Labels

Saturday, April 14, 2012

aku masih disini


Aku Masih di Sini
oleh : Abu Abdillah Al Mandary
(Ruslan.....) 


Cerita ini  kumulai dari perit kecil, tidak jauh dari jalan utama, tepatnya dua jalan utama, dari  dua warna, dua rasa, dua kehendak, dan dua takdir. Iya… tentunya dengan dua ideologi yang berbeda. Sore itu, tidak seperti biasanya, titik-titik air mendahului mentari menyapa tanah keringku. Benar-benar kering. Sengatannya meredup setelah selimut mendung membentang di atas langit kotaku, Gaza.  Begitu orang mengenalnya. Perkenalkan, namaku Mahmud, kemarin usiaku genap 15 tahun.
Masa kecilku tidak begitu menye-nangkan, mungkin sangat tidak wajar jika dibandingkan dengan anak-anak seusiaku di kota lain, di negara lain, atau dengan kotamu. Serangan kaum Zionis Israel  telah mengubah dunia kami, negeri yang aman ini menjadi hutan puing dan mayat. Bertubi-tubi mereka menghujani tanah kami dengan senjata api, bom, dan  roket sejak 27 Desember 2008 hingga hari ini, Sabtu 10 Januari 2009. Birahi mereka dimuntahkan sekonyong-konyong untuk menguasai negeri ini. Tidak ada yang menyangka kami masih mampu salat di negeri mungil ini, hanya 360 km persegi. Tidak ada yang menyangka senjata AK-47, roket anti tank RPG, ranjau, dan beberapa jenis roket lokal yang sampai saat ini di pakai para mujahidin ternyata mampu menyumbat tipuan dan keonaran yang mereka tenun dengan senjata tercanggih selama perdaban manusia—tank Markava, pesawat tempur F-16, heli tempur Apache, serta ribuan ton bom buatan Gedung Putih, Negeri Paman Syam, Amerika Serikat.  Tidak ada yang menyangka senjata kolot kami memenangkan pergulatan itu. Allahu Akbar… pertolongan Allah begitu dekat. Hal yang paling mengerikan dari serangan mereka adalah serangan fosfor putih. Apa itu? Aku juga tidak tahu. Kata seorang pengungsi di posko pengungsian Jabaliya, tempat tinggalku sekarang bahwa senjata iu sangat berbahaya, mematikan, jika terkena, bisa menghanguskan kulit. Sebatas itulah pengetahuanku.
Aku bersembunyi di parit ini bersama seorang kawanku, tepatnya adikku, Osamah. Aku lebih tua setahun darinya. Mencuri informasi dan menuggu kelengahan penjaga menara adalah tujuan utamaku berada di sini. Ingin sekali kulemparkan bom fosfor ke menara itu atau sekadar kutembaki.
Dendamku pada mereka, kaum Zionis memang tak ada ujungnya. Mana mungkin kulupakan. Merekalah yang telah memenjarakan kami di sini. Di tanah kelahiran kami. Di tanah Palestina. Tanah para nabi. Tanah yang disucikan oleh tiga kepercayaan: Islam, Kristen, dan mereka sendiri, Yahudi. Mereka telah membuat penjara terbesar di dunia, penjara itu bernama Palestina. Bayangkan, tanah kami dibangunkan tembok setinggi delapan meter, 1/5 dari tinggiku. Panjangnya 750 km, dilengkapi kawat berduri, kawat beraliran listrik, menara pengawas, sensor elektronik, kamera video, pesawat pengintai tanpa awak, sniper, dan jalan untuk patroli kendaraan. Apa tidak gila? Dipenjara di tanah sendiri, diisolasi, kami tidak boleh keluar. Warga Gaza terpaksa menggali terowongan bawah tanah sepanjang puluhan kilometer, persis sarang tikus.  lewat terowongan inilah warga Gaza memenuhi kebutuhannya. Aku tahu persis itu.  Sebenarnya bukan hanya itu. Hal terpahit yang memenuhi hatiku adalah ingatanku akan kematian Abi dan Umi. Sore itu, seperti Petani yang lain, Abi dan Umi pergi ke ladang. Sekadar melihat tanaman yang Insya Allah akan di panen pekan ini. Paman Iqbal, teman Abi, beliau yang bercerita hal ini padaku. Sekitar pukul 5 sore, entah dari mana datangnya segerombol pasukan Israel itu, tiba-tiba mereka datang dan menembaki para petani. Sore yang tragis, “Abi… Umi…, Uhibbukum fillah”. Bibirku berdesis dengan air mata yang sudah membanjir. Mereka memisahkan laki-laki dengan perempuan. Abi berusaha melawan, tetapi kepala beliau dipukul dengan gagang senjata, beliau roboh, lalu disambut dengan hantaman sepatu serdadu-serdadu biadab itu. “Sungguh, betapa sakitnya” berontak benakku. Paman sendiri sekadar dipukul lalu beliau pingsan. Setelah itu… entah apa yang terjadi.

