Labels

Friday, February 28, 2014

Dakwah Salafiyyah Dakwah Haq

Oleh : Ustadz Alfian
Dakwah Salafiyyah adalah dakwah yang mengajak untuk berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang diimani, dipahami, dan diterapkan oleh para Salafush Shalih. Para juru dakwah/da’i Dakwah Salafiyyah mengambil ilmu dari para ‘ulama Dakwah Salafiyyah pada setiap zaman. Mereka berguru kepada para ‘ulama rabbani Setiap dakwah yang tidak tegak di atas prinsip ini maka itu adalah dakwah yang menyimpang dari jalan yang benar dan lurus.
Apa itu as-Salafiyyah?

Dakwah Salafiyyah Dakwah Haq

Oleh : Ustadz Alfian
Dakwah Salafiyyah adalah dakwah yang mengajak untuk berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang diimani, dipahami, dan diterapkan oleh para Salafush Shalih. Para juru dakwah/da’i Dakwah Salafiyyah mengambil ilmu dari para ‘ulama Dakwah Salafiyyah pada setiap zaman. Mereka berguru kepada para ‘ulama rabbani Setiap dakwah yang tidak tegak di atas prinsip ini maka itu adalah dakwah yang menyimpang dari jalan yang benar dan lurus.
Apa itu as-Salafiyyah?

Thursday, February 27, 2014

Mengenal Hakikat Dakwah Salafiyah

Pertanyaan:
Berkembangnya dakwah Salafiyah di kalangan masyarakat dengan pembinaan yang mengarah kepada perbaikan ummat di bawah tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alahi wa alihi wa sallam adalah suatu hal yang sangat disyukuri. Akan tetapi di sisi lain, orang-orang menyimpan dalam benak mereka persepsi yang berbeda-beda tentang pengertian Salafiyah itu sendiri sehingga bisa menimbulkan kebingunan bagi orang-orang yang mengamatinya, maka untuk itu dibutuhkan penjelasan yang jelas tentang hakikat Salafiyah itu. Mohon keterangannya!

Wednesday, February 26, 2014

Pentingnya Bersikap Lemah Lembut (Nasehat Syaikh Muqbil Bagi yang Baru Mengenal Dakwah Salafiyyah)


Pertanyaan:
Kami menemukan beberapa orang Salafi yang keras dalam ucapan, dakwah, serta bersikap keras kepada keluarga mereka. Dan jika mereka melihat orang yang bukan dari kelompoknya, ekspresi wajah mereka menjadi sinis, di mana hal ini bertentangan dari apa-apa yang kami temukan dari orang-orang Ikhwanul Muslimin. Sikap yang lemah lembut itulah kekurangan yang ada dalam diri kami, maka dari itu kami betul-betul membutuhkan nasehat dari anda, jazakallahu khairan.

Tuesday, February 25, 2014

Tanya Jawab Dengan Salafy : Apa itu Salafy?


graphic1
Allah telah menamai kita muslim, kenapa harus menisbahkan diri kita pada Salaf. Al Imam Al Albani menjawab dalam diskusinya dengan seseorang (Abdul Halim Abu Syakkah), yang direkam dalam kasetnya yang berjudul “Saya seorang Salafy”, dan inilah sebagian hal yang penting dari diskusi itu:

Monday, February 24, 2014

Sifat-sifat Dajjal

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak )
Keluarnya Dajjal merupakan satu perkara yang pasti. Dajjal akan berusaha menyesatkan manusia dari jalan Allah l. Sehingga orang yang beriman semestinya mengetahui sifat serta fitnah-fitnah Dajjal agar terhindar dari kesesatannya.

Sunday, February 23, 2014

SEPUTAR HUKUM ZAKAT PENGHASILAN/GAJI, MAKELAR DAN PERDAGANGAN

Zakat penghasilan
Bismillah, Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuhu
Kepada para Ustadz hafidzokumullah,
Apakah boleh mengeluarkan zakat dari penghasilan yang telah mencapai nishob tetapi tidak sempat dipegang selama setahun dengan maksud berhati-hati?
dan apakah harta yang dikeluarkan tersebut boleh diniatkan sebagai zakat ataukah diniatkan sebagai infak/shodaqah?
Baarakallahu fiikum
Dari: mang epul <mangXXXX@yahoo.com>


Saturday, February 22, 2014

Mencintai Orang Beriman dan Membenci Orang Kafir Tali Keimanan Terkokoh dalam Islam

(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi)
Sudah menjadi ketetapan ilahi (sunnatullah) bahwa kebenaran (al-haq) dan kebatilan (al-batil) tidak akan pernah bersatu. Keduanya laksana dua kutub yang selalu berseberangan. Demikian pula para pengusungnya, mereka akan terus berseteru hingga akhir zaman nanti. Para pengusung kebenaran (ahlul haq) adalah para wali Allah l dari kalangan orang beriman, sedangkan para pengusung kebatilan (ahlul batil) adalah para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya.

Friday, February 21, 2014

Jalan Keselamatan: Kembali kepada Shahabat!

Ketika mendengar nama Dakwah Salafiyyah, ada sebagian orang yang dalam benaknya langsung terbayang berbagai gambaran buruk. Mereka beranggapan bahwa Dakwah Salafiyyah adalah dakwah yang keras, suka membid’ahkan, mau benar sendiri, dan berbagai kesan negatif lainnya. Benarkah demikian?

Thursday, February 20, 2014

Bolehkah seorang yang sedang haid menghadiri majlis ta’lim di masjid ?

masjid-imam-syafei-2
Hukum wanita haid memasuki masjid
Fadhilatul Syaikh ditanya apakah seroang yang sedang haid boleh menghadiri majlis dzikir ( ilmu ) di masjid ?
Beliau menjawab :
Wanita yang sedang haid tidak boleh berdiam di masjid. Adapun sekedar melewati ( dalam ruangan ) masjid maka tidak mengapa, dengan syarat aman dari kemungkinan darahnya mengotori masjid. Jika keadaanya tidak boleh untuk berdiam diri di masjid, maka tidak boleh baginya untuk pergi ke masjid dalam rangka mendengarkan majlis ilmu atau membaca Al Qur’an.

