ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Kaum muslimin (baca: para
shahabat) telah berijma’ bahwa khalifah pertama pengganti Rasulullah
adalah Abu Bakr Ash-Shiddiq. Namun ada sekelompok orang yang mengaku
sebagai muslimin, tidak menerima keadaan ini. Orang-orang yang mengaku
sebagai pecinta Ahlul Bait ini mengklaim bahwa Ali bin Abi Thalib lebih
berhak menjadi khalifah dibanding Abu Bakr Ash-Shiddiq. Mereka adalah
orang-orang Syi’ah. Uraian berikut mencoba membongkar berbagai
kebohongan yang menjadi pijakan sikap mereka.
Syubhat terbesar kaum Syi’ah adalah meragukan keabsahan khilafah Abu Bakr Ash-Shiddik . Mereka menganggap dibai’atnya Abu Bakr adalah tidak sah, karena Ali dan keluarganya atau Ahlul Bait tidak diajak musyawarah, padahal Ali lebih berhak menjadi khalifah daripada Abu Bakr atau Umar . Demikianlah syubhat Syi’ah yang mereka hembuskan di mana-mana, dengan kalimat yang sama dari tokoh Syi’ah yang berbeda-beda, bagaikan satu kaset yang diputar berulang-ulang.
Pemahaman sesat dari orang-orang Persia
ini selalu mengatasnamakan Ahlul Bait dan menganggap pemahamannya
sebagai “madzhab Ahlul Bait”. Sehingga yang paling mudah terbawa dengan
pemahaman Syi’ah ini adalah orang-orang yang mengaku sebagai turunan Ali
atau Alawiyyin, kecuali yang Allah rahmati. Ketika disampaikan kepada
mereka bahwa Ahlul Bait terdzalimi bangkitlah emosi kekeluargaannya.
Padahal apa yang disampaikan oleh kaum Syi’ah -yang merupakan jelmaan
kaum Majusi Persia- adalah kedustaan yang nyata dan tidak memiliki bukti
yang otentik.
Biasanya mereka mengambil
riwayat-riwayat tersebut dari kitab yang paling terkenal di kalangan
mereka yaitu Nahjul Balaghah, yang berisi ucapan-ucapan, khutbah-khutbah
dan sya’ir-sya’ir yang semuanya diatasnamakan Ali bin Abi Thalib.
Penulis buku tesebut mengesankan bahwa seakan-akan Ali tidak terima
dengan keputusan para shahabat memilih Abu Bakr sebagai khalifah. Bahkan
dinukil bahwa Ali mencaci dan mencerca Abu Bakr, Umar dan para shahabat
yang lain. Namun sayang penulis buku tersebut tidak membawakan
ucapan-ucapan Ali tersebut dengan sanadnya (rantai para rawi) sehingga
tidak dapat diperiksa keotentikannya secara ilmiah dengan standar ilmu
hadits.
Kitab ini -yang di kalangan kaum Syi’ah
sejajar dengan Al-Qur’an- ternyata disusun dan dikarang oleh seorang
tokoh sesat dari kalangan Syi’ah Imamiyyah Rafidah yang bernama
Al-Murtadla Abi Thalib Ali bin Husain bin Musa Al-Musawi (meninggal th.
436 Hijriyah). Yang telah dinyatakan oleh para Ulama Ahlus Sunnah
sebagai pendusta atas nama Ali bin Abi Thalib . Al-Imam Adz-Dzahabi
berkata ketika membahas biografi orang ini sebagai berikut: “Dia adalah
penghimpun kitab Nahjul Balaghah yang menyandarkan kalimat-kalimat yang
ada dalam kitab ini kepada Imam Ali tanpa disebutkan sanad-sanadnya.
