Oleh: Syaikh Su’aiyyid bin Hulaiyyil Al-Umar
Segala puji bagi Allah yang telah mengutus rasul-Nya dengan membawa
petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya diatas segenap
agama, dan cukuplah Allah sebagai saksi.
Semoga shalawat serta salam atas Nabi kita Muhammad, pengemban ajaran
yang bersih dan murni, demikian juga atas keluarga, para sahabat dan
pengikutnya, serta siapa saja yang meneladani dan berpedoman pada ajaran
beliau sampai hari kiamat nanti. Amma ba’du.
Di dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan kita agar menetapi jalan petunjuk yang lurus dengan firman-Nya.
“Artinya : Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalaj jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari
jalannya, yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”
[Al-An’am : 153]
Allah melarang kita menyelisihi ajaran Nabi-Nya dengan firmanNya.
“Artinya : Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut
akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [An-Nur : 63]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kita melalui sabdanya.
“Artinya : Sungguh, siapa saja diantara kalian yang hidup setelahku,
pasti akan menjumpai perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian
untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa ar-Rasyidin
yang telah diberi petunjuk sepeninggalku” [HR Tirmidzi dan Abu Dawud,
shahih]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan di dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalur Aisyah
bahwa siapa saja yang mencari-cari perkataan (dalil) yang samar, pasti
dia akan tergelincir, yaitu ketika beliau bersabda.
“Artinya : Jika kalian, melihat orang-orang yang mencari-cari
dalil-dalil yang samar, maka merekalah orang-orang telah disebut oleh
Allah, sehingga hendaklah kalian berhati-hati dari mereka”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan dengan
keras dari ulama yang mengajak kepada kesesatan dalam sabdanya.
“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu (agama) dari
manusia sekaligus, akan tetapi Allah mencabut ilmu (agama) dengan cara
mewafatkan para ulama, sampai tidak tersisa seorang ulama-pun, sehingga
manusia akan mengangkat para pemimpin yang bodoh (dalam ilmu agama).
Ketika para pemimpin yang bodoh tersebut ditanya, maka mereka akan
berfatwa tanpa dasar ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan”.
Pada lafadz Bukhari :
“ Maka mereka berfatwa sesuai dengan akal pikiran mereka”
Betapa banyak orang-orang seperti ini di zaman kita, suatu zaman yang
segala urusan di dalamnya bercampur aduk serta samar-samar bagi orang
yang ilmunya sedikit, sehingga mereka mengikuti hawa nafsu mayoritas
manusia, baik dalam kebenaran maupun kebatilan, kemudian takut
mengungkapkan kebenaran, karena menyelisihi pendapat masyarakat umum dan
mereka lebih memilih mayoritas manusia, terlebih lagi di zaman yang
kacau dan serba global ini, komunikasi begitu mudah dan cepat, maka
muncullah slogan-slogan heboh : demokrasi, liberal, hak-hak wanita, hak
azasi manusia (HAM), persamaan gender dan yang semisalnya.
Ini semua diterima oleh orang-orang yang hatinya menyimpang atau yang
telah dididik oleh barat, kemudian di tulis di koran-koran dan
disebarkan melalui media masa, gaungnya begitu kuat, sehingga disangka
oleh masyarakat, bahwa itu semua merupakan suatu kebenaran, padahal ini
merupakan kebatilan yang paling buruk.
Di antara slogan bodoh muncul adalah demonstrasi, pencetusnya adalah
orang-orang kafir, mereka roang-orang yang tidak menghiraukan dalil dan
tidak menggunakan akal. Kemudian penyakit ini berpindah ke negeri-negeri
kaum muslimin melalui didikan barat.
Kita mengetahui bahwa api fitnah, bid’ah dan slogan menyialaukan
muncul di saat jumlah para ulama sedikit, dan akan padam kobarannya
ketika para ulama masih banyak.
Sungguh Allah telah menjaga negeri Al-Haramain (Mekkah dan Madinah)
dari berbagai fitnah dan kejahatan yang besar serta bid’ah, berkat
anugrah Allah, kemudian karena adanya kumpulan para ulama rabbaniyyin
yang tidak takut celaan manusia ketika membela agama Allah, setiap kali
tanduk bid’ah muncul, maka mereka segera menumpasnya, begitupula setiap
kali leher ahlul bid’ah terangkat, maka mereka segera menundukkannya
dengan ilmu syari’at, penjelasan ilahi, sunnah Nabi dan atsar para
Salaf.
