Adalah suatu perkara
yang wajar, bila setiap orang merasa takut dan khawatir akan ditimpa
suatu kejelekan, musibah, dan perkara-perkara lain yang tidak
disukainya. Namun manusia tidaklah selalu akan terhindar dari
perkara-perkara yang tidak disukainya tersebut, di samping dia juga
pasti mendapatkan perkara-perkara yang dia inginkan. Itulah kehidupan.
Dengan penuh keadilan dan kebijaksanaan-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala telah takdirkan itu semua kepada semua makhluk-Nya.
For more info go to FDA website at: and here click set it up sample packetsuch differences are discussed inside the risk factors detailed within the viagra india generic.
? مَاأَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذلِكَ عَلى اللهِ يَسِيْرٌ ?
“Tiada suatu
bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah .”(Al
Hadiid: 22)
Pada saat muncul
perasaan khawatir dan takut (suatu kejelekan akan menimpa dirinya)
itulah, seorang manusia butuh untuk mendapatkan perlindungan, dengan
harapan agar dia terhindar darinya.
Allah subhanahu wa ta’ala, dengan rahmat dan kasih sayang-Nya telah memberikan petunjuk melalui lisan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam kepada umat manusia ini, bagaimana seyogyanya bagi seorang hamba dalam meminta perlindungan. Allah subhanahu wa ta’ala,
sebagai pencipta kebaikan dan kejelekan, dan pengatur alam semesta ini,
sudah sepantasnyalah, bagi seorang hamba untuk menjadikan Dia sebagai
satu-satunya tempat berlindung dari kejelekan apa-apa yang Dia ciptakan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
اللهُ الصَّمَدُ
“Allahlah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlas: 2)
Namun kenyataannya, kita lihat sebagian kaum muslimin masih ada yang menjadikan tempat berlindung mereka selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Ketika akan mengadakan hajatan atau pesta pernikahan misalnya, mereka
mendatangi kuburan yang diyakini sebagai kuburan wali, meminta
perlindungan kepadanya agar acara yang akan diadakannya berjalan dengan
selamat. Atau seseorang ketika melewati suatu lembah atau tempat-tempat
lain, kemudian dengan lisan dan hatinya, serta penuh dengan kekhusyukan
dan perendahan diri, dia mengucapkan kalimat permintaan perlindungan
kepada penunggu tempat tersebut dari kalangan jin dan yang lainnya dari
selain Allah subhanahu wa ta’ala dengan keyakinan agar tidak ada sesuatu pun yang menghalangi dia dalam perjalanannya.
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala.
Mengapa perbuatan-perbuatan tersebut tergolong sebagai perbuatan
terlarang? Dan apakah larangan meminta perlindungan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala
ini berlaku secara mutlak? Karena kita juga dapati ada seseorang yang
dimintai perlindungan ternyata dia mampu untuk memberikan
perlindungannya kepada orang yang memintanya tadi. Apakah yang seperti
ini dibolehkan?
ISTI’ADZAH MERUPAKAN IBADAH
Dalam istilah bahasa Arab, meminta perlindungan biasa disebut dengan Isti’adzah / الاِسْتِعَاذَةُ. Berkata Ibnu Katsir rahimahullah: “Isti’adzah adalah meminta perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
dan mendekatkan diri ke hadapan-Nya (agar terhindar) dari kejelekan
sesuatu.” (Fathul Majid, hal. 195, Asy Syaikh Abdurrahman Alu Asy
Syaikh).
Isti’adzah termasuk salah satu bentuk ibadah yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan kepada semua hamba-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Ibadah adalah sebuah nama yang mencakup semua perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang batin (tidak tampak)
maupun yang lahir (tampak).” (Majmu’ Fatawa, jilid 10, hal. 149).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ اْلفَلَقِ
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb Penguasa Shubuh.” (Al Falaq: 1)
Dan juga firman-Nya:
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan manusia.” (An Naas: 1)
Di dalam dua ayat yang agung ini, Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan kepada hamba-Nya, untuk beristi’adzah kepada Rabb semesta alam. Tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan sesuatu kepada hamba-hamba-Nya, melainkan pasti sesuatu tersebut dicintai dan diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Maka masuklah Isti’adzah ini ke dalam ruang lingkup ibadah sebagaimana
definisi yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah tersebut.