Wednesday, February 19, 2014

MACAM-MACAM AZAB KUBUR dan Sebab-sebabnya

1. Diperlihatkan neraka jahannam
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا
Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” (Ghafir: 46)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا مَاتَ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدَهُ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ، إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ أَهْلِ النَّارِ فَيُقَالُ: هَذَا مَقْعَدُكَ حَتَّى يَبْعَثَكَ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya apabila salah seorang di antara kalian mati maka akan ditampakkan kepadanya calon tempat tinggalnya pada waktu pagi dan sore. Bila dia termasuk calon penghuni surga, maka ditampakkan kepadanya surga. Bila dia termasuk calon penghuni neraka maka ditampakkan kepadanya neraka, dikatakan kepadanya: ‘Ini calon tempat tinggalmu, hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala membangkitkanmu pada hari kiamat’.” (Muttafaqun ‘alaih)

Tuesday, February 18, 2014

Ummu Habibah binti Abu Sufyan (wafat 44 H/664 M)

Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai wafat?

Monday, February 17, 2014

Kesepakatan Para Ulama tentang Haramnya Memberontak Kepada Pemerintah Muslim yang Zalim

Demo tidak puas terhadap pemerintahan SBYBismillah. Wahai pemuda, waspadalah terhadap pemikiran rancu yang muncul era ini dengan mengatasnamakan agama Islam. Pemikiran berupa pencucian otak, doktrin, dan hasutan-hasutan untuk mengkritik, melakukan orasi di tempat-tempat umum, dan bahkan sampai pada ajakan untuk memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim.
Untuk itu bentengi diri Anda dengan ilmu dien.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِه شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Barangsiapa yang melihat suatu (kemungkaran) yang ia benci pada pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah (pemerintah) kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma]
Beliau shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَة وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
“Sesungguhnya kalian akan melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang kalian ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan mintalah kepada Allah hak kalian.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu]
Beliau shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّة لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Akan ada sepeninggalku para penguasa yang tidak meneladani petunjukku dan tidak mengamalkan sunnahku, dan akan muncul diantara mereka (para penguasa) orang-orang yang hati-hati mereka adalah hati-hati setan dalam jasad manusia.” Aku (Hudzaifah) berkata, “Bagaimana aku harus bersikap jika aku mengalami hal seperti ini?” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Engkau tetap dengar dan taat kepada pemimpin itu, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu diambil, maka dengar dan taatlah.” [HR. Muslim dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu’anhu]
Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu berkata,
دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَبَايَعْنَاه فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyeru kami, lalu kami pun membai’at beliau, maka diantara yang beliau ambil perjanjian atas kami adalah, kami membai’at beliau untuk senantiasa mendengar dan taat kepada pemimpin, baik pada saat kami senang maupun susah; sempit maupun lapang, dan dalam keadaan hak-hak kami tidak dipenuhi, serta agar kami tidak berusaha merebut kekuasaan dari pemiliknya. Beliau bersabda: Kecuali jika kalian telah melihat kekafiran yang nyata, sedang kalian memiliki dalil dari Allah tentang kekafirannya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Wail bin Hujr radhiyallahu’anhu berkata,
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَرَجُلٌ سَأَلَهُ فَقَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَمْنَعُونَا حَقَّنَا وَيَسْأَلُونَا حَقَّهُم فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
“Aku mendengar ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, “Apa pendapatmu jika para pemimpin kami tidak memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta hak mereka (sebagai pemimpin)?” Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Dengar dan taati (pemimpin kalian), karena sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” [HR. Muslim dan At-Tirmidzi, Ash-Shahihah: 3176]
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah berkata,
ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة
“Kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan bagi mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” [Matan Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah]
Ulama besar Syafi’iyah, An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
وأجمع أهل السنة أنه لا ينعزل السلطان بالفسق وأما الوجه المذكور في كتب الفقه لبعض أصحابنا أنه ينعزل وحكى عن المعتزلة أيضا فغلط من قائله مخالف للإجماع قال العلماء وسبب عدم انعزاله وتحريم الخروج عليه ما يترتب على ذلك من الفتن واراقة الدماء وفساد ذات البين فتكون المفسدة في عزله أكثر منها في بقائه قال القاضي عياض أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل
“Dan telah sepakat Ahlus Sunnah bahwa tidak boleh seorang penguasa dilengserkan karena kefasikan (dosa besar) yang ia lakukan. Adapun pendapat yang disebutkan pada kitab-kitab fiqh yang ditulis oleh sebagian sahabat kami (Syafi’iyah) bahwa penguasa yang fasik harus dilengserkan dan pendapat ini juga dinukil dari kaum Mu’tazilah, maka telah salah besar, orang yang berpendapat demikian menyelisihi ijma’.
Dan ulama menjelaskan, sebab tidak bolehnya penguasa zalim dilengserkan dan haramnya memberontak kepadanya karena akibat dari hal itu akan muncul berbagai macam fitnah (kekacauan), ditumpahkannya darah dan rusaknya hubungan, sehingga kerusakan dalam pencopotan penguasa zalim lebih banyak disbanding tetapnya ia sebagai penguasa. Al-Qodhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: Ulama sepakat bahwa kepemimpinan tidak sah bagi orang kafir, dan jika seorang pemimpin menjadi kafir harus dicopot.” [Syarh Muslim, 12/229]
AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء
“Dan telah sepakat fuqoha atas wajibnya taat kepada penguasa yang sedang berkuasa dan berjihad bersamanya, dan (mereka juga sepakat) bahwa taat kepadanya lebih baik disbanding memberontak, sebab dengan itu darah terpelihara dan membuat nyaman kebanyakan orang.” [Fathul Bari, 13/7]
HARAMNYA PEMBERONTAKAN MESKI TERHADAP PEMERINTAH YANG MERAIH KEKUASAAN DENGAN CARA YANG SALAH
Al-Imam Ali bin Madini rahimahullah berkata,
ومن خرج علي امام من ائمة المسلمين وقد اجتمع عليه الناس فأقروا له بالخلافة بأي وجه كانت برضا كانت أو بغلبة فهو شاق هذا الخارج عليه العصا وخالف الآثار عن رسول الله صلى الله عليه و سلم فإن مات الخارج عليه مات ميتة جاهلية
“Brangsiapa yang memberontak kepada salah seorang pemimpin kaum muslimin, padahal manusia telah berkumpul di bawah kepemimpinannya, mereka pun mengakui kepemimpinannya, dengan cara apa saja ia mendapati kepemimpinan itu, apakah dengan kerelaan atau dengan paksa, maka orang yang memberontak itu telah merusak persatuan kaum muslimin dan menyelisihi hadits-hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, jika pemberontak ini mati maka matinya jahiliyah.” [Syarhul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah lil Laalikaai, 1/168]
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
“Aku memandang wajibnya mendengar dan mentaati para pemimpin kaum muslimin, apakah itu pemimpin yang baik maupun jahat, selama mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan. Dan siapa yang memimpin khilafah dan manusia bersatu dalam kepemimpinannya, mereka ridho kepadanya, meskipun dia mengalahkan mereka dengan pedang hingga menjadi pemimpin, maka wajib taat kepadanya dan haram memisahkan diri (memberontak) kepadanya.” [Syarhu Risalah Ila Ahlil Qosim, Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 157]
Nasihatonline.com