Sama sekali, saya tidak menyangka akan muncul generasi Al-Haramain
yang mengajak kepada slogan jahiliyyah ini, sampai akhirnya benar-benar
muncul. Dan kita yakin, bahwa mereka terpengaruh oleh orang-orang luar,
atau mereka berfatwa tanpa dasar ilmu. Maka ada yang bertanya : Apa
hukum demonstrasi-demonstrasi ini ?
Jawab.
Demonstrasi adalah bid’ah ditinjau dari berbagai sudut pandang.
Pertama.
Demonstrasi ini digunakan untuk menolong agama Allah, dan meninggikan derajat kaum muslimin, lebih-lebih di negeri-negeri Islam.
Dengan demikian, menurut pelakunya, demonstrasi merupakan ibadah,
bagian dari jihad. Sedangkan kita telah memahami, bahwa hukum asal
ibadah adalah terlarang, kecuali jika ada dalil yang memerintahkannya.
Dari sudut pandang ini, demonstrasi merupakan bid’ah dan perkara yang
diada-adakan di dalam agama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“Artinya : Siapa saja yang membuat ajaran baru dalam agama ini dan
bukan termasuk bagian darinya maka akan tertolak” [HR Muttafaqun Alaih]
Diriwayatkan oleh Muslim dan Bukhari secara mu’allaq.
“Artinya : Siapa saja yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak”.
Kedua.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkena fitnah dan ujian para sahabat
sepeninggal beliau juga demikian, seperti peperangan dengan orang-orang
murtad, tidak ketinggalan pula umat beliau selama berabad-abad juga
diuji. Akan tetapi mereka semua tidak demonstrasi. Jika demonstrasi itu
baik, tentunya mereka akan mendahului kita untuk melakukannya.
Ketiga
Sebagian orang menisbatkan demonstrasi kepada Umar bin Al-Khaththab
Radhiyallahu ‘anhu, dan ini sama sekali tidak benar, karena keshahihan
riwayatnya tidak diakui oleh para ulama. Maka penisbatan demonstrasi
kepada Umar merupakan kedustaan atas nama beliau sang pembeda (Al-Faruq)
Radhiyallahu ‘anhu yang masuk Islam terang-terangan dan berhijrah di
siang bolong.
Keempat
Di dalam demonstrasi ada tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang
kafir, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka” [HR Abu Dawud dengan sanad yang hasan]
Hal ini dikarenakan demonstrasi tidak dikenal dalam sejarah kaum
muslimin kecuali setelah mereka bercampur baur dengan orang-orang kafir.
Kelima
Demonstrasi secara umum tidak akan bisa digunakan untuk membela
kebenaran dan tidak akan bisa digunakan untuk mengugurkan kebatilan.
Terbukti, seluruh dunia demonstrasi untuk menghentikan kebengisan Yahudi
di Palestina, apakah kebiadaban Yahudi berhenti? Atau apakah kejahatan
mereka semakim menjadi-jadi karena melihat permohonan tolong orang-orang
lemah ?!!
Jika ada orang yang mengatakan : Demonstrasi merupakan perwujudan
amar ma’ruf dan nahi mungkar. Maka kita katakan : Kemungkaran tidak
boleh diingkari dengan kemungkaran yang semisalnya. Karena kemungkaran
tidak akan diingkari kecuali oleh orang yang bisa membedakan antara
kebenaran dan kebatilan, sehingga dia akan mengingkari kemungkaran
tersebut atas dasar ilmu dan pengetahuan. Tidak mungkin kemungkaran bisa
diingkari dengan cara seperti ini.
Keenam.
Termasuk misi rahasia sekaligus segi negative demonstrasi adalah, bahwa
demonstrasi merupakan alat dan penyebab habisnya semangat rakyat, karena
ketika mereka keluar, berteriak-teriak dan berkeliling di jalanan, maka
mereka kembali ke rumah-rumah mereka dengan semangat yang telah sirna
serta kecapaian yang luar biasa.