Sebagian kalimat itu batil, meskipun juga di dalamnya ada hal yang
benar. Namun ucapan-ucapan palsu yang terdapat dalam kitab ini mustahil
diucapkan oleh Al-Imam Ali.” (Siyar A’lamin Nubala`, 17/589-590)
Beliau juga berkata: “…Barangsiapa
melihat buku Nahjul Balaghah, maka ia akan yakin bahwa ucapan-ucapan itu
adalah dusta atas nama Amirul Mukminin Ali, karena di dalamnya terdapat
caci-makian yang sangat jelas terhadap dua tokoh besar shahabat yaitu
Abu Bakr dan Umar. Juga tedapat ungkapan-ungkapan yang kaku (menurut
kaidah sastra Arab, pen.) bagi orang yang kenal jiwa bangsa Quraisy (dan
tingginya bahasa mereka, pen.) dari kalangan para shahabat. Dan
orang-orang setelahnya akan mengerti dengan yakin bahwa kebanyakan isi
kitab tersebut adalah batil. (Mizanul i’tidal 3/124 Lisanul Mizan,
4/223)
Ibnu Sirin menilai bahwa seluruh apa
yang mereka (kaum Syi’ah) riwayatkan dari Ali Radhiyallahu’anhu adalah
kedustaan. (Al-‘Alamus Syamikh, hal. 237). Juga Al-Khathib Al-Baghdadi
dalam kitabnya Al-Jami’ Li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’ (juz 2 hal.
161) telah memberikan isyarat tentang kedustaan kandungan kitab ini.
Syaikhul Islam berkata: “… sebagian besar khutbah-khutbah yang dinukil penyusun kitab Nahjul Balaghah adalah dusta atas nama Ali Radhiyallahu’anhu. Beliau terlalu mulia dan terlalu tinggi kapasitasnya untuk berbicara dengan ucapan seperti itu. Tetapi mereka merekayasa kebohongan dengan beranggapan bahwa hal itu sebagai sanjungan (terhadap Ali, pent.). Sungguh Itu bukanlah kebenaran, apalagi merupakan sanjungan….” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 8/55-56)
Syaikhul Islam berkata: “… sebagian besar khutbah-khutbah yang dinukil penyusun kitab Nahjul Balaghah adalah dusta atas nama Ali Radhiyallahu’anhu. Beliau terlalu mulia dan terlalu tinggi kapasitasnya untuk berbicara dengan ucapan seperti itu. Tetapi mereka merekayasa kebohongan dengan beranggapan bahwa hal itu sebagai sanjungan (terhadap Ali, pent.). Sungguh Itu bukanlah kebenaran, apalagi merupakan sanjungan….” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 8/55-56)
Sedangkan para ulama Ahlus Sunnah wal
Jama’ah telah meriwayatkan dengan sanad dan sanad tersebut telah
diteliti keshahihannya secara ilmiah ucapan-ucapan Ali
Radhiyallahu’anhu yang bertentangan dengan apa yang mereka riwayatkan
180 derajat. Di antaranya:
Pertama, riwayat yang menunjukkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu setuju dengan keputusan para shahabat. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ibnu Sirin dari Ubaidah, bahwa ia mendengar Ali Radhiyallahu’anhu mengatakan:
Pertama, riwayat yang menunjukkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu setuju dengan keputusan para shahabat. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ibnu Sirin dari Ubaidah, bahwa ia mendengar Ali Radhiyallahu’anhu mengatakan:
“Putuskanlah sebagaimana kalian
putuskan, sesungguhnya aku membenci perselisihan hingga manusia berada
dalam satu jamaah atau lebih baik aku mati seperti para
sahabat-sahabatku.” (HR. Al-Bukhari kitab Fadha`il Shahabah bab Manaqib
Ali z dengan Fathul Bari juz 7 hal 424 no 2707)
Kedua, diriwayatkan pula secara
mustafidh (dalam jumlah banyak) dari Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu’anhu sendiri, sebagaimana dalam Shahih Al-Bukhari dengan
menyebutkan sanadnya sampai kepada Muhammad ibnul Hanafiyah :
“Aku bertanya kepada bapakku (yakni Ali
bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu): Siapakah manusia yang terbaik setelah
Rasulullah ? Ia menjawab: “Abu Bakr”. Aku bertanya (lagi): “Kemudian
siapa?” Ia menjawab: “Umar.” Dan aku khawatir ia akan berkata Utsman,
maka aku mengatakan: “Kemudian engkau?” Beliau menjawab: “Tidaklah aku
kecuali seorang dari kalangan muslimin.” (HR. Al-Bukhari, kitab
Fadha`ilus Shahabah, bab 4 dan Fathul Bari juz 4/20)
Ketiga, Ibnu Taimiyah
berkata bahwa riwayat yang seperti ini (yakni riwayat di atas) telah
diriwayatkan dari Al-Imam Ali lebih dari 80 riwayat. Dan bahwasanya Ali
ibnu Abi Thalib Radhiyallahu’anhu pernah berbicara di mimbar Kufah,
mengancam orang-orang yang mengutamakan beliau di atas Abu Bakr dan Umar
dengan cambukan seorang pendusta.
