
Allah telah menamai kita muslim, kenapa harus menisbahkan diri kita pada Salaf. Al Imam Al Albani menjawab
dalam diskusinya dengan seseorang (Abdul Halim Abu Syakkah), yang
direkam dalam kasetnya yang berjudul “Saya seorang Salafy”, dan inilah
sebagian hal yang penting dari diskusi itu:
Penanya : “Muslim“
Syaikh Al Albani : “Ini tidaklah cukup“
Penanya : “Allah telah menamai kita dengan muslim (kemudian dia membaca firman Allah), “Dialah yang telah menamai kalian orang-orang muslim dari dahulu” (Al Hajj 78)’”
Syaikh Al Albani : “Ini
merupakan jawaban yang tepat, jika kita berada disaat Islam itu pertama
kali muncul, sebelum firqah-firqah bermunculan dan menyebar. Tapi jika
ditanyakan, pada saat ini, pada setiap muslim dari berbagai macam firqah
yang berbeda dengan kita dalam masalah aqidah, maka jawabannya tidaklah
jauh dari kalimat ini. Mereka semua, seperti Syi’ah Rafidlah, Khariji,
Nusayri Alawi, akan berkata ‘Saya muslim’. Sehingga penyebutan “muslim”
(saja) tidak cukup pada saat ini.”
Penanya : “Kalau begitu, (saya akan berkata) saya adalah Muslim berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah“
Syaikh Al Albani : “Ini juga tidak cukup“
Penanya : “Kenapa?”
Syaikh Al Albani : “Apakah
kamu menemukan dari mereka yang telah kita sebutkan tadi, akan
mengatakan ,’kami adalah adalah muslim yang tidak berdasarkan pada Al
Qur’an dan As Sunnah?’ atau seorang dari mereka berkata “Saya seorang
Muslim tetapi tidak berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah?”
Maka
selanjutnya Syaikh Al Albani menjelaskan dengan jelas akan pentingnya
berada di atas Al Qur’an dan As Sunnah dan memahami di atas cahaya
(pemahaman) Salafush Shalih (pendahulu yang sholih).
Penanya : “Kalau
begitu, saya akan menyatakan bahwa saya adalah muslim yang berdasarkan
pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan mengikuti pemahaman Salafus Shalih“
Syaikh Al Albani : “Jika seseorang bertanya padamu tentang madzhabmu, apakah ini yang akan kamu katakan?”
Penanya : “Ya“
Syaikh Al Albani : “Bagaimana pendapatmu, bila kita menyingkat kalimat ini dalam pembicaran (Muslim yang berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan mengikuti pemahaman Salafus Shalih), yang lebih ringkas dan menunjukkan makna dengan ‘Salafi‘”. (Selesai penukilan)
Tentang penamaan salafiyah, berikut adalah penjelasan dari Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain tentang Hakikat Dakwah Salafiyah.
Salafiyah adalah salah satu penamaan lain dari Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menunjukkan ciri dan kriteria mereka.
Salafiyah adalah pensifatan yang diambil dari kata سَلَفٌ (Salaf) yang berarti mengikuti jejak, manhaj dan jalan Salaf. Dikenal juga dengan nama سَلَفِيُّوْنَ
(Salafiyyun). Yaitu bentuk jamak dari kata Salafy yang berarti orang
yang mengikuti Salaf. Dan juga kadang kita dengar penyebutan para ‘ulama
Salaf dengan nama As-Salaf Ash-Sholeh (pendahulu yang sholeh).
Dari
keterangan di atas secara global sudah bisa dipahami apa yang dimaksud
dengan Salafiyah. Tapi kami akan menjelaskan tentang makna Salaf menurut
para ‘ulama dengan harapan bisa mengikis anggapan/penafsiran bahwa
dakwah Salafiyah adalah suatu organisasi, kelompok, aliran baru dan
sangkaan-sangkaan lain yang salah dan menodai kesucian dakwah yang
dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa alihi wa sallam ini.
Kata Salaf ini mempunyai dua definisi ; dari sisi bahasa dan dari sisi istilah.
DEFINISI SALAF MENURUT BAHASA
Berkata Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab : “Dan
As-Salaf juga adalah orang-orang yang mendahului kamu dari ayah-ayahmu
dan kerabatmu yang mereka itu di atas kamu dari sisi umur dan keutamaan
karena itulah generasi pertama dikalangan tabi’in mereka dinamakan
As-Salaf Ash-Sholeh”.