Padahal, yang wajib bagi mereka adalah menggunakan semangat tersebut
untuk taat kepada Allah, mempelajari ilmu yang bermanfaat, berdo’a dan
mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh, sebagai bentuk pengamalan
firman Allah.
“Artinya : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja
yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang
(yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu
dan orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya ; sedang Allah
mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya
akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya
(dirugikan)” [Al-Anfaal : 60]
Ketujuh
Di dalam demonstrasi tersimpan kemungkaran yang begitu banyak, seperti
keluarnya wanita (ikut serta demonstrasi, padahal seharusnya dilindungi
di dalam rumah, bukan dijadikan umpan,-pent), demikian juga anak-anak
kecil, serta adanya ikhtilath, bersentuhannya kulit dengan kulit,
berdua-duan antara laki-laki dan perempuan, ditambah lagi hiasan berupa
celaan, umpatan keji, omongan yang tidak beradab ? Ini semua menunjukkan
keharaman demonstrasi.
Kedelapan
Islam memberikan prinsip, bahwa segala sesuatu yang kerusakannya lebih banyak dari kebaikannya, maka dihukumi haram.
Mungkin saja demonstrasi berdampak pada turunnya harga barang-barang
dagangan, akan tetapi kerusakannya lebih banyak dari kemaslahatannya,
lebih-lebih jika berkedok agama dan membela tempat-tempat suci.
Kesembilan
Demonstrasi, terkandung di dalamnya kemurkaan Allah dan juga merupakan
protes terhadap takdir, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
“Artinya : Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan menguji
mereka. Jika mereka ridho, maka mereka akan diridhoi oleh Allah. Jika
mereka marah, maka Allah juga marah kepada mereka”.
Sebelum perang Badr Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristighatsah (memohon pertolongan di waktu genting,-pent) kepada Allah.
“Artinya : (Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada
Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu :Sesungguhnya Aku akan
mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang
berturut-turut” [Al-Anfaal : 9]
Beliau juga merendahkan diri kepadaNya sampai selendang beliau
terjatuh, Beliau memerintahkan para sahabat untuk bersabar menghadapi
siksaan kaum musyrikin. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya sama sekali tidak pernah mengajak demonstrasi padahal
keamanan mereka digoncang, mereka disiksa dan didzalimi. Maka,
demonstrasi bertentangan dengan ajaran kesabaran yang diperintahkan oleh
Allah ketika menghadapi kedzaliman para penguasa, dan ketika terjadi
tragedi dan musibah.
Kesepuluh
Demonstrasi merupakan kunci yang akan menyeret pelakunya untuk
memberontak terhadap para penguasa, padahal kita dilarang melakukan
pemberontakan dengan cara tidak membangkang kepada mereka.
Betapa banyak demonstrasi yang mengantarkan suatu negara dalam
kehancuran, sehingga timbullah pertumpahan darah, perampasan kehormatan
dan harta benda serta tersebarlah kerusakan yang begitu luas.
Kesebelas.
Demonstasi menjadikan orang-orang dungu, wanita dan orang-orang yang
tidak berkompeten bisa berpendapat, sehingga mungkin tuntutan mereka
dipenuhi meskipun merugikan mayoritas masyarakat, sehingga dalam perkara
yang besar dan berdampak luas orang-orang yang bukan ahlinya ikut
berbicara.
Bahkan orang-orang dungu, jahat dan kaum wanita merekalah yang banyak
mengobarkan demonstrasi, dan mereka yang mengontak dan memprovokasi
massa (!)
Kedua belas.
Para pengobar demonstrasi senang terhadap siapa saja yang berdemo dengan
mereka, walaupun dia seorang pencela sahabat Nabi, tukang ngalap berkah
dari kuburan-kuburan bahkan sampaipun orang-orang musyrik, sehingga
akan anda dapati seorang yang berdemo dengan mengangkat Al-Qur’an,
disampingnya mengangkat salib (Nasrani), yang lain membawa bintang Dawud
(Yahudi), dengan demikian maka demonstrasi merupakan lahan bagi setiap
orang yang menyimpang, kafir dan ahli bid’ah.