“Tidak didatangkan kepadaku seseorang
yang mengutamakan aku diatas Abu Bakr dan Umar kecuali akan aku cambuk
dengan cambukan seorang pendusta.”
Maka ketika itu seorang yang mengatakan beliau lebih utama dari Abu Bakr dan Umar dicambuk delapan puluh kali cambukan. (Majmu’ Fatawa, juz 4 hal. 422)
Maka ketika itu seorang yang mengatakan beliau lebih utama dari Abu Bakr dan Umar dicambuk delapan puluh kali cambukan. (Majmu’ Fatawa, juz 4 hal. 422)
Keempat, Al-Imam
Al-Bukhari juga meriwayatkan dengan sanadnya yang bersambung dan shahih
sampai kepada Ibnu Abbas bahwa dia pernah menghadiri jenazah Umar bin
Al-Khaththab Radhiyallahu’anhu, dia berkata yang artinya:
“Sungguh aku pernah berdiri di kerumunan
orang yang bersama-sama mendoakan Umar bin
Al-Khaththab Radhiyallahu’anhu yang telah diletakkan di atas
pembaringannya. Tiba-tiba seseorang dari belakangku yang meletakkan
sikunya di kedua pundakku berkata: “Semoga Allah merahmatimu (Umar), dan
aku berharap agar Allah menggabungkan engkau bersama dua shahabatmu
(Yakni Rasulullah dan Abu Bakr) karena aku sering mendengar Rasulullah
bersabda: ‘Waktu itu aku bersama Abu Bakr dan Umar…’ ‘aku telah
mengerjakan bersama Abu Bakr dan Umar…’, ‘aku pergi dengan Abu Bakr dan
Umar…’. Maka sungguh aku berharap semoga Allah menggabungkan engkau
dengan keduanya. Maka aku menengok ke belakangku ternyata ia adalah Ali
bin Abi Thalib.” (HR. Al-Bukhari dalam Fadha`ilus Shahabah bab Manaqib
Umar bin Al-Khaththab, 7/3685, 3677, dengan Fathul Bari)
Syarat Pemimpin adalah Quraisy, Bukan Ahlul Bait
Alasan lain kaum Syi’ah Rafidhah yang menganggap bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah adalah karena Ali termasuk keluarga Rasulullah . Alasan ini seperti alasan Yahudi yang mengatakan bahwa penguasa harus dari keluarga Dawud. Tidak ada satu pun dalil yang menyatakan bahwa kepemimpinan atau khilafah harus dari kalangan Ahlul Bait.
Syarat-syarat seorang untuk layak menjadi pemimpin sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di antaranya syarat umum yang harus ada pada seorang pemimpin adalah Islam, baligh, berakal, merdeka (bukan hamba sahaya), laki-laki dan berilmu. Kemudian syarat-syarat khusus yaitu sifat-sifat yang harus ada pada seorang pemimpin yaitu keadilan, kesempurnaan mental, kesempurnaan fisik seperti ucapan Allah tentang Thalut yang Allah I angkat menjadi pemimpin:
Alasan lain kaum Syi’ah Rafidhah yang menganggap bahwa Ali lebih berhak menjadi khalifah adalah karena Ali termasuk keluarga Rasulullah . Alasan ini seperti alasan Yahudi yang mengatakan bahwa penguasa harus dari keluarga Dawud. Tidak ada satu pun dalil yang menyatakan bahwa kepemimpinan atau khilafah harus dari kalangan Ahlul Bait.