Berkata Al-Manawi dalam At-Ta’arif jilid 2 hal.412 : “As-Salaf bermakna At-Taqoddum (yang terdahulu). Jamak dari salaf adalah أَسْلاَفٌ (aslaf)”.
Masih
banyak rujukan lain tentang makna salaf dari sisi bahasa yang ini dapat
dilihat dalam Mauqif Ibnu Taimiyyah minal ‘asya’irah jilid 1 hal.21.
Jadi arti Salaf secara bahasa adalah yang terdahulu, yang awal dan yang pertama. Mereka dinamakan Salaf karena mereka adalah generasi pertama dari ummat Islam.
DEFINISI SALAF MENURUT ISTILAH
Istilah Salaf dikalangan para ‘ulama mempunyai dua makna ; secara khusus dan secara umum.
Pertama : Makna Salaf secara khusus adalah generasi permulaan ummat Islam dari kalangan para shahabat, Tabi’in (murid-murid para Shahabat), Tabi’ut Tabi’in (murid-murid para Tabi’in) dalam tiga masa yang mendapatkan kemulian dan keutamaan dalam hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary, Muslim dan lain-lainnya dimana Rasulullah shallallahu ‘alahi wa alihi wa sallam menyatakan :
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian generasi setelahnya kemudian generasi setelahnya”.
Makna
khusus inilah yang diinginkan oleh banyak ‘ulama ketika menggunakan
kalimat Salaf dan saya akan menyebutkan beberapa contoh dari perkataan
para ‘ulama yang mendefinisikan Salaf dengan makna khusus ini atau yang
menggunakan istilah Salaf dan mereka inginkan dengannya makna Salaf
secara khusus.
Berkata Al-Bajury dalam Syarah Jauharut Tauhid hal.111 : “Yang
dimaksud dengan salaf adalah orang-orang yang terdahulu dari para Nabi
dan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka”.
Berkata Al-Qolasyany dalam Tahrirul Maqolah Syarah Ar-Risalah : “As-Salaf
Ash-Sholeh yaitu generasi pertama yang mapan di atas ilmu, yang
mengikuti petunjuk Nabi shollahu ‘alahi wa alihi wa sallam lagi menjaga
sunnah-sunnah beliau. Allah memilih mereka untuk bersahabat dengan
Nabi-Nya dan memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan mereka itulah
yang diridhoi oleh para Imam ummat (Islam) dan mereka berjihad di jalan
Allah dengan sebenar-benar jihad dan mereka mencurahkan (seluruh
kemampuan mereka) dalam menasehati ummat dan memberi manfaat kepada
mereka dan mereka menyerahkan diri-diri mereka dalam menggapai keridhoan
Allah”.
Dan berkata Al-Ghazaly memberikan pengertian terhadap kata As-Salaf dalam Iljamul ‘Awwam ‘An ‘ilmil Kalam hal.62 : “Yang saya maksudkan dengan salaf adalah madzhabnya para shahabat dan Tabi’in”.
Lihat Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy hal.31 dan Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf hal.18-19.
Berkata Abul Hasan Al-Asy’ary dalam Kitab Al-Ibanah Min Ushul Ahlid Diyanah hal.21 : “Dan
(diantara yang) kami yakini sebagai agama adalah mencintai para ‘ulama
salaf yang mereka itu telah dipilih oleh Allah ‘Azza Wa Jalla untuk
bershahabat dengan Nabi-Nya dan kami memuji mereka sebagaimana Allah
memuji mereka dan kami memberikan loyalitas kepada mereka seluruhnya”.
Berkata Ath-Thahawy dalam Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyah : “Dan
ulama salaf dari generasi yang terdahulu dan generasi yang setelah
mereka dari kalangan Tabi’in (mereka adalah) Ahlul Khair (ahli kebaikan)
dan Ahli Atsar (hadits) dan ahli fiqh dan telaah (peneliti), tidaklah
mereka disebut melainkan dengan kebaikan dan siapa yang menyebut mereka
dengan kejelekan maka dia berada di atas selain jalan (yang benar)”.
Dan Al-Lalika`i
dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah jilid 2 hal.334
ketika beliau membantah orang yang mengatakan bahwa Al-Qura dialah yang
berada di langit, beliau berkata : “Maka dia telah menyelisihi Allah
dan Rasul-Nya dan menolak mukjizat Nabi-Nya dan menyelisihi para salaf
dari kalangan Shahabat dan tabi’in dan orang-orang setelahnya dari para
‘ulama ummat ini“.
Berkata Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman jilid 2 hal.251 tatkala beliau menyebutkan pembagian ilmu, beliau menyebutkan diantaranya : “Dan mengenal perkataan-perkataan para salaf dari kalangan shahabat, Tabi’in dan orang-orang setelah mereka”.