Sumber artikel :  antosalafy.wordpress.com

Sunday, February 16, 2014

Pengantar Redaksi ” Syiah Berlumuran Darah”

السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Hingga kini, Syiah masih dipahami oleh masyarakat awam sebagai “mazhab kelima” dalam Islam. Artinya, Syiah dianggap sekadar beda fikih dengan keumuman masyarakat muslim lainnya. Apalagi, Syiah acap menampilkan diri sebagai pembela ahlul bait, sebuah wajah yang terlihat “mulia”. Muncullah anggapan bahwa perbedaan Syiah dan Sunni (Ahlus Sunnah) adalah “sekadar” pembela dan bukan pembela Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika masih saja muncul pembelaan yang dilakukan sebagian masyarakat terhadap Syiah. Di kalangan elite Islam, malah gencar ajakan untuk menyatukan Sunni (baca: Islam) dengan Syiah. Jika orang-orang yang masih punya semangat terhadap Islam mau lebih dalam menyelami agama bentukan Yahudi ini, niscaya dia akan menentang keras Syiah. Membincangkan Syiah bukanlah semata soal kekhalifahan Ali. Bukan pula sesederhana bahwa Syiah melakukan kultus individu kepada Ali. Terlalu dangkal jika kita beranggapan seperti itu.
Syiah demikian sarat dengan ajaran menyimpang. Agama ini mengafirkan hampir seluruh sahabat, menganggap istri-istri Rasulullah Subhanahu wata’ala sebagai pelacur, menganggap imam-imam punya kedudukan tertinggi yang tidak dicapai nabi/rasul dan malaikat yang terdekat, menganggap imam-imam mereka sebagai pemilik dunia dan isinya, menganggap kenabian Muhammad salah alamat karena Jibril berkhianat dan tidak memberikannya kepada Ali radhiyallahu ‘anhu, serta sederet kesesatan lainnya. Itu semua baru dari satu sisi. Jika mau berkaca dari sisi sejarah, Syiahlah yang menjadi biang keladi pertumpahan darah di dalam Islam. Pembunuh Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu adalah pemeluk agama Majusi yang merupakan akar agama Syiah.
Pembantaian Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, adalah hasil provokasi tokoh Yahudi pendiri Syiah, Abdullah bin Saba’. Jatuhnya Daulah Abbasiah adalah hasil pengkhianatan perdana menterinya yang Syiah, dan sebagainya. Demikian juga sekarang ini, pembantaian muslimin di Yaman, Syria, bergolaknya suhu politik di Timur Tengah, pembantaian minoritas Ahwaz di Iran yang Sunni, juga tak lepas dari tangan Syiah yang berlumur darah.
Tidak cukupkah sejarah menyuguhkan episode demi episode berdarah Syiah, untuk kemudian kita “melek” terhadap Syiah? Orang-orang bisa tertipu dengan “heroisme” Syiah (baca: Iran) dalam “melawan” hegemoni AS di panggung politik dunia, tapi kami, Ahlus Sunnah tidak. Orang-orang bisa kagum dengan pasukan Hizbullah (baca: Syiah) yang “melawan” tentara pendudukan Israel, tapi kami tidak. Semua berita politik itu tak lebih hasil goreng-menggoreng penguasa opini dunia, Yahudi. Bagaimana pun, Syiah satu rahim dengan Yahudi. Yahudi akan sangat senang ada tangan (yang dianggap) Islam yang selalu menjadi duri dalam daging dalam tubuh Islam.
Walau Syiah terpecah menjadi beberapa sekte, namun mayoritasnya adalah sekte Imamiyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok ini terusmenerus menebarkan berbagai macam kesesatannya—termasuk nikah mut’ah yang dijadikan daya tarik. Lebih-lebih kini didukung Iran, Irak, dan Syria yang kendali politiknya berada di tangan mereka—Syiah Rafidhah. Oleh karena itu, jangan teriak-teriak toleransi jika tidak tahu Syiah sama sekali, jangan teriak-teriak kebebasan beragama dan berkeyakinan jika kita tidak paham agama “made in Yahudi” ini, jangan sok teriak persatuan dan ukhuwah jika itu hanya demi simpati berbuah kursi. Toleransi ada tempatnya. Namun, faktanya, tidak ada tempat untuk toleransi dengan Syiah.

 والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته

 Sumber artikel : asysyariah.com

Ummu Habibah binti Abu Sufyan (wafat 44 H/664 M)

Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai wafat?

Saturday, February 15, 2014

Diantara Peyimpangan Jama’ah Tabligh

jamaah-tabligh-sesatTanya:
Tolong jelaskan tentang kesesatan Jama’ah Tabligh. Bolehkah khuruj bersama mereka?
Jawab:
Oleh Ustadz Askari hafizhahullohIni pembahasan klasik, yakni perlu daurah sendiri. Masalah jama’ah tabligh,intinya bahwa jama’ah tabligh sufiyah, pada asalnya sufiyah. Yang tergabung padanya empat thariqat, naqsyabandiyah, suhrawardiyah, al justiyah, terus apa satu lagi, empat thariqat sufiyah tergabung di situ. Jadi asalnya memang sudah thariqat, oleh karena itu, tampak sekali dari amalan-amalan yang jauh dari bimbingan rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.Sering berdalil dengan mimpi-mimpi, sedikit-sedikit saya mimpi, sedikit-sedikit saya mimpi. Lalu mimpi itu seakan-akan hujjah, Al Qur’an, sunnah. Belum lagi disertai dengan kejahilan-kejahilan.Semangat mereka berdakwah bagus, semangat berdakwah bagus, semangat dalam menjalankan kebaikan bagus, masya Allah. Akan tetapi rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kepada Abu Bakrah:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَ: حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ الْأَعْلَمِ وَهُوَ زِيَادٌ، عَنْ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِي بَكْرَةَ، أَنَّهُ انْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ رَاكِعٌ، فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ” زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ
“Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaam, dari Al-A’lam, yaitu Ziyaad, dari Al-Hasan, dari Abu Bakrah : Bahwasannya ia datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang waktu itu beliau dalam keadaan rukuk. Maka Abu Bakrah rukuk sebelum sampai pada shaff. Disebutkanlah hal itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Semoga Allah menambahkan semangatmu, akan tetapi jangan engkau ulangi” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 783).
Ketika Abu Bakrah semangat untuk mendapati jama’ah bersama rasul shallallahu ‘alaihi wasaallam, sampai beliau tergopoh-gopoh. Yakni bersegera, bercepat-cepat untuk mendatangi jama’ah karena beliau terlambat. Selesai shalat, kata nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلَا تَعُدْ
Semoga Allah menambahkan semangatmu, akan tetapi kesalahan jangan engkau ulangi.
Semangat dalam berdakwah bagus, tapi berdakwah tanpa ilmu jangan kamu lakukan. Berdakwah tanpa disertai dengan ilmu jangan kamu lakukan.
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS  Yûsuf 108)
Maka dakwah harus dibarengi dengan ilmu. Tidak cukup dengan mimpi, dengan perasaan, tidak cukup dengan hadits-hadits yang dha’if. Dengan alasan untuk mentarghib, mendorong manusia untuk melakukan kebaikan. Dengan cara-cara bid’ah yang sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh rasul shallallahu ‘alaihi wa’alaalihi wasallam. Pembatasan 4 bulan, 40 hari, lalu itu dinamakan fisabilillah. Yang itu yang dinamakan fisabilillah. Adapun yang lainnya tidak dianggap, tidak dianggap sebagai ibadah fisabilillah. Tidak dianggap sebagai khuruj fisabilillah. Sementara manfaat yang mereka berikan kepada ummat ini, semakin ummat ini terjatuh ke dalam kejahilan. Kalaulah sekadar mengajak, selesai, itu mending. Mengajak lalu mengarahkan untuk mendatangi majalisul ulama, majelis-majelis para ulama. Adapun mengajak lalu kemudian diajak lagi agar masuk kelompoknya, lalu kemudian diajak khuruj bareng. Mengajak manusia kepada kesesatan.
Jadi ma’asyaral ikhwah rahimakumullah, mereka sangat jauh dari ilmu. Mereka sangat jauh dari ilmu. Bagi mereka, mempelajari ilmu itu, bermasalah. Mereka hanya menginginkan ilmu fadha’il, bukan ilmu masa’il. Ilmu fadha’il, tentang fadhilah-fadhilah, fadhilah ini, fadhilah itu. Kalau ilmu masa’il, kata mereka memecah belah ummat. Satu hal yang tidak boleh disentuh sama sekali. Masalah khilafiyah, ini tidak boleh disentuh sama sekali. Itu sudah menjadi undang-undang, prinsip jama’ah tabligh. Tanyakan kepada seluruh jama’ah tabligh, empat perkara yang tidak boleh disentuh sama sekali, di seluruh dunia ini, semuanya sama. Salah satunya tidak boleh membahas masalah khilafiyah. Tidak boleh membahas masalah khilafiyah. Ada seorang datang ke kuburan, meminta “wahai syaikh fulan, wahai syaikh fulan”, ini masalah apa? Mereka tidak boleh membahas. Karena kalau membahas masalah yang seperti ini, meskipun itu menyangkut prinsip islam, tauhid. Memecah belah ummat, itu yang mereka hindari.
Makanya kalau ingin semua terkumpul, dengan berbagai keyakinan, yakni jama’ah tabligh. Terkumpul semuanya, ya syi’ahnya juga ada disitu, mu’tazilahnya juga ada disitu, sufinya juga ada disitu, tergabung. Karena mereka tidak bisa membahas hal-hal yang menurut mereka itu masalah khilafiyah. Tidak boleh disentuh sama sekali. Memecah belah, jadi yang dibahas ya yang baik-baik saja sudah. Jadi membikin orang betul-betul tablid, membikin orang balid, balid itu bodoh. Semakin orang jauh dari ilmu. Jadi ma’asyaral ikhwah rahimakumullah, tidak ada manfaatnya, tidak ada manfaatnya.
Pernah ada sekelompok datang ke rumah, sore hari, itu kelihatannya lagi jaula. Diantara amalan jaula itu ada orang-orang yang memang perlu dikhususi menurut mereka, dikhususi itu, orang-orang khusus yang didatangi untuk didakwahi secara khusus. Ada yang datang, ternyata mereka membawa seorang dari Riyadh, orang Saudi datang. Masuk pondok, masuk rumah, terus cerita, ya biasa, karena kita sudah tahu juga. Ini seperti ini statusnya, ini yang berbicara, ini yang diam, ini yang dzikir, itu sudah ma’ruf sudah. Itu sudah kaidah yang tidak bisa berubah pada jama’ah tabligh. Ini mutakallim, ini yang lagi berbicara ini mutakallimnya, yang lain itu diam semua. Memang seperti itu peraturannya. Jadi, ketika dia cerita, intinya mengajak, bahwa jama’ah tabligh itu begini begini. Ana bilang, jama’ah tabligh itu berbeda, dari satu daerah, dari satu negeri ke negeri yang lain. Kalau jama’ah tabligh di Saudi itu jauh lebih mending. Jama’ah tabligh yang ada di Arab Saudi, lebih mending. Tapi prinsip itu tetap sama, tidak boleh membahas hal-hal yang bagi mereka membikin perpecahan, membikin masalah.
Tapi belajar tetap belajar, mungkin saja mereka belajar ushul tsalatsah, belajar. Tapi untuk dibahas dalam jama’ah tabligh, tidak sama sekali. Walhasil, ana cerita bahwa yang paling bermasalah dari tabligh ini adalah kebodohan. Sekian tahun ana bersama kalian, ana tidak pernah mendapatkan ilmu, tidak pernah mendapatkan ilmu. Mendapatkan sunnah rasul shallallahu ‘alaihi wasallam yang dibangun diatas ilmu, bahwa ini dalilnya demikian, ini dalilnya demikian. Tidak ada ana dapatkan. Lalu dia memuji-memuji ma’had, melihat, masya Allah, disini saya melihat wanita mutahajjibat, berhijab. “Ini atsar dari dakwah, tidak perlu khuruj” ana bilang. “Ini tidak perlu khuruj, melalui para ulama, mereka tinggal di kantor-kantor mereka, mereka menulis. Tinggal di kamar mereka, mereka menulis. Ilmunya sampai ke kita, kita membacanya, kita mengamalkannya, itulah khuruj yang sebenarnya”, ana bilang. Khuruj syar’i, inilah khuruj yang semestinya. Khurujnya para ulama salaf. Bukan berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain, lalu yang dibawa orang-orang yang tidak punya ilmu.
Coba antum sampaikan dakwah tauhid di tengah-tengah mereka. “Iya, ana juga belajar ke Syaikh Shalih Al Fauzan”, dia sebut. Syaikh Shalih Al Fauzan karena dia tahu kita salafy, jadi dia sebut Syaikh Shalih Al Fauzan. “O, bagus”, ana bilang “Syaikh Shalih Al Fauzan, antum belajar?” “Iya, ana belajar al ushul tsalatsah, ana belajar al aqidah al washitiyah”. “O, bagus”, ana bilang. “Tinggal antum ajarkan saja sudah, ajarkan ke mereka. Cari waktu, ketika antum khuruj, jam 7 sampai jam 9 misalnya, belajar al ushul tsalatsah. Dari jam 11 sampai dzuhur, sambung lagi sampai selesai. Itu namanya ilmu”, ana bilang. Itu khuruj yang bagus, nah ini. Antum harus sampaikan, dan ana yakin antum tidak berani. Ana yakin antum tidak berani. Karena tidak ada. Karena membahas itu di tengah-tengah jama’ah tabligh, bagi mereka mufariqqun bil ummat. Memecah belah ummat. Itu masalahnya. Membahas ushul tsalatsah, apalagi kalau dibahas bersama orang-orang yang datang dari India, Pakistan, Bangladesh, “wah ini wahabi ini orang, wahabi”.
Jadi ma’asyaral ikhwah rahimakumullah, intinya bahwa tidak ada manfaat. Tidak ada manfaat khuruj, bersama dengan mereka. Hadir di majelis ilmu, wallahi, itu lebih barakah.
Download Audio disini