Syarat-syarat seorang untuk layak menjadi pemimpin sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di antaranya syarat umum yang harus ada pada seorang pemimpin adalah Islam, baligh, berakal, merdeka (bukan hamba sahaya), laki-laki dan berilmu. Kemudian syarat-syarat khusus yaitu sifat-sifat yang harus ada pada seorang pemimpin yaitu keadilan, kesempurnaan mental, kesempurnaan fisik seperti ucapan Allah tentang Thalut yang Allah I angkat menjadi pemimpin:
Nabi mereka mengatakan kepada mereka:
“Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka
menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak
mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi
kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata:
“Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu
dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah
memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 247)
Juga harus ada pada seorang pemimpin
sifat keshalihan dan ketaqwaan, karena Allah I akan mewarisi bumi ini
untuk orang-orang yang shalih:
“Sungguh telah Kami tulis di dalam
Zabur, sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini
akan diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang shalih.” (Al-Anbiya`: 105)
Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa
Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.
Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka
tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun
dengan-Ku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka
mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Oleh karena itu ketika Allah menjadikan
Ibrahim sebagai imam dan Ibrahim meminta keturunannya juga menjadi
pemimpin, Allah menyatakan bahwa kepemimpinan tidak akan diberikan
kepada orang-orang dzalim dari keturunannya.
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji
Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim
menunaikannya. Allah berfirman:
‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.”
Allah berfirman:
“Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dzalim.” (Al-Baqarah: 124)
Ibnu Katsir t berkata mengutip ucapan
Mujahid dalam menafsirkan ayat ini: “Artinya adalah: Adapun orang-orang
yang shalih dari mereka maka Aku (Allah) akan jadikan mereka sebagai
pemimpin. Adapun orang yang dzalim dari mereka, maka Kami tidak akan
menjadikannya sebagai pemimpin dan Kami tidak peduli.” (Tafsir Ibnu
Katsir, juz I, hal. 167)
Dengan demikian berarti kepemimpinan itu didapat bukan karena faktor keturunan, tetapi karena faktor keshalihan. Disamping itu, juga sifat yang harus ada agar seseorang layak menjadi pemimpin adalah kesabaran dan keyakinan yang tinggi. Allah juga berfirman:
Dengan demikian berarti kepemimpinan itu didapat bukan karena faktor keturunan, tetapi karena faktor keshalihan. Disamping itu, juga sifat yang harus ada agar seseorang layak menjadi pemimpin adalah kesabaran dan keyakinan yang tinggi. Allah juga berfirman:
“Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah: 24)
Sedangkan syarat terakhir dari seorang
pemimpin adalah Qurasyiyah (turunan Quraisy). Tentunya syarat ini adalah
setelah syarat-syarat tadi di atas. Maka kalaupun turunan Quraisy, jika
memiliki kekurangan-kekurangan dari sifat-sifat di atas, tentunya juga
tidak layak menjadi pemimpin atau khalifah. Namun jika ada beberapa
orang yang memiliki syarat-syarat di atas dan di antara mereka ada
seorang turunan Quraisy , maka tentu saja yang paling layak untuk
menjadi seorang pemimpin adalah dari turunan Quraisy .
Rasulullah menyatakan bahwa khalifah itu seluruhnya dari kaum Quraisy, sebagaimana dalam hadits:
Rasulullah menyatakan bahwa khalifah itu seluruhnya dari kaum Quraisy, sebagaimana dalam hadits:
“Dari Jabir bin Samurah z, ia berkata:
Aku masuk bersama ayahku menemui Rasulullah n, maka aku mendengar beliau
berkata: “Sesungguhnya urusan ini tidak akan lenyap hingga berakhir di
antara mereka dua belas khalifah”. Kemudian beliau berbicara dengan
ucapan yang tersamar atasku. Maka aku bertanya kepada ayahku: “Apa yang
dikatakan oleh beliau?” Ia menjawab: “Seluruhnya dari kalangan Quraisy.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dengan riwayat yang shahih ini jelaslah
bahwa pemimpin tidak harus dari kalangan Ahlul Bait. Tetapi Rasulullah
hanya mengatakan Quraisy. Maka setelah itu para ulama semuanya sepakat
bahwa syaratnya hanya Qurasyiyah, baik dari Ahlul Bait ataupun tidak.