Dan berkata Asy-Syihristany dalam Al-Milal Wa An-Nihal jilid 1 hal.200 : “Kemudian
mengetahui letak-letak ijma’ (kesepakatan) shahabat, Tabi’in dan
Tabi’ut Tabi’in dari Salafus Sholeh sehingga ijtihadnya tidak
menyelisihi ijma’ (mereka)“.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Bayan Talbis Al-Jahmiyah jilid 1 hal.22 : “Maka
tidak ada keraguan bahwasanya kitab-kitab yang terdapat di
tangan-tangan manusia menjadi saksi bahwasanya seluruh salaf dari tiga
generasi pertama mereka menyelesihinya“.
Dan berkata Al-Mubarakfury dalam Tuhfah Al-Ahwadzy jilid 9 hal.165 : “…Dan
ini adalah madzhab Salafus Sholeh dari kalangan shahabat dan Tabi’in
dan selain mereka dari para ‘ulama -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka
seluruhnya-”.
Dan hal yang sama dinyatakan oleh Al-’Azhim Abady dalam ‘Aunul Ma’bud jilid 13 hal.7.
Kedua : Makna salaf secara umum adalah tiga
generasi terbaik dan orang-orang setelah tiga generasi terbaik ini,
sehingga mencakup setiap orang yang berjalan di atas jalan dan manhaj
generasi terbaik ini.
Dan berkata Al-’Allamah Muhammad As-Safariny Al-Hambaly dalam Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah Wa Sawathi’ Al-Asrar Al-Atsariyyah jilid 1 hal.20 : “Yang
diinginkan dengan madzhab salaf yaitu apa-apa yang para shahabat yang
mulia -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka- berada di atasnya dan para
Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik dan yang mengikuti mereka dan
para Imam agama yang dipersaksikan keimaman mereka dan dikenal perannya
yang sangat besar dalam agama dan manusia menerima perkataan-perkataan
mereka…”.
Berkata Ibnu Abil ‘Izzi dalam
Syarah Al ‘Aqidah Ath-Thohawiyah hal.196 tentang perkataan Ath-Thohawy
bahwasanya Al-Qur`an diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Yakni merupakan perkataan para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan mereka itu adalah Salafus Sholeh“.
Dan berkata Asy-Syaikh Sholeh Al-Fauzan dalam Nazharat Wa Tu’uqqubat ‘Ala Ma Fi Kitab As-Salafiyah hal.21 : “Dan
kata Salafiyah digunakan terhadap jama’ah kaum mukminin yang mereka
hidup di generasi pertama dari generasi-generasi Islam yang mereka itu
komitmen di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti
mereka dengan baik dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka dengan sabdanya : “Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya….”.
Dan beliau juga berkata dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘An As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah hal.103-104 : “As-Salafiyah
adalah orang-orang yang berjalan di atas Manhaj Salaf dari kalangan
Shahabat dan tabi’in dan generasi terbaik, yang mereka mengikutinya
dalam hal aqidah, manhaj, dan metode dakwah“.
Dan berkata Syaikh Nashir bin ‘Abdil Karim Al-‘Aql dalam Mujmal Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hal.5 : “As-Salaf,
mereka adalah generasi pertama ummat ini dari para shahabat, tabi’in
dan imam-imam yang berada di atas petunjuk dalam tiga generasi terbaik
pertama. Dan kalimat As-Salaf juga digunakan kepada setiap orang yang
berada pada setelah tiga generasi pertama ini yang meniti dan berjalan
di atas manhaj mereka“.
Asal Penamaan Salaf Dan Penisbahan Diri Kepada Manhaj Salaf
Asal
penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fathimah radihyallahu
‘anha :
“Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya”. Dikeluarkan oleh Bukhary no.5928 dan Muslim no.2450.
Maka
jelaslah bahwa penamaaan salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf
adalah perkara yang mempunyai landasan (pondasi) yang sangat kuat dan
sesuatu yang telah lama dikenal tapi karena kebodohan dan jauhnya kita
dari tuntunan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka muncullah anggapan bahwa manhaj salaf itu adalah suatu
aliran, ajaran, atau pemahaman baru, dan anggapan-anggapan lainnya yang
salah.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 4 hal 149 : “Tidak
ada celaan bagi orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbahkan
diri kepadanya dan merujuk kepadanya, bahkan wajib menerima hal tersebut
menurut kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf itu
adalah tak lain kecuali kebenaran”.