Ketiga belas
Hakikat para demonstran adalah orang-orang yang hidup di dunia
menebarkan kerusakan, mereka membunuh, merampas, membakar, mendzalimi
jiwa dan harta benda. Sampai-sampai ada seorang pencuri menyatakan :
Sesungguhnya kami gembira jika banyak demonstrasi, karena hasil curian
dan rampasan menjadi banyak bersamaan dengan berjalannya para demonstran
(!).
Kempat belas
Para pendemo hakekatnya, mengantarkan jiwa mereka menuju pembunuhan dan siksaan, berdasarkan firmanNya.
“Artinya : Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” [An-Nisaa : 29]
Karena pasti akan terjadi bentrokan antara para demosntran dan
petugas keamanan, sehingga mereka akan disakiti dan dihina, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
“Artinya : Seorang mukmin tidak boleh menghinakan dirinya. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya : Bagaimana seorang mukmin
menghinakan dirinya ? Beliau menjelaskan : (yakni) dia menanggung
bencana diluar batas kemampuannya” [HR Turmudzi, hasan]
Sebagai penutup, saya memohon kepada Allah agar menampakkan kepada
kita, yang benar itu benar, dan memudahkan kita untuk mengikutinya.
Demikian juga, semoga Allah melindungi kita dari fitnah yang nampak
maupun yang tersembunyi, serta mengampuni dosa-dosa kita, kedua orang
tua dan para ulama kita. Tidak lupa pula semoga Allah memberikan
taufiqNya kepada para penguasa muslim agar mereka memberikan yang
terbaik bagi negeri dan rakyat mereka, dan lebih dari itu semoga Allah
menolong para penguasa muslim tersebut untuk berhukum dengan Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi-Nya. Amin. Semoga Allah memberikan shalawat dan salamNya
kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarganya.
[Majalah Al-Asholah edisi-38 halaman 76-80. Diterjemahkan Imam Wahyudi Lc]
[Disalin dari majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyyah Vol 5 No. 5 Edisi
29-Rabiuts Tsani 1428H, Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad As-Salafy
Surabaya. Jl.Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya oleh abunamira dipublikasikan kembali di Blog Abu Abdurrohman]
Artikel diambil dari : https://abuabdurrohmanmanado.wordpress.com/tag/demo-dalam-islam/
Thursday, November 13, 2014
Bersabar Terhadap Kebijakan Para Pemimpin dan Kewajiban Rakyat
Pemerintah dan Rakyat
Pokok landasan mengenai hal ini adalah ilmu. Keadilan dan kezaliman hanya bisa diketahui dengan ilmu. Jadi, agama itu seluruhnya adalah ilmu dan keadilan, yang lawannya adalah kezaliman dan ketidaktahuan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,“Dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)
Karena manusia banyak berlaku zalim dan emosional –yang terkadang dilakukan oleh para pemimpin, terkadang juga oleh bawahan/rakyat, dan pada tempo yang lain terjadi pada selainnya- maka ilmu dan keadilan yang diperintahkan ialah bersabar terhadap kezaliman dan kediktatoran para pemimpin, sebagaimana salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya dalam hadis-hadis yang masyhur, tatkala beliau bersabda,
“Sepeninggalku nanti, kalian akan menjumpai para pemimpin yang mementingkan diri sendiri; maka bersabarlah, hingga kalian bertemu denganku di telaga (dalam surga).”
Beliau bersabda,
“Barangsiapa melihat sesuatu dari pemimpinnya yang tidak disukainya, maka hendaklah ia bersabar terhadapnya.”
Dan hadis-hadis serupa lainnya. Beliau juga bersabda,
“Tunaikanlah kepada mereka apa yang menjadi hak mereka, dan memohonlah kepada Allah apa yang menjadi hakmu.”
Mereka dilarang memerangi para pemimpin selama pemimpin-pemimpin tersebut mengerjakan shalat. Sebab, mereka memiliki pokok agama yang dimaksud, yaitu metauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya, dan mereka memiliki kebajikan-kebajikan dan meninggalkan keburukan cukup banyak.