Al-Imam Ahmad t berkata: “Khilafah ada pada Quraisy, walaupun manusia hanya tersisa dua orang. Dan tidak seorang pun dari manusia yang berhak untuk merebutnya dari mereka. Tidak keluar dari mereka dan kami tidak menetapkannya untuk selain mereka sampai hari kiamat.” (Thabaqat Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la; Lihat kitab Imamatul ‘Uzhma, Ad-Damiji, hal. 269)
Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi’i t menetapkan syarat ini dalam kitabnya Al-Umm juz 1, hal. 143.
Al-Imam Ahmad t berkata: “Khilafah ada pada Quraisy, walaupun manusia hanya tersisa dua orang. Dan tidak seorang pun dari manusia yang berhak untuk merebutnya dari mereka. Tidak keluar dari mereka dan kami tidak menetapkannya untuk selain mereka sampai hari kiamat.” (Thabaqat Hanabilah, Ibnu Abi Ya’la; Lihat kitab Imamatul ‘Uzhma, Ad-Damiji, hal. 269)
Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi’i t menetapkan syarat ini dalam kitabnya Al-Umm juz 1, hal. 143.
Al-Imam Malik t berkata: “Tidaklah
menjadi seorang imam kecuali orang Quraisy.” (Ahkamul Qur’an, Ibnul
‘Arabi, juz IV, hal. 1721; lihat Imamatul Udhma, hal. 269)
Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini, kecuali beberapa kelompok sempalan seperti Khawarij, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Sedangkan kaum Syi’ah Rafidhah menyempitkannya dan menganggap bahwa yang dimaksud Quraisy adalah Ahlul Bait.
Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini, kecuali beberapa kelompok sempalan seperti Khawarij, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Sedangkan kaum Syi’ah Rafidhah menyempitkannya dan menganggap bahwa yang dimaksud Quraisy adalah Ahlul Bait.
Orang-orang Syi’ah Rafidhah dari sekte
Imamiyah atau Itsna Atsariyyah meyakini bahwa kepemimpinan setelah
Rasulullah harus dari kalangan Ahlul Bait yaitu Ali bin Abi Thalib,
kemudian kepada Al-Hasan, kemudian Al-Husain kemudian terus kepada
turunan Al-Husain hingga berakhir dengan Al-Mahdi Al-Muntazhar (Al-Mahdi
yang ditunggu) yang dianggapnya Muhammad bin Al-Hasan Al-Askari yang
sudah lahir dan masuk gua, kemudian ditunggu keluarnya sampai hari ini.
Padahal sekian banyak hadits seluruhnya menyatakan dari Quraisy, dan
tidak ada satu pun riwayat yang menyatakan dari Ahlul Bait.
Tidak Ada Wasiat Khilafah untuk Ali bin Abi Thalib
Di antara alasan kaum Syi’ah menganggap Ali lebih berhak menjadi khalifah adalah riwayat-riwayat tentang wasiat. Padahal Rasulullah n wafat dengan tidak memberikan wasiat apapun, kepada siapapun, kecuali dengan Al-Qur’an.
Diriwayatkan di dalam dua kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Thalhah ibnu Musharrif:
Di antara alasan kaum Syi’ah menganggap Ali lebih berhak menjadi khalifah adalah riwayat-riwayat tentang wasiat. Padahal Rasulullah n wafat dengan tidak memberikan wasiat apapun, kepada siapapun, kecuali dengan Al-Qur’an.
Diriwayatkan di dalam dua kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Thalhah ibnu Musharrif:
Aku bertanya kepada Abdullah ibnu Abi
Aufa: “Apakah Nabi memberikan wasiat? Beliau menjawab: “Tidak.” Maka
saya katakan: “Kalau begitu bagaimana dia menuliskan buat manusia
pesan-pesannya atau memerintahkan wasiatnya?” Dia menjawab: “Beliau
mewasiatkan dengan Kitabullah.” (HR. Al-Bukhari; Fathul Bari juz 5 hal.