Friday, February 14, 2014

Permisalan Hidup di Dunia

Edisi ke-12 Tahun ke-4 / 27 Januari 2006 M / 27 Dzul Hijjah 1426 H
Seorang mukmin hidup di dunia ibaratnya seperti orang asing atau musafir. Suatu permisalan yang penuh makna dan pesan yang agung. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selayaknya dijadikan pelajaran dan diterapkan oleh seorang mukmin dalam kehidupannya di dunia.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبَيَّ فَقَالَ: كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku lalu bersabda, “Jadilah engkau hidup di dunia seperti orang asing atau musafir (orang yang bepergian).” Lalu Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu menyatakan, “Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi hari. Dan apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah menunggu hingga sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Dan pergunakanlah hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al-Bukhariy no.6416)
Para ‘ulama menjelaskan hadits ini dengan mengatakan, “Janganlah engkau condong kepada dunia; janganlah engkau menjadikannya sebagai tempat tinggal (untuk selama-lamanya -pent); janganlah terbetik dalam hatimu untuk tinggal lama padanya; dan janganlah engkau terikat dengannya kecuali sebagaimana terikatnya orang asing di negeri keterasingannya (yakni orang asing tidak akan terikat di tempat tersebut kecuali sedikit sekali dari sesuatu yang dia butuhkan �pent.); dan janganlah engkau tersibukkan padanya dengan sesuatu yang orang asing yang ingin pulang ke keluarganya tidak tersibukkan dengannya; dan Allah-lah yang memberi taufiq.”

