terkena penyakit
kusta alias lepra.
Akhirnya, Perhimpunan Mandiri Kusta (PERMATA)
mengajukan protes keras terhadap sang ustadz yang selama ini
dielu-elukan oleh banyak orang. Mereka menilai bahwa hal itu merupakan
diskriminasi[1].
Dengan protes keras itu, Sang Ustadz memberikan tanggapan balik, “Itu ada haditsnya. Aku minta maaf kalau dia tersinggung karena saya harus menyampaikannya”.[2]
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia, KH. Amidhan mengatakan
bahwa ia selama ini belum menemukan hadits yang menyebutkan kalau
hubungan intim saat menstruasi bisa menimbulkan penyakit kusta!!
Apa yang dinyatakan oleh KH Amidhan memang benar bahwa tak ada hadits yang shohih menjelaskan bahwa orang yang berhubungan di saat haidh akan melahirkan anak yang kusta!!
Kalau ada yang menyatakan
bahwa ada haditsnya yang menyatakan hal itu –seperti yang diklaim oleh
Ust. Nur Maulana-, maka kami katakan bahwa memang ada haditsnya. Hanya
sayang haditsnya adalah hadits yang dho’if (lemah)!!! Sementara
hadits yang lemah bukanlah hujjah yang dapat dijadikan dasar dalam
menetapkan aqidah, hukum dan segala urusan agama!!!!
Adapun hadits lemah tersebut, maka hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-, ia berkata, Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ وَطِئَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ، فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ، فَأَصَابَهُ جُذَامٌ فَلا يَلُومَنَّ إِلا نَفْسَهُ
“Barangsiapa yang
menyetubuhi istrinya, sedang ia haidh, lalu ditetapkan (ditaqdirkan)
bagi keduanya seorang anak, lalu si anak itu tertimpa penyakit kusta,
maka janganlah ia (suami) mencela, kecuali dirinya sendiri”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Mu'jam Al-Awsath (no. 3300)]
Hadits ini dilemahkan oleh Ahli Hadits Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy di dalam kitabnya As-Silsilah Adh-Dho’ifah, karena beberapa sebab. Diantaranya, karena di dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bermasalah:
- Muhammad bin Abis Sariy, seorang shoduq, hanya saja ia banyak memiliki kesalahan dalam meriwayatkan hadits.
- Al-Hasan bin Ash-Sholt tidak ditemukan biografinya.
- Bakr bin Sahl Ad-Dimyathiy dinyatakan lemah oleh An-Nasa’iy.[3]
Kesimpulannya, hadits ini lemah dengan tiga alasan ini!! Dari
pembahasan tentang derajat hadits ini, maka disini harus kita pahami
dan ingat kembali bahwa hadits yang lemah seperti ini tak boleh
dijadikan dalil dan hujjah dalam menetapkan sesuatu dalam urusan agama.
Oleh karena itu, kelirulah Ust. Nur Maulana jika ia berhujjah dan berdalil dengan hadits lemah ini dalam menguatkan statement
(pernyataan)nya tersebut. Bagaimana pun alasannya, maka tak boleh bagi
kita berpegang dengan hadits itu dalam rangka menguatkan suatu perkara,
sebab haditsnya lemah!!!
Jika kita ingin mengharamkan masalah berhubungan dengan istri saat haidh,
maka cukuplah bagi kita dalam hal ini berdalil dengan ayat dan
hadits-hadits yang shohih dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Allah -Ta’ala- berfirman,وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ [البقرة : 222]“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh[4]; dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. (QS. Al-Baqoroh : 222)[5]
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda kepada para suami di saat istrinya haidh,
اصنعوا كلَّ شيءٍ إلا النكاحَ
“Lakukanlah segala hal, kecuali berjimak”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (3/132) dan Muslim dalam Shohih-nya (302)]
Rasulullah -Shallallahu alaihi
wa sallam- bersabda dalam menjelaskan haramnya mendatangi istri pada
duburnya dan haramnya mendatangi tempat haidh (yakni, kemaluan istri)
saat ia haidh,
واتقوا الدبُرَ والحيضةَ
“Hindarilah dubur dan tempat haidh”. [HR. At-Tirmidziy (2980) dan Ahmad dalam Al-Musnad (1/297). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adab Az-Zifaf (hal. 31)]
Jadi, cukuplah ayat dan
hadits-hadits yang shohih ini bagi kita dalam mengharamkan berhubungan
dengan istri di masa haidh, tanpa perlu berpegang dengan hadits lemah,
seperti yang dilakukan oleh Ust. Nur Maulana. Sikap si Ustadz ini jelas keliru!!
Hadits lemah seperti ini tak
boleh kita sampaikan dalam rangka berhujjah dan berdalil dengannya.
Adapun jika disampaikan dalam rangka menjelaskan kelemahannya, maka ini
wajib dilakukan oleh orang-orang berilmu, demi menepis adanya sangkaan
tentang ke-shohih-an hadits itu, seperti yang kami lakukan disini.
Semoga bermanfaat dan dapat dipahami semua wa shollallahu ala Nabiyyina wa ala alihi wa shohbihi ajma’in[6].
[1]
Dalam tulisan ini kami tak akan mengomentari apakah pernyataan itu
diskriminasi atau tidak. Yang kami akan jelaskan –insya Allah- tentang
dasar dan dalil yang digunakan oleh Ustadz Nur Maulana.
[2] Lihat detikforum, 21 Mei 2013 M
[3] Lihat Majma’ Az-Zawa’id (4/299) dan Siyar Al-A’lam An-Nubala’ (13/426)
[4] Maksudnya, menyetubuhi wanita di waktu haidh.
[5]
Di dalam ayat ini menjelaskan alasan pelarangan, yakni karena haidh itu
adalah kotoran dan najis. Ayat ini tak menjelaskan penyakit yang
ditimbulkan akibat mendatangi wanita haidh, wallahu a’lam.
Sumber artikel: pesantren-alihsan.org