Berikut ini saya akan memberikan beberapa contoh untuk menunjukkan bahwa penggunaan nama salaf sudah lama dikenal.
Berkata Imam Az-Zuhry (wafat 125 H) tentang tulang belulang bangkai seperti bangkai gajah dan lainnya : “Saya
telah mendapati sekelompok dari para ulama salaf mereka bersisir
dengannya dan mengambil minyak darinya, mereka menganggap (hal tersebut)
tidak apa-apa”. Lihat : Shohih Bukhary bersama Fathul Bary jilid 1 hal.342.
Tentunya
yang diinginkan dengan ‘ulama salaf oleh Az-Zuhry adalah para shahabat
karena Az-Zuhry adalah seorang Tabi’i (generasi setelah shahabat).
Dan Sa’ad bin Rasyid (wafat 213 H) berkata : “Adalah para salaf, lebih menyenangi tunggangan jantan karena lebih cepat larinya dan lebih berani”. Lihat : Shohih Bukhary dengan Fathul Bary jilid 6 hal.66 dan Al-Hafizh menafsirkan kata salaf : “Yaitu dari shahabat dan setelahnya”.
Berkata Imam Bukhary (wafat 256 H) dalam Shohihnya dengan Fathul Bary jilid 9 hal.552 : “Bab bagaimana para ‘ulama salaf berhemat di rumah-rumah mereka dan di dalam perjalanan mereka dalam makanan, daging dan lainnya”.
Imam Ibnul Mubarak (wafat 181 H) berkata : “Tinggalkanlah hadits ‘Amr bin Tsabit karena ia mencerca para ‘ulama salaf”. Baca : Muqoddimah Shohih Muslim jilid 1 hal.16.
Tentunya yang diinginkan dengan kata salaf oleh Imam Bukhary dan Ibnul Mubarak tiada lain kecuali para shahabat dan tabi’in.
Dan
juga kalau kita membaca buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan
nasab, akan didapatkan para ’ulama yang menyebutkan tentang nisbah
Salafy (penisbahan diri kepada jalan para ‘ulama salaf), dan ini lebih
memperjelas bahwa nisbah kepada manhaj salaf juga adalah sesuatu yang
sudah lama dikenal dikalangan para ‘ulama.
Berkata As-Sam’any dalam Al-Ansab jilid 3 hal.273 : “Salafy dengan difathah (huruf sin-nya) adalah nisbah kepada As-Salaf dan mengikuti madzhab mereka“.
Dan berkata As-Suyuthy dalam Lubbul Lubab jilid 2 hal.22 : “Salafy dengan difathah (huruf sin dan lam-nya) adalah penyandaran diri kepada madzhab As-Salaf“.
Dan
saya akan menyebutkan beberapa contoh para ‘ulama yang dinisbahkan
kepada manhaj (jalan) para ‘ulama salaf untuk menunjukkan bahwa mereka
berada diatas jalan yang lurus yang bersih dari noda penyimpangan :
1. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam
Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal.183 setelah menyebutkan hikayat
bahwa Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawy rahimahullah menghina ‘Utsman bin
‘Affan radhiyallahu ‘anhu : “Kisah ini terputus, Wallahu A’lam. Dan
saya tidak mengetahui Ya’qub Al-Fasawy kecuali beliau itu adalah seorang
Salafy, dan beliau telah mengarang sebuah kitab kecil tentang As-Sunnah”.
2. Dan dalam biografi ‘Utsman bin Jarzad beliau berkata : “Untuk
menjadi seorang Muhaddits (ahli hadits) diperlukan lima perkara, kalau
satu perkara tidak terpenuhi maka itu adalah suatu kekurangan. Dia
memerlukan : Aqal yang baik, agama yang baik, dhobth (hafalan yang
kuat), kecerdikan dalam bidang hadits serta dikenal darinya sifat amanah“.
Kemudian Adz-Dzahaby mengomentari perkataan tersebut, beliau berkata : “Amanah
merupakan bagian dari agama dan hafalan bisa masuk kepada kecerdikan.
Adapun yang dibutuhkan oleh seorang hafizh (penghafal hadits) adalah :
Dia harus seorang yang bertaqwa, pintar, ahli nahwu dan bahasa, bersih
hatinya, senantiasa bersemangat, seorang salafy, cukup bagi dia menulis
dengan tangannya sendiri 200 jilid buku hadits dan memiliki 500 jilid
buku yang dijadikan pegangan dan tidak putus semangat dalam menuntut
ilmu sampai dia meninggal dengan niat yang ikhlas dan dengan sikap
rendah diri. Kalau tidak memenuhi syarat-syarat ini maka janganlah kamu berharap”. Lihat dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal.280.