Permisalan Seorang Mukmin di Dunia

Inilah permisalan yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan inilah kenyataannya. Karena sesungguhnya seseorang di dunia ibaratnya seorang musafir. Maka dunia bukanlah tempat tinggal yang tetap (selama-lamanya). Bahkan dunia itu sekedar tempat lewat yang cepat berlalunya. Orang yang melewatinya tidak pernah merasa letih baik malam maupun siang hari.
Adapun seorang musafir biasa, kadang-kadang dia singgah di suatu tempat lalu dia bisa beristirahat. Akan tetapi musafir dunia (yakni permisalan orang mukmin di dunia �pent.) tidak pernah singgah, dia terus-menerus dalam keadaan safar (perjalanan). Berarti setiap saat dia telah menempuh suatu jarak dari dunia ini yang mendekatkannya ke negeri akhirat.
Maka bagaimana sangkaanmu terhadap suatu perjalanan yang pelakunya senantiasa berjalan dan terus bergerak, bukankah dia akan sampai ke tempat tujuan dengan cepat? Tentu, dia akan cepat sampai. Karena inilah Allah Ta’ala menyatakan,
كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا
“Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.” (An-Naazi’aat:46)
Makna Hadits Ini
Berkata Ath-Thibiy, “Kata ‘atau‘ (dalam hadits ini) tidaklah menunjukkan keraguan bahkan menunjukkan pilihan dan kebolehan dan yang paling baiknya adalah bermakna ‘bahkan‘.” Yakni maknanya: “Jadilah engkau hidup di dunia seperti orang asing atau bahkan seperti musafir.”
Orang mukmin ketika hidup di dunia, kedudukannya seperti orang asing. Maka hatinya pun tidak akan terikat dengan sesuatu di negeri keterasingannya tersebut. Bahkan hatinya terikat dengan tempat tinggal (negerinya) yang dia akan kembali kepadanya. Dan dia menjadikan tinggalnya di dunia hanya sekedar untuk menunaikan kebutuhannya dan mempersiapkan diri untuk kembali ke negerinya. Inilah keadaan orang yang asing.
Atau bahkan seorang mukmin itu seperti musafir yang tidak pernah menetap di suatu tempat tertentu. Bahkan dia terus-menerus berjalan menuju tempat tinggalnya.
Maka seorang mukmin hidup di dunia ini ibaratnya seperti seorang hamba yang ditugaskan oleh tuannya untuk suatu keperluan ke suatu negeri. Hamba tersebut tentunya ingin bersegera melaksanakan apa yang ditugaskan oleh tuannya lalu kembali ke negerinya. Dan dia tidak akan terikat dengan sesuatu kecuali apa yang ditugaskan oleh tuannya.

Keadaan Orang Asing dan Musafir

Berkata Al-Imam Abul Hasan ‘Ali bin Khalaf di dalam Syarh Al-Bukhariy, “Berkata Abu Zinad, “Makna hadits ini adalah anjuran untuk sedikit bergaul dan berkumpul serta zuhud terhadap dunia.”
Kemudian Abul Hasan berkata, “Penjelasannya adalah bahwa orang asing biasanya sedikit berkumpul dengan manusia sehingga terasing dari mereka. Karena hampir-hampir dia tidak pernah melewati orang yang dikenalnya dan diakrabinya serta orang-orang yang biasanya berkumpul dengannya. Sehingga dia pun merasa rendah diri dan takut.
Demikian pula dengan seorang musafir. Dia tidak melakukan perjalanan melainkan sekedar kekuatannya. Dan dia pun hanya membawa beban yang ringan agar tidak terbebani untuk menempuh perjalanannya. Dia tidak membawa apa-apa kecuali hanya sekedar bekal dan kendaraan sebatas yang dapat menyampaikannya kepada tujuan.
Hal ini menunjukkan bahwa sikap zuhud terhadap dunia dimaksudkan agar dapat sampai kepada tujuan dan mencegah kegagalan. Seperti halnya seorang musafir. Dia tidak membutuhkan membawa bekal yang banyak kecuali sekedar apa yang bisa menyampaikannya ke tempat tujuan.
Demikian pula halnya dengan seorang mukmin dalam kehidupan di dunia ini. Dia tidak membutuhkan banyak bekal kecuali hanya sekedar bekal untuk mencapai tujuan hidupnya yakni negeri akhirat.”
Dia tidak mengambil bagian dari dunia ini kecuali apa-apa yang bisa membantunya untuk taat kepada Allah dan ingat negeri akhirat. Hal inilah yang akan memberikan manfaat kepadanya di akhirat.
Berkata Al-’Izz ‘Ila`uddin bin Yahya bin Hubairah, “Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar kita menyerupai orang asing. Karena orang asing itu apabila memasuki suatu negeri, dia tidak mau bersaing dengan penduduk pribumi. Dan tidak pula berbuat sesuatu yang mengejutkan sehingga orang-orang melihat dia melakukan sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Misalnya dalam berpakaian. Sehingga dia pun tidak bermusuhan dengan mereka. Tentunya selama dalam batasan syar’i.
Demikian pula halnya dengan seorang musafir. Dia tidak mendirikan rumah dalam perjalanannya. Dan dia menghindari perselisihan dengan manusia karena dia ingat bahwa dia tinggal bersama mereka hanyalah untuk sementara waktu saja.
Maka setiap keadaan orang asing ataupun seorang musafir adalah baik bagi seorang mukmin untuk diterapkan dalam kehidupannya di dunia. Karena dunia bukanlah negerinya, juga karena dunia telah membatasi antara dirinya dengan negerinya yang sebenarnya (yakni negeri akhirat).”
Demikianlah sikap yang harus dimiliki oleh seorang mukmin. Dia tidaklah berlomba-lomba dan bersaing dalam masalah dunia sebagaimana orang asing. Dan juga tidak berniat tinggal seterusnya di dunia sebagaimana seorang musafir.

Jangan Menunda-nunda Amal!