Asy Syaikh Shalih bin
‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh dalam Syarh Kitab Tsalatsatil Ushul halaman
51 berkata: “Sebagian besar Ahlul Ilmi telah mengatakan bahwa Isti’adzah
merupakan Ibadah Qalbiyyah.” Dalam kitabnya yang sama, beliau juga
berkata: “Suatu ibadah tidaklah pantas ditujukan kecuali hanya kepada
Allah subhanahu wa ta’ala, maka barangsiapa yang memalingkan sedikit saja dari suatu ibadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, berarti dia telah menujukan (mempersembahkan) suatu peribadatan kepada selain-Nya.”
Inilah hakekat kesyirikan yang Allah subhanahu wa ta’ala larang sebagaimana firman-Nya:
وَأَنَّ اْلمَسَاجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا
“Bahwa masjid-masjid
adalah milik Allah. Maka janganlah kamu beribadah kepada sesuatupun
(dari selain Allah) di samping (beribadah kepada) Allah.” (Al Jin: 18)
Di dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala melarang suatu peribadatan yang ditujukan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, walaupun di samping itu dia juga beribadah kepada-Nya.
HUKUM BERISTI’ADZAH KEPADA SELAIN ALLAH
Asy Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab rahimahullah membuat bab dalam Kitabut Tauhid “Bab
Termasuk Perbuatan Syirik Adalah Beristi’adzah Kepada Selain Allah.”
Namun, dari sini tidaklah dipahami bahwa setiap Isti’adzah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala
merupakan perbuatan syirik secara mutlak. Karena jika seseorang
beristi’adzah (meminta perlindungan) kepada orang lain yang dia mampu
untuk memberikan perlindungan kepadanya, maka ini dibolehkan. Demikian
penjelasan Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam Al Qaulul
Mufid, jilid 1 hal. 250.
Para pembaca sekalian yang semoga dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala, bagaimanakah sebenarnya batasan-batasan Isti’adzah itu? Kapan Isti’adzah hanya boleh ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala saja? Dan kapan pula Isti’adzah kepada makhluk dibolehkan?
ISTI’ADZAH KEPADA ALLAH
Terkandung dalam Isti’adzah ini bahwa seorang hamba benar-benar butuh kepada Allah subhanahu wa ta’ala,
bergantung kepada-Nya, berkeyakinan bahwa hanya Dialah yang mencukupi
segala kebutuhan hamba-Nya. Dialah Yang Maha Sempurna sebagai tempat
berlindung dari segala sesuatu yang sedang atau akan terjadi, kecil atau
besar, baik itu berasal dari manusia atau selainnya. (Syarh Tsalatsatil
Ushul, hal. 63, karya Asy Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَ إِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan jika Syaithan
mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada
Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Fushshilat: 36).
Di dalam ayat yang mulia ini, terkandung perintah agar beristi’adzah kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika datang gangguan dari syaithan, mengapa?
Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di bahwa
sesungguhnya Dialah yang mendengar permohonanmu, Dia mengetahui
keadaanmu dan kebutuhanmu yang sangat mendesak untuk mendapatkan
perlindungan dan penjagaan-Nya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 750)
Dan firman-Nya:
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ اْلفَلَقِ
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan Penguasa Subuh.” (Al Falaq: 1)
Dan juga firman-Nya:
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan manusia.” (An Naas: 1)
Para pembaca sekalian,
para ulama ahli tafsir telah memberikan faedah kepada kita tentang
kandungan surat ini, di antaranya Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As
Sa’di bahwa sudah seyogyanya kita meminta perlindungan kepada Dzat Yang
Mengatur dan Memiliki alam semesta ini. Sebagai konsekuansi dari
Rububiyyah-Nya, maka hanya kepada-Nyalah semua peribadatan hamba
ditujukan. Beliau berkata: “ …. Maka tidaklah sempurna suatu peribadatan
seseorang kecuali dengan menyingkirkan musuh-musuh mereka yang hendak
memutuskan dan menghalangi manusia dari beribadah kepada-Nya dan
menjadikan manusia masuk ke dalam golongannya sehingga akan menjeratnya
ke dalam As Sa’ir (An Naar, pen).” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 938).