356, hadits 2340; dan Muslim dalam Kitabul Washiyyah juz 3 hal. 1256,
hadits ke-16)
Demikian pula diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah yang tentunya sebagai istri Rasulullah, yang beliau meninggal di pangkuannya, tentunya lebih tahu apakah Rasulullah berwasiat atau tidak. Dia berkata dalam riwayat Muslim:
Demikian pula diriwayatkan dari Ummul Mukminin ‘Aisyah yang tentunya sebagai istri Rasulullah, yang beliau meninggal di pangkuannya, tentunya lebih tahu apakah Rasulullah berwasiat atau tidak. Dia berkata dalam riwayat Muslim:
“Rasulullah n tidak meninggalkan
dirham; tidak pula dinar, tidak seekor kambing, tidak pula seekor unta
dan tidak mewasiatkan dengan apa pun.” (HR. Muslim, dalam Kitabul
Washiyyah, juz 3, hal. 256, hadits ke 18)
Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim lainnya dari Aswad bin Yazid, dia berkata:
“Mereka menyebutkan di sisi ‘Aisyah
bahwa Ali adalah seorang yang mendapatkan wasiat. Maka beliau (Aisyah)
berkata: “Kapan Rasulullah berwasiat kepadanya, padahal aku adalah
sandaran beliau ketika beliau bersandar di dadaku -atau ia berkata:
pangkuanku- kemudian beliau meminta segelas air, tiba-tiba beliau
terkulai di pangkuanku, dan aku tidak merasa ternyata beliau sudah
meninggal, maka kapan dia berwasiat kepadanya?” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Demikianlah riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak berwasiat ketika wafat sangat banyak, sehingga para shahabat seluruhnya memahami bahwa wasiat beliau secara umum adalah Al-Qur’an.
Diriwayatkan pula bahwa di antara keluarga Rasulullah yaitu Ibnu Abbas menyatakan pula kekecewaannya, karena Rasulullah tidak sempat berwasiat disebabkan silang pendapat di antara Ahlul Bait. Sebagian menyatakan cukup Al-Qur’an karena Rasulullah sedang dalam keadaan sakit yang parah. Sedangkan sebagian yang lain, mengharapkan Rasulullah menulis wasiat, hingga datanglah ajal beliau dalam keadaan belum sempat memberikan wasiat. Maka Ibnu Abbas berkata:
Demikianlah riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak berwasiat ketika wafat sangat banyak, sehingga para shahabat seluruhnya memahami bahwa wasiat beliau secara umum adalah Al-Qur’an.
Diriwayatkan pula bahwa di antara keluarga Rasulullah yaitu Ibnu Abbas menyatakan pula kekecewaannya, karena Rasulullah tidak sempat berwasiat disebabkan silang pendapat di antara Ahlul Bait. Sebagian menyatakan cukup Al-Qur’an karena Rasulullah sedang dalam keadaan sakit yang parah. Sedangkan sebagian yang lain, mengharapkan Rasulullah menulis wasiat, hingga datanglah ajal beliau dalam keadaan belum sempat memberikan wasiat. Maka Ibnu Abbas berkata:
“Sesungguhnya kerugian dari segala
kerugian adalah terhalangnya Rasulullah untuk menulis wasiat kepada
mereka, karena perselisihan dan silang pendapat mereka.” (HR. Al-Bukhari
dalam Kitabul Maghazi, bab Maradhun Nabi; Fathul Bari, juz 8, hal. 132
no. hadits 4432; Muslim dalam Kitabul Washiyyah, bab Tarkul Wasiat Liman
Laisa Lahu Syai`un Yuushi bihi, juz 3 hal. 1259, no. 22)
Dalam memandang kejadian ini, Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berburuk sangka kepada para shahabat, apalagi kepada Ahlul Bait dan keluarga dekat Nabi . Karena kedua belah pihak mengharapkan kebaikan. Sebagian mengharapkan ditulisnya wasiat untuk kebaikan umat, dan sebagian keluarga beliau merasa Rasulullah dalam keadaan sedang merasakan sakit yang berat, maka tidak perlu diganggu, sedangkan kaum muslimin sudah memiliki Al-Qur’an sebagai wasiat Rasulullah.
Dalam memandang kejadian ini, Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak berburuk sangka kepada para shahabat, apalagi kepada Ahlul Bait dan keluarga dekat Nabi . Karena kedua belah pihak mengharapkan kebaikan. Sebagian mengharapkan ditulisnya wasiat untuk kebaikan umat, dan sebagian keluarga beliau merasa Rasulullah dalam keadaan sedang merasakan sakit yang berat, maka tidak perlu diganggu, sedangkan kaum muslimin sudah memiliki Al-Qur’an sebagai wasiat Rasulullah.