3. Dan Adz-Dzahaby berkata tentang Imam Ad-Daraquthny : “Beliau
adalah orang yang tidak akan pernah ikut serta mempelajari ilmu kalam
(ilmu mantik) dan tidak pula ilmu jidal (ilmu debat) dan beliau tidak
pernah mendalami ilmu tersebut, bahkan beliau adalah seorang salafy“. Baca Siyar A’lam An-Nubala`jilid 16 hal.457.
4. Dan dalam Tadzkirah Al-Huffazh jilid 4 hal.1431 dalam biografi Ibnu Ash-Sholah, berkata Imam Adz-Dzahaby : “Dan beliau adalah seorang Salafy yang baik aqidahnya“. Dan lihat : Thobaqot Al-Huffazh jilid 2 hal.503 dan Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal.142.
5. Dalam biografi Imam Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Isa bin ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdasy, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Beliau adalah seorang yang terpercaya, tsabt (kuat hafalannya), pandai, seorang Salafy…”. Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal.18.
6. Dan dalam Biografi Abul Muzhoffar Ibnu Hubairah, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Dia adalah seorang yang mengetahui madzhab dan bahasa arab dan ilmu ‘arudh, seorang salafy, atsary“. Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 20 hal.426.
7. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam biografi Imam Az-Zabidy : “Dia adalah seorang Hanafy, Salafy“. Baca Siyar A’lam An-Nubala`jilid 20 hal.316.
8. Dan dalam Biografi Musa bin Ibrahim Al-Ba’labakky, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Dan demikian pula beliau seorang perendah hati, seorang Salafy”. Lihat : Mu’jamul Muhadditsin hal.283.
9. Dan dalam biografi Muhammad bin Muhammad Al-Bahrony, Imam Adz-Dzahaby Berkata : “Dia seorang yang beragama, orang yang sangat baik, seorang Salafy”. Lihat : Mu’jam Asy-Syuyukh jilid 2 hal.280 (dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah hal.18).
10. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam Lisanul Mizan Jilid 5 hal.348 dalam biografi Muhammad bin Qasim bin Sufyan Abu Ishaq : “Dan Ia adalah Seorang yang bermadzhab Salafy”.
Penamaan-Penamaan Lain Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Sebelum
terjadi fitnah bid’ah perpecahan dan perselisihan dalam ummat ini,
ummat Islam tidak dikenal kecuali dengan nama Islam dan kaum muslimin,
kemudian setelah terjadinya perpecahan dan munculnya golongan-golongan
sesat yang mana setiap golongan menyerukan dan mempropagandakan bid’ah
dan kesesatannya dengan menampilkan bid’ah dan kesesatan mereka di atas
nama Islam, maka tentunya hal tersebut akan melahirkan kebingungan
ditengah-tengah ummat. Akan tetapi Allah Maha Bijaksana dan Maha Menjaga
agama-Nya. Dialah Allah yang berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya”. (Al Hijr 9).
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
“Terus
menerus ada sekelompok dari ummatku yang mereka tetap nampak di atas
kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka sampai datang
ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu”.
Maka
para ‘ulama salaf waktu itu yang merupakan orang-orang yang berada di
atas kebenaran dan yang paling memahami aqidah yang benar dan tuntunan
syari’at Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang murni yang belum ternodai oleh kotoran bid’ah dan kesesatan,
mulailah mereka menampakkan penamaan-penamaan syari’at diambil dari
Islam guna membedakan pengikut kebenaran dari golongan-golongan sesat
tersebut.
Berkata Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah :
“Tidaklah
mereka (para ‘ulama) bertanya tentang isnad (silsilah rawi). Tatkala
terjadi fitnah mereka pun berkata : “Sebutkanlah kepada kami rawi-rawi
kalian maka dilihatlah kepada Ahlus Sunnah lalu diambil hadits mereka
dan dilihat kepada Ahlil bid’ah dan tidak diambil hadits mereka””.
Maka
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah selain dikenal sebagai Salafiyah, mereka juga
mempunyai penamaan lain yang menunjukkan ciri dan kriteria mereka.
Berikut ini kami akan mencoba menguraikan penamaan-penamaan tersebut dengan ringkas.