Adapun kezaliman dan perbuatan dosa yang mereka lakukan karena ta’wil (interpretasi/penafsiran) yang diperkenankan, atau tidak diperkenankan, maka tidak boleh dihilangkan, dirubah dan dilawan, karena perubahan atau penolakan tersebut mengakibatkan kezaliman dan kedurhakaan lain –sebagaimana kebiasaan manusia menghilangkan keburukan dengan suatu yang lebih buruk darinya dan menghilangkan kezaliman dengan suatu yang lebih zalim darinya-. Sebab, keluar untuk memerangi (berontak) kepada penguasa akan menyebabkan kezaliman dan keburukan yang lebih besar daripada kezaliman mereka. Karena itu, harus bersabar terhadapnya sebagaimana bersabar, ketika memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran, terhadap kezaliman “Obyek dakwah:” (pihak yang diperintahkan dan dilarang). Allah berfirman,
“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.” (QS. Luqman: 17)
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang telah bersabar.” (QS. Al-Ahqaf: 35)
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami.” (QS. Ath-Thur: 48)
Ini berlaku umum untuk para pemimpin dan rakyat. Jika mereka menyuruh kebajikan dan mencegah kemungkaran, maka harus bersabar atas apa yang mereka alami di jalan Allah, seperti halnya mujahidin bersabar atas segala yang dikorbankan berupa jiwa dan harta mereka, maka bersabar terhadap celaan yang menimpa diri (kehormatan) adalah lebih utama. Sebab, karena kemaslahatan beramar ma’ruf nahi munkar tidak akan sempurna melainakn dengan kesabaran, dan suatu kewajiban tidak sempurna melainkan dengan melakukan amalan tertentu, maka amaln tersebut pun menjadi wajib.
Dan masuk dalam kategorinya adalah para waliyul amri. Sebab mereka wajib memiliki kesabaran yang tidak berlaku bagi selainnya, sebagaimana halnya mereka wajib memiliki keberanian dan kedermawanan yang tidak berlaku atas selainnya; karena kemaslahatan pemerintahan tidak sempurna melainkan dengannya. Seperti halnya wajib bagi para pemimpin untuk bersabar atas keburukan rakyat dan kezaliman mereka, jika kemaslahatan tidak sempurna melainkan dengannya, sebab apabila ditinggalkan akan menyebabkan kerusakan yang lebih banyak darinya, maka –demikian pula- wajib atas rakyat untuk bersabar terhadap kesalahan dan kezaliman para pemimpin, jika meninggalkan kesabaran tersebut tidak mengandung kerusakan yang dominan.
Karena itu, wajib atas masing-masing pemimpin dan rakyat untuk memperhatikan hak satu sama lain, sebagiannya telah disebutkan dalam Kitab al-Jihad wal Qadha (Masalah Jihad dan Peradilan). Satu sama lain juga harus bersabar dan santun dalam berbagai urusan. Karena itu, sifat toleran dan penyabar adalah suatu keharusan dalam diri masing-masing keduanya, sebagaimana firman-Nya,
“Dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (QS. Al-Balad: 17)
Dalam hadis disebutkan,
“Seutama-utama iman ialah sifat pemurah dan bersabar.”
Dan di antara nama-nama Allah adalah: al-Ghafur ar-Rahim. Dengan sifat penyantun itulah seorang pemimpin memaafkan kesalahan-kesalahan rakyatnya, dan dengan sifat pemurah dia memberikan berbagai kemanfaatan kepada mereka. Sehingga terhimpunlah dua hal: Mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudharatan.
Adapun menahan diri dari menzalimi para pemimpin dan berlaku adil terhadap mereka, sedangkan kewajiban itu lebih jelas daripada penuntutan hak- maka tidak memerlukan penjelasan. Wallahu a’lam.
Sumber: Kumpulan Fatwa Ibnu Taimiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Haq
Sumber artikel : www.Yufidia.com
Pengaruh Penguasa Terhadap Rakyatnya

Ibnu Jarir mengutip perkataan Ali bin Muhammad al Madaini yang
mengatakan, “al Walid bin Abdul Malik menurut pandangan penduduk Syam
adalah penguasa mereka yang terbaik. Beliaulah yang membangun berbagai
masjid di kota Damaskus, membangun berbagai menara, memberi rakyat yang
perlu bantuan financial dan menggaji bulanan para penyandang lepra dan
berkata kepada mereka, para penyandang lepra, “Janganlah kalian
mengemis”. Beliau memberikan kepada setiap orang yang lumpuh pelayan dan
kepada setiap orang yang buta penuntun. Ketika beliau berkuasa beliau
menaklukkan banyak negeri-negeri kafir. Beliau kirimkan semua anak
laki-lakinya dalam setiap peperangan dengan Romawi. Beliau berhasil
menaklukkan India, Spanyol dan berbagai negeri non arab. Pasukan beliau
bahkan sudah memasuki Cina dan selainnya.
