Kategori: Majalah "Syariah" Edisi 4
(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.)
Marah adalah sikap yang segera ditunjukkan para ulama Salaf
kepada orang-orang yang suka membantah Sunnah Nabi.
Para ulama Salaf adalah orang-orang yang sangat tinggi
ghirah-nya (semangatnya) terhadap Sunnah Nabi. Mereka makmurkan jiwa mereka
dengan As Sunnah sehingga tatkala muncul dari seseorang sikap menyangkal As
Sunnah atau enggan untuk tunduk terhadap aturan As Sunnah, secara spontan
mereka ingkari dengan pengingkaran yang tegas sebagai hukuman dan peringatan.
Hal itu nampak jelas dalam kisah-kisah yang sampai kepada kita, di antaranya:
Ketika Abdullah bin Umar c mengatakan: Saya mendengar Nabi
bersabda:
“Jangan kalian larang istri-istri kalian ke masjid jika
mereka minta ijin ke sana,”
maka Bilal bin Abdillah mengatakan: ‘Demi Allah aku
sungguh-sungguh akan melarang mereka.’ Maka Abdullah bin Umar c menghadap
kepadanya dan mencaci makinya. (Yang meriwayatkan kisah ini mengatakan: ‘Saya
tidak pernah mendengar dia mencaci maki seperti itu sama sekali.’). Dan
mengatakan, aku katakan kepadamu ‘Bersabda Rasulullah’ lalu kamu katakan ‘Demi
Allah aku akan melarang mereka?!’ (Shahih, HR. Muslim no. 988)
Kejadian lain dialami oleh shahabat ‘Ubadah bin Ash-Shamit z
ketika beliau menyebutkan bahwa Nabi melarang menukar satu dirham dengan dua
dirham dan ada seseorang yang mengatakan: “Menurut saya, itu tidak mengapa jika
kontan.” Maka ‘Ubadah mengatakan: “Saya katakan ‘Rasulullah bersabda’ dan kamu
katakan: ‘Menurut saya tidak mengapa?!’. Demi Allah jangan sampai ada satu atap
menaungi saya dan kamu.” (Shahih, HR. Ad-Darimi 1/118 dan Ibnu Majah 1/20
no.18, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, Ta’zhimus Sunnah, hal. 37)
Shahabat yang lain yaitu Abu Sa’id Al-Khudri z mengatakan
kepada seseorang: “Apakah kamu mendengar saya menyampaikan hadits dari Nabi r:
“Jangan kalian tukar uang dinar dengan uang dinar jangan
pula dirham dengan dirham kecuali sama ukurannya dan jangan kalian tukar dengan
cara yang tidak kontan.” Lalu kamu berfatwa dengan apa yang kamu fatwakan
(yakni berbeda dengan hadits)!! Demi Allah jangan sampai ada yang menaungi aku
dan kamu selama hidupku kecuali masjid.” (Al-Ibanah Ibnu Baththah hal. 95,
Ta’zhimus Sunnah hal. 39)
Begitu tegas sikap para shahabat Nabi r terhadap orang-orang
yang menyangkal hadits. Hal itu tidak lain karena kedalaman ilmu mereka tentang
kedudukan Sunnah Nabi dalam syariat dan ilmu mereka tentang bahayanya sikap
penentangan semacam ini, yang dibarengi dengan kecemburuan mereka yang tinggi
terhadap As Sunnah. Sepintas sebagian kita membaca kisah itu nampak sikap
mereka begitu keras atau kaku dan tak kenal kompromi, dan barangkali dipandang
oleh sebagian orang tidak pantas dilakukan. Tapi cobalah kita menengok sejenak
bahwa contoh tersebut adalah perbuatan para shahabat Nabi r, orang-orang
terbaik umat ini dengan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya.
Justru yang tidak pantas adalah ketika kita mengatakan bahwa
perbuatan mereka itu tidak pantas. Penilaian seperti itu tentu karena kurangnya
ilmu tentang kedudukan Sunnah Nabi, juga karena ghirah keagamaan yang lemah
dari dalam hati sanubari dan karena tidak menangkap bahayanya perbuatan lancang
semacam ini. Allah I berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)
Oleh karenanya kita perlu introspeksi diri sekaligus
berhati-hati karena kita hidup di zaman yang kondisinya sangat jauh dari
norma-norma kenabian. Sunnah Nabi begitu asing untuk kita terapkan sehingga
didapati hakekat-hakekat telah terbalik, sebagaimana dikatakan oleh Abdullah
bin Mas’ud z: “Bagaimana dengan kalian jika fitnah yang membuat pikun orang
dewasa dan membuat anak kecil menjadi besar itu menyelimuti kalian? Bahkan
manusia justru menjadikan (sesuatu yang bukan As Sunnah) sebagai sunnah. Jika
ditinggalkan sedikit saja darinya akan dikatakan: ‘Sunnah telah ditinggalkan’.”
Orang-orang bertanya kepada Ibnu Mas’ud z: “Kapan itu terjadi?” Diapun
menjawab: “Jika ulama kalian telah pergi, pembaca Al Qur`an semakin banyak tapi
ahli fiqih semakin sedikit, pimpinan kalian semakin banyak, orang yang jujur
semakin sedikit dan dunia dicari dengan menggunakan amalan akhirat serta selain
ilmu agama (semakin banyak) dipelajari.” (Shahih, Riwayat Ad-Darimi, 1/64,
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Qiyamu Ramadhan)
Wallahu a’lam.
Sumber artikel : ahlussunnahkolaka.blogspot.com