Adapun perkataan Ibnu ‘Umar, “Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi hari, dan apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah menunggu hingga sore hari” adalah anjuran beliau agar seorang mukmin senantiasa mempersiapkan diri terhadap datangnya kematian. Sedangkan mempersiapkan datangnya kematian adalah dengan amal shalih. Dan beliau juga menganjurkan agar memendekkan angan-angan.
Maksudnya adalah janganlah menunggu amal-amal yang bisa dikerjakan di malam hari untuk pagi hari. Bahkan bersegeralah beramal. Begitu pula tatkala pagi hari. Janganlah terbetik di dalam hatimu bahwa engkau akan bertemu dengan sore hari sehingga engkau pun akhirkan amal-amal pagimu untuk malam hari.
Ketika engkau berada di waktu sore janganlah mengatakan, “Nanti, masih ada waktu pagi”. Betapa banyaknya seseorang yang berada di sore hari tidak menjumpai waktu pagi. Demikian juga ketika engkau berada di waktu pagi janganlah mengatakan, “Nanti, masih ada waktu sore.” Karena betapa banyaknya seseorang yang berada di waktu pagi tetapi tidak menjumpai sore hari dikarenakan ajal menjemputnya.
Kalaupun engkau bisa menjumpai waktu pagi atau sore, belum tentu engkau bisa melakukan pekerjaan yang engkau tunda dikarenakan kesibukan menghampirimu atau sakit menimpamu. Hal ini telah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya,
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu pada keduanya (yaitu): nikmat sehat dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhariy dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Ketika datang waktu sakit dia baru merasakan betapa nikmatnya sehat. “Kenapa ketika sehat saya tidak menggunakannya untuk beramal shalih?” Ketika datang waktu sibuknya dia baru sadar betapa nikmatnya waktu luang. “Kenapa ketika punya waktu luang saya tidak menggunakannya untuk melakukan kebaikan?” Penyesalan selalu datang kemudian.
Kemudian beliau radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan, “Dan pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu” yakni bersegeralah beramal shalih ketika sehat sebelum datangnya masa sakit. Karena seseorang ketika dalam keadaan sehat maka mudah baginya untuk beramal shalih, dikarenakan dia dalam keadaan sehat, dadanya lapang, dan jiwanya dalam keadaan senang. Sedangkan orang yang sakit dadanya sempit dan jiwanya dalam keadaan tidak gembira sehingga tidak mudah baginya untuk beramal.
Hal ini pun sebagai anjuran dari beliau untuk menjaga dan mempergunakan waktu sehat dengan sebaik-baiknya serta beramal dengan sungguh-sungguh padanya. Dikarenakan khawatir dia akan mendapatkan sesuatu yang akan menghalanginya untuk beramal.

Pergunakan Umurmu dengan Sebaik-baiknya!

“Dan pergunakanlah waktu hidupmu sebelum datang kematianmu” yakni bersegeralah pergunakan waktu hidupmu selama engkau masih hidup (untuk beramal shalih) sebelum engkau mati. Sebagai peringatan untuk menjaga dan mempergunakan masa hidup dengan sebaik-baiknya. Karena sesungguhnya seseorang apabila mati maka terputuslah amalnya. Telah shahih hal ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau bersabda, “Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah darinya amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Demikian juga akan hilanglah angan-angannya dan muncullah penyesalannya yang besar karena keteledorannya dalam menjaga umurnya.
Dan ketahuilah bahwa kelak akan datang kepadanya suatu waktu yang panjang. Yakni tatkala dia berada di bawah tanah di mana dia tidak mampu lagi untuk beramal dan tidak memungkinkan pula baginya untuk berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka hendaknya bersegera beramal selagi masih hidup.
Sungguh alangkah luas dan tingginya pengertian hadits ini yang mengandung berbagai macam kebaikan.

Jangan Panjang Angan-angan!

Sebagian ‘ulama menyatakan, “Allah Ta’ala mencela panjang angan-angan di dalam firman-Nya,
ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong). Maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (Al-Hijr:3)”
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
اِرْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً وَارْتَحَلَتِ الْآخِرَةُ مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُوْنَ، فَكُوْنُوْا مِنْ أَبْنَاءِ الْآخِرَةِ وَلاَ تَكُوْنُوْا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابٌ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلٌ
“Dunia berjalan meninggalkan manusia sedangkan akhirat berjalan menjemput manusia, dan masing-masing memiliki generasi. Maka jadilah kalian generasi akhirat dan janganlah kalian menjadi generasi dunia. Karena hari ini (di dunia) yang ada hanyalah amal dan belum dihisab sedangkan besok (di akhirat) yang ada adalah hisab dan tidak ada lagi amal.”
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis-garis lalu bersabda, “Ini adalah manusia, ini angan-angannya dan ini adalah ajalnya. Maka tatkala manusia berjalan menuju angan-angannya tiba-tiba sampailah dia ke garis yang lebih dekat dengannya (daripada angan-angannya �pent).” Yakni ajalnya yang melingkupinya. (HR. Al-Bukhariy no.6418)
Inilah peringatan dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memendekkan angan-angan dan merasakan dekatnya ajal dan takut kalau ajal datang kepadanya dengan tiba-tiba. Barangsiapa yang tidak mengetahui ajalnya (dan semua orang tentunya tidak tahu kapan ajalnya datang �pent.) maka dia layak untuk berjaga-jaga akan kedatangannya dan menunggunya karena khawatir jika ajal mendatanginya disaat dia terpedaya dan lengah.
Maka seorang mukmin hendaklah dia senantiasa menjaga dirinya dengan mempergunakan umurnya sebaik-baiknya dan menentang angan-angan maupun hawa nafsunya karena manusia sering terpedaya oleh angan-angannya.
‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati kami yang sedang memperbaiki gubuk kami. Lalu beliau bertanya, “Apa ini?” Kami menjawab, “Gubuk ini telah rusak/reyot, kami sedang memperbaikinya.” Maka beliau pun bersabda, “Tidaklah aku melihat urusan ini (dunia) melainkan lebih cepat dari gubuk ini.” (HR. At-Tirmidziy no.2335)
Kita memohon kepada Allah Yang Maha Agung agar mengasihi kita dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang zuhud terhadap dunia, aamiin. Wallaahu A’lam.Maraaji’: Syarh Riyaadhish Shaalihiin 2/193-194, Maktabah Ash-Shafaa, Al-Qawaa’id wa Fawaa`id minal Arba’iin An-Nawawiyyah hal.351, Syarh Al-Arba’iin Hadiitsan An-Nawawiyyah hal.104-107, At-Ta’liiqaat ‘alal Arba’iin An-Nawawiyyah hal.107-108.
 