Sebaliknya, kaum Syi’ah Rafidhah
menjadikan riwayat ini sebagai ajang pencaci-makian terhadap para
shahabat. Mereka mengira bahwa perbuatan para shahabat adalah untuk
menghalangi wasiat kepada Ali bin Abi Thalib dan untuk merebut tampuk
kepemimpinan, untuk kemudian diberikan kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq.
Ucapan mereka jelas batil dan dusta, karena Abu Bakr sendiri ketika itu
tidak ada di sana, beliau berada di daerah Sunh -di pinggiran kota
Madinah- yaitu di rumah salah satu istrinya. Bahkan ucapan mereka ini
justru mencerca dan mencela Ahlul Bait sendiri, karena yang berkumpul di
sana ketika itu kebanyakan adalah keluarga dekat beliau. Maka mereka
tidak pantas disebut pecinta Ahlul Bait. Lihatlah dalam riwayat yang
lebih lengkap sebagai berikut:
Dari Ibnu Abbas , bahwasanya Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu’anhu keluar dari sisi Rasulullah ketika sakitnya
beliau menjelang wafatnya. Maka manusia berkata: “Wahai Abal Hasan
(yakni Ali), bagaimana keadaan Rasulullah ?” Beliau menjawab:
“Alhamdulillah, baik.” Maka Abbas bin Abdil Muththalib (paman Rasulullah
) memegang tangan Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata kepadanya:
“Engkau demi Allah setelah tiga hari menjadi orang yang dipimpin.
Sungguh aku mengerti bahwa Rasulullah akan wafat dalam sakitnya ini,
karena aku mengenali wajah-wajah anak cucu Abdul Muththalib ketika akan
wafatnya. Mari kita menemui Rasulullah untuk menanyakannya, kepada
siapa urusan ini dipegang? Kalau diserahkan kepada kita, maka kita
mengetahuinya. Dan kalau pun untuk selain kita maka kitapun
mengetahuinya dan beliau akan memberikan wasiatnya.” Maka Ali bin Abi
Thalib menjawab: “Demi Allah, sungguh kalau kita menanyakannya kepada
Rasulullah kemudian tidak beliau berikan kepada kita, maka manusia tidak
akan memberikan kepada kita selama-lamanya. Dan sesungguhnya aku demi
Allah tidak akan memintanya kepada Rasulullah n.” (HR. Al-Bukhari,
Kitabul Maghazi, bab Maradhun Nabiyyi wa wafatihi; Fathul Bari, 8/142,
no. 4447)
Dr. Ali bin Muhammad Nashir Al-Faqihi
berkata: “Tidak cukupkah nash ini untuk membantah Rafidhah yang
mengatakan bahwa Rasulullah mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib dengan
khilafah? Kedustaan mereka jelas dengan hadits ini dari beberapa sisi:
Pertama, penolakan Ali untuk meminta khilafah atau menanyakannya.
Kedua, bahwa kejadian tersebut pada waktu wafatnya Rasulullah (yang membuktikan beliau tidak berwasiat).
Ketiga, kalau saja ada nash (wasiat) sebelum itu untuk Ali tentu dia akan menjawab kepada Abbas z, “Bagaimana kita menanyakan untuk siapa urusan ini, padahal dia telah mewasiatkannya kepadaku?” (Kitab Al-Imamah war Radd ‘Ala Rafidhah, Abu Nu’aim Al-Ashbahani dengan tahqiq Dr. Ali bin Muhammad Nashir Al-Faqihi dalam footnote-nya hal. 237-238; Lihat Badzlul Majhuud Fi Musyabahatir Rafidhah bil Yahuud, juz I hal. 191, Abdullah bin Jumaili)
Pertama, penolakan Ali untuk meminta khilafah atau menanyakannya.
Kedua, bahwa kejadian tersebut pada waktu wafatnya Rasulullah (yang membuktikan beliau tidak berwasiat).