1. AL-FIRQOH AN-NAJIYAH
Al-Firqoh An-Najiyah artinya golongan yang selamat. Penamaan ini diambil dari apa yang dipahami dari hadits perpecahan ummat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan :
“Telah
terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan)
dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh
dan sesungguhnya ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh
semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah dalam satu
riwayat : “Apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya sekarang
ini”. Hadits
shohih, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Dzilalil Jannah dan
Syaikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shohihain
rahimahumullah.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As-sunnah jilid 3 hal.345 : “Maka
apabila sifat Al-Firqoh An-Najiyah mengikuti para shahabat di masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan itu adalah syi’ar (ciri,
simbol) Ahlus Sunnah maka Al-Firqoh An-Najiyah mereka adalah Ahlus
Sunnah”.
Dan beliau juga menyatakan dalam Majmu’ Al Fatawa jilid 3 hal.345 : “Karena
itu beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) menyifati
Al-Firqoh An-Najiyah bahwa ia adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan mereka
adalah jumhur yang paling banyak dan As-Sawad Al-A’zhom (kelompok yang
paling besar)”.
Berkata Syaikh Hafizh Al-Hakamy : “Telah
dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -yang selalu
benar dan dibenarkan- bahwa Al-Firqoh An-Najiyah mereka adalah siapa
yang di atas seperti apa yang beliau dan para shahabatnya berada di
atasnya, dan sifat ini hanyalah cocok bagi orang-orang yang membawa dan
menjaga sifat itu, tunduk kepadanya lagi berpegang teguh dengannya.
mereka yang saya maksud ini adalah para imam hadits dan para tokoh
(pengikut) Sunnah”. Lihat Ma’arijul Qobul jilid 1 hal.19.
Maka
nampaklah dari keterangan di atas asal penamaan Al-Firqoh An-Najiyah
dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Diringkas dari : Mauqif Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Min Ahli Ahwa`i Wal Bid’ah jillid 1 hal.54-59.
Dan Berkata Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wad’iy rahimahullah setelah meyebutkan dua hadits tentang perpecahan ummat : “Dua
hadits ini dan hadits-hadits yang semakna dengannya menunjukkan bahwa
tidak ada yang selamat kecuali satu golongan dari tujuh puluh tiga
golongan, dan adapun golongan-golongan yang lain di Neraka, (sehingga)
mengharuskan setiap muslim mencari Al-Firqoh An-Najiyah sehingga teratur
menjalaninya dan mengambil agamanya darinya”. Lihat Riyadhul Jannah Fir Roddi ‘Ala A’da`is Sunnah hal.22.
2. ATH-THOIFAH AL MANSHUROH
Ath-Thoifah Al-Manshuroh artinya kelompok yang mendapatkan pertolongan. Penamaan ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Terus
menerus ada sekelompok dari ummatku yang mereka tetap nampak di atas
kebenaran, tidak membahayakan mereka orang mencerca mereka sampai datang
ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu”. (Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Tsauban dan semakna dengannya diriwayatkan oleh Bukhary dan Muslim dari hadits Mughiroh bin Syu’bah dan Mu’awiyah dan diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah.
Dan hadits ini merupakan hadits mutawatir sebagaimana yang dikatakan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho` Ash-Shirath Al-Mustaqim
1/69, Imam As-Suyuthy dalam Al-Azhar Al-Mutanatsirah hal.216 dan dalam
Tadrib Ar-Rawi, Al Kattany dalam Nazhom Al-Mutanatsirah hal.93 dan
Az-Zabidy dalam Laqthul `Ala`i hal.68-71. Lihat : Bashoir Dzawisy Syaraf
Bimarwiyati Manhaj As-Salaf).
Berkata Imam Bukhary tentang Ath-Thoifah Al-Manshuroh : “Mereka adalah para ‘ulama”.
Berkata Imam Ahmad : “Kalau mereka bukan Ahli Hadits saya tidak tahu siapa mereka”.
Al-Qodhi Iyadh mengomentari perkataan Imam Ahmad dengan berkata : “Yang diinginkan oleh (Imam Ahmad) adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan siapa yang meyakini madzhab Ahlul Hadits”. Lihat : Mauqif Ahlus Sunnah Wal Jama’ah 1/59-62.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Muqoddimah Al ‘Aqidah Al Washitiyah : “Amma
ba’du; Ini adalah i’tiqod (keyakinan) Al Firqoh An-Najiyah,
(Ath-Thoifah) Al-Manshuroh sampai bangkitnya hari kiamat, (mereka) Ahlus
Sunnah”.