Sumber artikel : kaahil.wordpress.com

Wednesday, February 12, 2014

Akidah ” Akidah Salaf tentang Al-Qur’an “

Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak
Al-Qur’anul Karim adalah kitab Allah yang paling mulia. Allah Subhanahu wata’ala menguatkan Rasul-Nya yang mulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan mukjizat teragung, yakni al-Qur’anul Karim. Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Mukjizat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam —yang merupakan tanda/bukti bahwa beliau adalah Rasul Allah yang haq—banyak sekali. Mukjizat teragung yang ada pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah al-Qur’anul Karim. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَقَالُوا لَوْلَا أُنزِلَ عَلَيْهِ آيَاتٌ مِّن رَّبِّهِ ۖ قُلْ إِنَّمَا الْآيَاتُ عِندَ اللَّهِ وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُّبِينٌ () أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَىٰ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan orang-orang kafir Makkah berkata, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Rabbnya?” Katakanlah, “Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata.” Apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) yang sedang dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (al-Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (al- Ankabut: 50—51)

Monday, February 10, 2014

Bagaimana Jika Kaum Muslimin Dikuasai Orang Kafir?

Asy-Syaikh Abdullah bin Mar’i
Beliau hafizhahullah ditanya: Bagaimana pendapat Syaikh tentang sikap yang seharusnya diambil oleh kaum muslimin jika jumlah mereka banyak tapi dipimpin oleh pemerintah yang kafir?

Friday, February 7, 2014

Kajian Utama ” Warna -Warni di Balik Poligami “

Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq
Poligami disyariatkan dalam Islam bukan untuk menghancurkan rumah tangga yang sudah dibina sebelumnya atau untuk menggagalkan rumah tangga kedua yang baru dibangun. Jadi, sangatlah tidak diharapkan ketika seorang suami menikah lagi ternyata berisiko perceraian dengan istri yang pertama atau berpisah dengan istri yang baru.

Wednesday, February 5, 2014

Semenjak menikah suami menginginkan saya untuk terus melahirkan anak untuknya. Sekarang setelah anak saya banyak dan masih kecil, suami saya menikah lagi (Poligami).

Pertanyaan :
Ustadz yang saya hormati. Saya seorang istri yang sedang mengalami permasalahan rumah tangga. Ustadz, saya merasa suami tidak adil terhadap saya. Semenjak menikah suami menginginkan saya untuk terus melahirkan anak untuknya. Ketika saya meminta suami menjaga jarak kelahiran, agar lebih bisamengurus anak dan melayani suami, suami tidak mau. Padahal suami sibuk di luar sehingga praktis saya yang mengurusi semuanya. Sekarang setelah anak saya banyak dan masih kecil, suami saya menikah lagi. Saya seperti kehilangan pegangan hidup. Saya paham poligami dibolehkan dalam Islam. Hanya saja kesedihan yang sangat, membuat saya tidak bisa berfikir jernih, saya mohon nasihat dari ustadz agar say tidak tergelincir dosa. Terima kasih atas jawabannya.

Tuesday, February 4, 2014

Fatwa – Hukum Mendengar Murottal Musyari bin Rasyid al-Afasi (Revisi)

Oleh Al Ustadz Abu Amr Ahmad Alfian
Sebuah pertanyaan pernah diajukan kepada asy-Syaikh ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah:
“Apa hukum mendengar dzikir pagi-petang yang dikemas dalam suara merdu/nyanyian. Seperti kaset yang telah beredar di pasaran dengan suara Musyari al-’Afasi?”
Jawab: ”Musyari al-’Afasi termasuk orang-orang yang terfitnah dengan cara-cara shufiyyah. Oleh karena itu, dia melakukan cara-cara nasyid yang diiringi video klip. Orang seperti dia tidak boleh didengarkan. Hendaknya kalian mendengarkan para qari dari kalangan salafiyyin, seperti asy-Syaikh ‘Ali al-Hudzaifi.”
Sabtu, 8 Jumadil Akhir 1428H
Sumber http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=103812
Pada kesempatan lain, asy-Syaikh Mahir al-Qahthani hafizhahullah mengatakan:
“Dalam kesempatan ini akan aku sebutkan banyak hal yang dinyanyikan oleh orang-orang. … yang itu semua menyeret mereka untuk mengikuti hawa nafsu dan mengikuti sesuatu yang tertanam di hati berupa senang mendengar hal-hal yang haram, berupa  nyanyian-nyanyian. Maka kalian lihat, ada yang menyanyikan talbiyah. Ini muhdats (bid’ah). Sampai juga menyanyikan shalawat Nabi di Hp-hp. Dan muncul sekarang dari Musyari al-’Afasi al-Khabits (orang yang jelek) dan yang lainnya, yaitu menyanyikan dzikir pagi dan petang.
Al-’Afasi ini sekarang membolehkan mendengar nyanyian-nyanyian yang berisi dakwah. Dia mengatakan, tidak mengapa mendengar musik dan nyanyian yang berisi dakwah.
Sumber http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=103812
Judul Indonesia: Fatwa: Hukum Mendengar Murottal Musyari bin Rasyid al-’Afasi

Sumber artikel : salafy.or.id

About us