Malam yang dingin, disertai embusan udara kering betul-betul menusuk tulang. Rasa dingin itu membangunkan paman dari tidur panjang sore itu. Jam tangan coklat tua yang masih setia memeluk tangannya itu menunjukkan pukul 03.00 subuh. Beliau bangkit perlahan dan segera mencari yang lain, termasuk Abi. Beruntung, putri malam tertawa ceria subuh itu. Untuk sekadar membedakan wajah seseorang, masih bisa. “Innalillahi” Ujar paman. “semua sudah tergelepak, tubuh mereka kaku, tidak ada lagi, Abi juga, bernasib sama” imbuh Paman. Tangisku semakin menjadi-jadi, membasahi kaos biru yang kugunakan. Umi sendiri, kata Paman, sangat tragis. Beliau mengatakan bahwa Umi hampir telanjang. Ya… Allah semoga kedamaian selalu bersama Abi dan Umi dan laknat-Mu atas mereka, kaum Zionis. Hampir aku berteriak Allahu…. untunglah Osamah segera meletakkah tangannya di mulutku. Eh… ha…., kuhela nafas panjang. Menahan teriakan dan menenangkan perasaanku yang kacau. Hampir saja. Osamah memelukku erat.
Hampir magrib, ketika cahaya mega itu akan kembali ke peraduannya. “Tunggu” kataku pada Osamah. Kupastikan bahwa di luar sana sudah aman. “Ayo” sambungku. Kami melangkah pelan, sesekali merunduk, bersembunyi di antara bongkahan batu-batu coklat yang menjadi saksi bisu tangisanku, cerita hati, dan gaya kucing-kucingan kami pada tentara itu.
ѼѼѼѼѼѼ
Selesai salat Magrib aku mendekam di pengungsian. Sebenarnya,sangat ingin ke luar namun tidak diizinkan. Bunyi tembakan dan tank-tank baja sedari tadi terus sahut-sahutan. Entah berapa lagi korban yang jatuh. Aku, adikku, Paman Iqbal, dan tiga puluh orang lainnya yang bernasib sama berda di sini, pengungsian Jabaliya sejak sepekan yang lalu, ini perpindahan kami yang kesekian kalinya. Israel makin mengganas. Kata salah seorang mujahidin, tidak ada lagi gedung yang utuh, semua di serang, termasuk rumah ibadah dan sekolah bahkan sekolah yang dibangun oleh PBB sekalipun tak luput dari serangan itu. Serangan yang dilakukan dengan motif yang sama “Memburu pemberontak” begitu kata mereka. Lalu mengapa korban  tewas mayoritas justru anak-anak dan wanita?
Sekitar 20 pejuang al-Qassam menjaga pengungsian ini. Mereka, para mujahidin datang dari berbagai tempat sengaja berbabung dengan sayap milisi pejuang Hamas, Brigade Izzuddin al-Qassam. Aku kenal baik dengan salah seorang dari mereka, Yasir Ali Ukasyah namanya, dia seorang hafiz Quran dan sengaja bergabung dengan pasukan ini, katanya agar bisa syahid.
Perang di luar sana semakin menjadi-jadi, berkecamuk, suasana genting memenuhi tenda kami, rudal Israel terdengar begitu dekat, sangat dekat. Aku melihat delapan orang pejuang pergi meninggalkan kami. Aku tidak tahan lagi berlama-lama di sini. Aku lari dari pengungsian itu seorang diri setelah sekitar lima orang pejuang menyusul mereka yang telah lebih dahulu pergi. Astagfirullah begitu hebat, rudal-rudal itu datang begitu cepat dan meledakkan semua yang dijumpainya. Malam yang mengerikan. Aku tidak tahu di mana para mujahidin itu. Aku ingin kembali ke pengungsian namun… malang, rudal itu mendahuluiku, aku berteriak histeris, Allahu Akbar…. Allahu Akbar…. Allahu Akbar…. Semuanya habis dilalap. Hanya warna merah yang kulihat membumbung tinggi di udara disertai asap-asap yang berlomba-lomba naik ke awan, mengantarkan mereka warga gaza, para mujahid, dan Adikku, Usamah. Air mataku tertumpah malam itu, apakah sekang aku hidup sendiri. Kututup wajahku. Aku tidak sanggup.  Ya…Allah. Semoga tempat yang baik menanti kalian di sana.