Dan
di akhir Al ‘Aqidah Al Washitiyah ketika memberikan definisi tentang
Ahlus Sunnah, beliau berkata : “Dan mereka adalah Ath-Thoifah
Al-Manshuroh yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang
mereka : “Terus menerus sekelompok dari ummatku diatas kebenaran
manshuroh (tertolong) tidak membahayakan mereka orang yang menyelisihi
dan mencerca mereka sampai hari kiamat” mudah-mudahan Allah menjadikan
kita bagian dari mereka dan tidak memalingkan hati-hati kita setelah
mendapatkan petunjuk”.
Lihat : Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf hal. 97-110.
3. AHLUL HADITS
Ahlul Hadits dikenal juga dengan Ashhabul hadits atau Ashhabul Atsar. Ahlul hadits artinya orang yang mengikuti hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan istilah Ahlul hadits ini juga merupakan salah satu nama dan
kriteria Salafiyah atau Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atau Ath-Thoifah
Al-Manshurah.
Berkata Ibnul Jauzi : “Tidak
ada keraguan bahwa Ahlun Naql Wal Atsar (Ahlul Hadits) yang mengikuti
jejak-jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mereka di
atas jalan yang belum terjadi bid’ah“.
Berkata Al-Khathib Al-Baghdady dalam Ar-Rihlah Fii Tholabil Hadits hal.223 : “Dan
sungguh (Allah) Rabbul ‘alamin telah menjadikan Ath-Thoifah
Al-Manshurah sebagai penjaga agama dan telah dipalingkan dari mereka
makar orang-orang yang keras kepala karena mereka berpegang teguh dengan
syari’at (Islam) yang kokoh dan mereka mengikuti jejak para shahabat
dan tabi’in”.
Dan
telah sepakat perkataan para ‘ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bahwa yang
dimaksud dengan Ath-Thoifah Al-Manshurah adalah para ‘ulama Salaf Ahlul
Hadits. Hal ini ditafsirkan oleh banyak Imam seperti ‘Abdullah bin
Mubarak, ‘Ali bin Madiny, Ahmad bin Hambal, Bukhary, Al-Hakim dan
lain-lainnya,. Perkataan-perkataan para ‘ulama tersebut diuraikan dengan
panjang lebar oleh Syaikh Robi’ bin Hady Al-Madkhaly dan juga Syaikh
Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah hadits no.270.
Lihat
: Haqiqitul Bid’ah 1/269-272, Mauqif Ibnu Taymiyah 1/32-34, Ahlul
Hadits Wa Ath- Thoifah Al-Manshurah An-Najiyah, Limadza Ikhtartu
Al-Manhaj As-Salafy, Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf
dan Al-Intishor Li Ashhabil Hadits karya Muhammad ‘Umar Ba Zamul.
4. Al-Ghuraba`
Al-Ghuraba` artinya orang-orang yang asing. Asal penyifatan ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah riwayat Muslim No.145 :
“Islam mulai muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal munculnya maka beruntunglah orang-orang asing itu”. Dan hadits ini adalah hadits yang mutawatir.
Berkata Imam Al-Ajurry dalam Sifatil Ghuraba` Minal Mu’minin hal.25 : “Dan perkataan (Nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan akan kembali asing”
maknanya Wallahu A’lam sesungguhnya hawa nafsu yang menyesatkan akan
menjadi banyak sehingga banyak dari manusia tersesat karenanya dan akan
tetap ada Ahlul Haq yang berjalan diatas syari’at islam dalam keadaan
asing di mata manusia, tidakkah kalian mendengar perkataan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Akan terpecah ummatku menjadi 73
golongan semuanya masuk neraka kecuali satu, maka dikatakan siapa mereka
yang tertolong itu? maka kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apa-apa yang saya dan para shahabatku berada di atasnya pada hari ini””.
Berkata Imam Ibnu Rajab dalam Kasyful Kurbah fi washfi hali Ahlil Ghurbah hal 22-27 : “Adapun
fitnah syubhat (kerancuan-kerancuan) dan pengikut hawa nafsu yang
menyesatkan sehingga hal tersebut menyebabkan terpecahnya Ahlul Qiblah
(kaum muslimin) dan menjadilah mereka berkelompok-kelompok, sebagian
dari mereka mengkafirkan yang lainnya dan mereka menjadi saling
bermusuhan, bergolong-golongan dan berpartai-partai setelah mereka
dulunya sebagai saudara dan hati-hati mereka diatas hati satu orang
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) sehingga tidak akan selamat
dari kelompok-kelompok tersebut kecuali satu golongan yang selamat.