Maka apakah pantas
jika seorang hamba beribadah dan meminta perlindungan kepada selain Dzat
yang mencipta, mengatur, dan memelihara alam semesta ini???
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْأنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Maka jika kamu hendak
membaca Al Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari
gangguan Syaithan yang terkutuk.” (An Nahl: 98).
Berkata Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya: “Ini merupakan perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-Nya melalui lisan Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam jika mereka hendak membaca Al Qur’an, maka hendaknya berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari syaithan yang terkutuk.” (Tafsir Al Qur’an Al Adhim, 2 / 607).
ISTI’ADZAH DENGAN SIFAT-SIFAT ALLAH
Termasuk perkara yang disyariatkan pula beristi’adzah dengan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, baik berupa sifat Kalam-Nya Keagungan dan Kemulian-Nya ataupun sifat-sifat-Nya yang lain.
Dari Khaulah binti Hakim radhiyallahu ‘anha dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً فَقَالَ أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ لَمْ يَضُرَّهً شَيْئٌ حَتَّى يَرْحَلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذلِكَ
“Barangsiapa yang
singgah di suatu tempat, kemudian berdo’a “Aku berlindung dengan Kalimat
Allah Yang Sempurna dari kejelekan apa-apa yang Dia ciptakan”, maka
tidak ada sesuatupun yang memudharatkan dia sampai dia beranjak dari
tempatnya tersebut.” (H.R. Muslim).
Hadits ini menunjukkan
disyariatkannya berlindung dengan Kalimat Allah yang merupakan salah
satu sifat dari sifat-sifat-Nya yang sempurna yang tidak ada kekurangan
dan aib padanya.
Al Imam An Nawawi
rahimahullah berkata: “Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
Kalimat di sini adalah Al Qur’an.” (Syarh Shahih Muslim, 17 / 26).
Oleh karena itu para
ulama berdalil dengan hadits ini bahwa Kalamullah adalah termasuk
sifat-sifat-Nya dan bukan makhluk. Karena Isti’adzah kepada makhluk
dalam keadaan seperti ini tidak diperbolehkan. Kalau seandainya Kalimat
adalah makhluk, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidaklah akan menuntunkan kepada kita untuk beristi’adzah dengannya. (Al Qaulul Mufid, 1 / 255).
Maka jadilah hadits
ini sebagai bantahan terhadap kelompok Mu’tazilah dan yang lainnya yang
menyatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk. Wallahu A’lam.
KAPAN KITA DIBOLEHKAN BERISTI’ADZAH KEPADA MAKHLUK?
Asy Syaikh Abdurrahman
Alu Asy Syaikh dalam Fathul Majid hal. 198 membawakan perkataan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau berkata: “Para ulama seperti Al
Imam Ahmad dan yang lainnya telah menyatakan bahwa tidak boleh
beristi’adzah kepada makhluk.” Demikian juga yang dinukilkan oleh Asy
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, yang kemudian beliau mengomentari perkataan ini
bahwa larangan tersebut tidaklah mutlak, karena larangan beristi’adzah
kepada makhluk berlaku untuk perkara-perkara yang hanya Allah subhanahu wa ta’ala saja yang mampu melakukannya.
Adapun jika
beristi’adzah kepada makhluk yang dia tidak mampu atasnya, maka ini
termasuk perbuatan syirik sebagaimana contohnya telah kami sebutkan
dalam awal risalah ini.
Dan termasuk dalam
larangan ini juga beristi’adzah kepada penghuni kubur (orang yang telah
meninggal), karena mereka tidaklah mampu untuk memberikan manfa’at
ataupun menimpakan mudharat. Maka Isti’adzah kepada merseka termasuk
perbuatan syirik akbar (besar), sama saja apakah dalam beristi’adzah
tersebut di kuburannya atau jauh darinya. (Al Qaulul Mufid, 1 /
255-256).
Adapun Isti’adzah
kepada makhluk yang dia mampu atasnya, maka ini dibolehkan, namun dengan
syarat dia hadir di hadapannya dan dalam beristi’adzah tidak ada unsur
perendahan diri dan pengagungan, serta puncak kecintaan kepada makhluk
yang dia beristi’adzah kepadanya tersebut, serta tidak ada pula
ketergantungan hati kepadanya bahwa hanya dialah yang mampu memberikan
perlindungannya.