Aku masih berdiri di sini, sekitar 30 meter dari pengungsian itu. Di samping kanan dan kiriku hanya ada batu-batu yang berserakan, saksi bisu, kesendirianku kini. Tapi untuk apa? Tidak mungkin tank-tank itu dilawan dengan batu. Tidak berselang lama, ada hal yang aneh kurasakan di belakangku, di punggung kananku, sedikit perih, kucoba merabanya, cairan. Berwarna merah. Pekatnya malam itu kurasa sedikit bergoyang. Mungkin itu peluru nyasar di punggungku. Aku terjatuh. Kucoba tenangkan diri “Aku masih kuat.  Aku masih di sini. Aku masih akan di sini, bersama mereka yang menjual waktu demi semburat kedamaian esok pagi, aku…” bunyi pun rasanya tidak sanggup lagi. Pemiliknya telah memanggilnya pulang.  Hanya tinggal ingatanku,  kukumpulkan semua kemampuanku sekadar menutup cerita sejarah keberadaanku  dengan sesuatu yang dijanjikan “Ashaduallailahaillallahu waasy-haduanna muhammadarrasulullah”.
ѼѼѼѼѼѼ
Yo… Riyo… Riyo… bangun Nak. sudah Subuh. Hah…Alhamdulillah Allahu Akbar. Aku segera sujud Syukur. “Ya… ternyata itu mimpi.”  Kamu mimpi apa?  Seru Pak, seru… “Apanya yang seru?” lanjut Bapak.  “Nanti sajalah setelah salat subuh.” Aku bergegas ke WC, bersih-bersih lalu berwudu. Kumandang Azan sedari tadi, sebentar lagi Qamat.
Rasanya aku baru saja melakukan penjelajahan yang sungguh menakjubkan. Sungguh aku tidak menyangka akan menjadi peran utama dalam tayangan tentang kekejaman Israel di Palestina yang kutonton malam tadi. Mereka membantai tanpa ampun, tanpa alasan, dan tanpa hati nurani layaknya mesin penghancur yang terus bergerak menyebar kekacuan. Aku merasa begitu sedih sekaligus beruntung. Sedih melihat ketidakadilan yang mereka alami di Gaza. Penjara terbuka, itu mungkin julukan yang tepat. Dunia ditenjangi dengan menunjukkan kekuatan mereka, PBB dibungkam, dan Hak Asasi Manusia telah di bunuh sebelun ia lahir ke dunia. Rasa beruntungnya adalah hal itu tidak terjadi di negaraku, Indonesia. Aku beruntung masih memiliki dua orang, kekasih yang begitu setia menemaniku, Pak Umar dan Ibu Muliati. Aku beruntung karena negeriku jauh dari konflik seperti itu.
Di subuh ini, di sujud terakhirku, kutitip doa yang sepenuh penuhnya, setulus hatiku,  untuk mereka, saudara-saudaraku di Gaza Palestina Selatan. “… semoga Allah menguatkanmu, memberimu kesabaran, mengangkat derajatmu, dan membangunkan istana di jannahnya….” Kututup doaku dengan seikat doa dunia akhirat untuk mereka semua, kaun Muslimin di mana pun berada dan doa cinta untuk bapak dan ibu tercinta. Rabbana Atina Fiddunya Hasanatawwafilakhiratihasanatawwakina Azabannar. Rabbigfirli Waliwalidayya Warhamhuma Kama Rabbayani Sagiro.


Abu Abdillah
Makassar, April 2012







0 komentar:

Post a Comment

About us