Ketiga, kalau saja ada nash (wasiat) sebelum itu untuk Ali tentu dia akan menjawab kepada Abbas z, “Bagaimana kita menanyakan untuk siapa urusan ini, padahal dia telah mewasiatkannya kepadaku?” (Kitab Al-Imamah war Radd ‘Ala Rafidhah, Abu Nu’aim Al-Ashbahani dengan tahqiq Dr. Ali bin Muhammad Nashir Al-Faqihi dalam footnote-nya hal. 237-238; Lihat Badzlul Majhuud Fi Musyabahatir Rafidhah bil Yahuud, juz I hal. 191, Abdullah bin Jumaili)
Sungguh sangat jelas sekali dengan
riwayat ini, bahwa yang menolak untuk meminta wasiat justru Ali bin Abi
Thalib sendiri. Tentunya banyak riwayat-riwayat lain tentang kejadian
ini dan memang ketika itu beberapa hadirin ikut berbicara sehingga
suasana menjadi ramai dan berakhir dengan wafatnya Rasulullah dengan
tidak memberikan wasiat apapun tentang khilafah kepada siapa pun.
Bahkan diriwayatkan dari Aisyah kalau pun Rasulullah n memberi wasiat, niscaya beliau akan mewasiatkan penggantinya kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq :
Bahkan diriwayatkan dari Aisyah kalau pun Rasulullah n memberi wasiat, niscaya beliau akan mewasiatkan penggantinya kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq :
“Dari ‘Aisyah, ia berkata; Rasulullah
berkata kepadaku: “Panggillah Abu Bakr, ayahmu dan saudaramu, sehingga
aku tulis satu tulisan (wasiat). Sungguh aku khawatir akan ada seseorang
yang menginginkan (kepemimpinan, -pent.), kemudian seseorang berkata:
“Aku lebih utama.” Kemudian beliau bersabda: “Allah dan orang-orang
beriman tidak meridhai kecuali Abu Bakr.” (HR. Muslim 7/110 dan Ahmad
(6/144); Lihat Ash-Shahihah, juz 2, hal. 304, hadits no. 690)
Terus bagaimana mereka -kaum Syi’ah tersebut- menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib mendapatkan wasiat untuk menjadi khalifah setelahnya, ketika di Ghadir Khum? Mengapa mereka tidak menanyakannya kepada Ali bin Abi Thalib sendiri, padahal mereka mengaku pecinta Ahlul Bait?!
Kalau mereka benar-benar cinta kepada Ahlul Bait dan mengaku pengikut setia Ahlul Bait khususnya Ali bin Abi Thalib z, maka dengarkanlah riwayat-riwayat dari beliau dengan sanad yang shahih sebagai berikut:
Terus bagaimana mereka -kaum Syi’ah tersebut- menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib mendapatkan wasiat untuk menjadi khalifah setelahnya, ketika di Ghadir Khum? Mengapa mereka tidak menanyakannya kepada Ali bin Abi Thalib sendiri, padahal mereka mengaku pecinta Ahlul Bait?!
Kalau mereka benar-benar cinta kepada Ahlul Bait dan mengaku pengikut setia Ahlul Bait khususnya Ali bin Abi Thalib z, maka dengarkanlah riwayat-riwayat dari beliau dengan sanad yang shahih sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abu Thufail bahwa Ali z
ditanya apakah Rasulullah n mengkhususkanmu dengan sesuatu? Maka Ali
berkata: “Rasulullah n tidak menghususkan aku dengan sesuatu pun yang
beliau tidak menyebarkannya kepada manusia, kecuali apa yang ada di
sarung pedangku ini. Kemudian beliau mengeluarkan lembaran dari sarung
pedangnya yang tertulis padanya: Allah melaknat orang yang menyembelih
untuk selain Allah… “ (HR. Muslim)
Wallahu a’lam.
Wallahu a’lam.
1 Ahlul bid’ah biasa mencampurkan
kebenaran dengan kebatilan untuk menipu kaum muslimin. Maka kebenaran
yang ada dalam buku tersebut merupakan umpan agar diterima
kedustaan-kedustaan yang ada di dalamnya, pen.
sumber http://asysyariah.com/khilafah-tidak-mesti-pada-ahlul-bait.html
Sumber artikel : salafy.or.id
0 komentar:
Post a Comment