Mereka inilah yang disebut dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam : “Terus menerus ada diantara ummatku satu kelompok yang
menampakkan kebenaran, tidak mencelakakan mereka orang-orang yang
menghinakan dan membenci mereka sampai datang ketetapan Allah subhanahu
wa ta’ala (hari kiamat) dan mereka tetap dalam keadaan tersebut”. Mereka
inilah al-Ghuraba` di akhir zaman yang tersebut dalam hadits-hadits ini…”.
Demikianlah
penamaan-penamaan syari’at bagi pengikut Al-Qur`an dan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan pemahaman para
‘ulama salaf, yang apabila dipahami dengan baik akan menambah keyakinan
akan wajibnya mengikuti jalan para ‘ulama salaf dan kebenaran jalan
mereka serta keberuntungan orang-orang yang mengikuti jalan mereka.
Cukuplah
sebagai satu keistimewaan yang para salafiyun berbangga dengannya bahwa
penamaan-penamaan ini semuanya dari Islam dan menggambarkan Islam
hakiki yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
tentunya hal ini sangat membedakan salafiyun dari ahlu bid’ah yang
bernama atau dinamakan dengan penamaan-penamaan yang hanya sekedar
menampakkan bid’ah, pimpinan atau kelompok mereka seperti Tablighy
nisbah kepada Jama’ah Tabligh yang didirikan oleh Muhammad Ilyas,
Ikhwany nisbah kepada gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipelopori oleh
Hasan Al-Banna, Surury nisbah kepada kelompok atau pemikiran Muhammad
Surur Zainal ‘Abidin, Jahmy nisbah kepada Jahm bin Sofwan pembawa
bendera bid’ah keyakinan bahwa Al-Qur`an adalah makhluk. Mu’tazily
nisbah kepada kelompok pimpinan ‘Atho` bin Washil yang menyendiri dari
halaqah Hasan Al-Bashry. Asy’ary nisbah kepada pemikiran Abu Hasan
Al-Asy’ary yang kemudian beliau bertobat dari pemikiran sesatnya. Syi’iy
nisbah kepada kelompok Syi’ah yang mengaku mencintai keluarga Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan masih ada ratusan penamaan lain,
sangat meletihkan untuk menyebutkan dan menguraikan seluruh penamaan
tersebut, maka nampaklah dengan jelas bahwa penamaan Salafiyun-Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah-Ath-Thoifah Al-Manshurah-Al-Firqoh An-Najiyah-Ahlul
Hadits adalah sangat berbeda dengan penamaan-penamaan yang dipakai oleh
golongan-golongan yang menyimpang dari beberapa sisi :
Satu
: Penamaan-penamaan syari’at ini adalah nisbah kepada generasi awal
ummat Islam yang berada di atas tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka penamaan ini akan mencakup seluruh ummat pada setiap
zaman yang berjalan sesuai dengan jalan generasi awal tersebut baik
dalam mengambil ilmu atau dalam pemahaman atau dalam berdakwah dan
lain-lainnya.
Dua
: Kandungan dari penamaan-penamaan syari’at ini hanyalah menunjukkan
tuntunan Islam yang murni yaitu Al-Qur`an dan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada penambahan atau pengurangan
sedikit pun.
Tiga : Penamaan-penamaan ini mempunyai asal dalil dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Empat
: Penamaan-penamaan ini hanyalah muncul untuk membedakan antara
pengikut kebenaran dari jalan para pengekor hawa nafsu dan
golongan-golongan sesat, dan sebagai bantahan terhadap bid’ah dan
kesesatan mereka.
Lima
: Ikatan wala’ (loyalitas) dan baro’ (kebencian, permusuhan) bagi
orang-orang yang bernama dengan penamaan ini, hanyalah ikatan wala’ dan
baro’ di atas Islam (Al-Qur`an dan Sunnah) bukan ikatan wala’ dan baro’
karena seorang tokoh, pemimpin, kelompok, organisasi dan lain-lainnya.
Enam
: Tidak ada fanatisme bagi orang-orang yang memakai penamaan-penamaan
ini kecuali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena
pemimpin dan panutan mereka hanyalah satu yaitu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, berbeda dengan orang-orang yang menisbahkan dirinya
ke penamaan-penamaan bid’ah fanatismenya untuk golongan, kelompok /
pemimpin.
Tujuh
: Penamaan-penamaan ini sama sekali tidak akan menjerumuskan ke dalam
suatu bid’ah, maksiat maupun fanatisme kepada seseorang atau kelompok
dan lain-lainnya.
Lihat : Hukmul Intima` hal 31-37 dan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah 1/46-47.
Wallahu Ta’ala A’lam.
dinukil dari : www.salafy.or.id
Sumber artikel : kaahil.wordpress.com
0 komentar:
Post a Comment