قال: وكان مع هذا يمر بالبقال فيأخذ حزمة البقل بيده ويقول: بكم تبيع هذه ؟
فيقول: بفلس، فيقول: زد فيها فإنك تربح. وذكروا أنه كان يبر حملة القرآن
ويكرمهم ويقضي عنهم ديونهم،
Meski demikian, suatu ketika beliau melewati penjual sayur mayor lantas
beliau mengambil satu ikat sayuran dengan tangannya lalu bertanya kepada
penjual, “Berapa harganya?”. “Satu fulus”, jawab sang penjual sayur.
Beliau kemudian mengatakan, “Tambahi sayurannya karena engkau terlalu
untung dengan harga tersebut”.
قالوا: وكانت همة الوليد في البناء، وكان الناس كذلك يلقى الرجل الرجل فيقول: ماذا بنيت ؟ ماذا عمرت ؟
Para pakar sejarah mengatakan bahwa obsesi al Walid bin Abdul Malik
adalah membangun. Rakyatnya pun demikian. Jika ada seseorang bertemu
kawannya maka pertanyaan yang terlontar, “Apa yang telah kaubangun saat
ini? Kau makmurkan dengan bangunan apa tanah yang kau miliki?”.
وكانت همة أخيه سليمان في النساء، وكان الناس كذلك، يلقى الرجل الرجل فيقول: كم تزوجت ؟ ماذا عندك من السراري ؟
Sedangkan obsesi saudaranya, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik adalah
perempuan sehingga rakyatnya pun demikian. Jika ada seseorang bertemu
dengan kawannya maka yang pertama kali ditanyakan, “Berapa kali engkau
menikah? Berapa budak perempuan yang kau gauli?”.
وكانت همة عمر بن عبد العزيز في قراءة القرآن، وفي الصلاة
والعبادة، وكان الناس كذلك، يلقى الرجل الرجل فيقول: كم وردك ؟ كم تقرأ كل
يوم ؟ ماذا صليت البارحة ؟ والناس يقولون: الناس على دين مليكهم، إن كان
خمارا كثر الخمر.
Sedangkan obsesi Umar bin Abdul Aziz adalah membaca al Qur’an, shalat
dan ibadah. Kondisi rakyat di masa beliau seperti itu. Jika ada seorang
bersua dengan kawannya maka pertanyaan yang pertama kali terlontar
adalah “Berapa rakaat shalat malam yang kau rutinkan? Berapa lembar
mushaf al Qur’an yang kau baca setiap harinya? Shalat apa yang kau
kerjakan semalam?”.
Banyak orang mengatakan, “Rakyat itu mengikuti agama atau ketaatan
penguasanya. Jika sang penguasa hobi menenggak khamr maka akan banyak
khamr yang beredar di masyarakat”.
وإن كان لوطيا فكذلك وإن كان شحيحا حريصا كان الناس كذلك،
وإن كان جوادا كريما شجاعا كان الناس كذلك، وإن كان طماعا ظلوما غشوما
فكذلك، وإن كان ذا دين وتقوى وبر وإحسان كان الناس كذلك وهذا يوجد في بعض
الازمان وبعض الاشخاص، والله أعلم.
Jika penguasa memiliki penyimpangan seksual berupa homoseksual maka
kondisi rakyat juga demikian. Jika penguasa itu pelit dan rakus dengan
harta maka kondisi rakyat juga demikian. Namun jika penguasa dermawan
dan berjiwa sosial tinggi maka kondisi rakyat juga serupa. Jika
penguasanya rakus dan suka bertindak kezaliman maka kondisi rakyat juga
demikian. Jika penguasa adalah seorang yang bagus agamanya, bertakwa,
suka berbuat baik dan menolong maka kondisi rakyat juga demikian.
Pengaruh penguasa semacam ini dijumpai pada sebagian masa pada sebagian
person penguasa tertentu (Al Bidayah wan Nihayah, karya Ibnu Katsir 9/186).
Subscribe to:
Posts (Atom)
About us