Berkata Asy Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin: “Tidak diragukan lagi bahwa ketergantungan hati kepada
makhluk termasuk perbuatan syirik, maka jika kamu menggantungkan hatimu,
harapanmu, takutmu, dan semua permasalahanmu kepada seseorang, dan kamu
jadikan dia sebagai tempat berlindung, maka ini termasuk syirik karena
semua ini tidaklah boleh ditujukan kepada selain Allah ?.” (Al Qaulul
Mufid, 1 / 256).
Dalam kitabnya yang
lain Syarh Tsalatsatil Ushul hal. 64-65, beliau menerangkan bahwa
memohon perlindungan kepada makhluk yang memungkinkan untuk dijadikan
tempat berlindung, baik berupa manusia, tempat, atau yang lainnya, maka
ini dibolehkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika menyebutkan beberapa fitnah:
? مَنْ تَشَرَّفَ لَهَا تَسْتَشْرِفْهُ وَ مَنْ وَجَدَ فِيْهَا مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَعُذْ بِهِ ?
“Barangsiapa yang
menengok atau mencarinya, ia akan tenggelam (terjerat) ke dalamnya, dan
barangsiapa yang mendapat tempat berlindung, maka hendaklah dia
berlindung kepadanya.” (H.R. Al Bukhari dan Muslim).
Demikian juga dalam
Shahih Muslim dari riwayat Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang
wanita dari Bani Makhzum, yang melakukan pencurian, kemudian dihadapkan
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan diapun meminta perlindungan kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. (Lihat hadits no. 1689).
Jika ada seseorang
yang meminta perlindungan dari kejahatan orang yang dhalim, maka wajib
untuk menjaga dan melindunginya sebatas kemampuan yang dimiliki. Akan
tetapi jika dia meminta perlindungan dalam rangka kemungkaran ataupun
lari dari kewajibannya maka haram hukumnya untuk memberikan perlindungan
kepadanya.
BOLEHKAH BERISTI’ADZAH KEPADA JIN?
Dalam kitabnya
Taisirul ‘Azizil Hamid halaman 168 Asy Syaikh Sulaiman Alu Asy Syaikh
membawakan perkataan Mulla Ali Al Qari Al Hanafi, bahwasanya tidak boleh
beristi’adzah kepada jin. Allah subhanahu wa ta’ala telah mencela orang-orang kafir karena perbuatan ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَ أَنَّه كَانَ رِجَالٌ مِنَ اْلإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَا دُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada
segolongan laki-laki dari manusia meminta perlindungan kepada segolongan
laki-laki dari kalangan jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka
ketakutan yang amat sangat.” (Al Jin: 6).
Dahulu orang-orang
Arab Jahiliyyah ketika melewati suatu tempat tertentu berlindung kepada
penguasa tempat tersebut dari kalangan jin, agar tidak menimpakan
kejelekannya kepada mereka. Demikian sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir
dalam tafsirnya.
Berkata Asy Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin: “Ayat tersebut menunjukkan bahwasanya Isti’adzah kepada
jin haram hukumnya, karena tidak memberikan manfaat kepada orang yang
memintanya, bahkan justru menambah kepada mereka rasa takut yang luar
biasa.” (Al Qaulul Mufid, 1 / 251)
Para pembaca yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala, demikian beberapa perkataan ulama yang mampu kami nukilkan dalam risalah singkat ini. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala
senantiasa menjaga dan melindungi kita dari perkara-perkara yang tidak
diridhai-Nya serta memberikan petunjuk-Nya kepada kita untuk senantiasa
berpegang teguh kepada jalan yang mengantarkan kepada keselamatan dunia
dan akhirat. Amin.
اللَّهُمَّ إِ نِّي أَعُوذُبِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ شَيْئًًًا وَأَنَا أَعْلَمُ وَ أَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ
“Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik kepada-Mu
dan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampunan-Mu dari apa-apa yang aku
tidak ketahui.”
Wallahu A’lam bish Shawab.
Sumber: www.mahadassalafy.net
Sumber artikel : ahlussunnahkendari.com
0 komentar:
Post a Comment