Labels

Wednesday, April 4, 2012

KEMANAKAH IA?


Sejenak, kadang kuberfikir tentang arti seorang da’i itu. Pergeseran prinsip da’i beberapa tahun sebelumnya dengan yang sekarang sungguh sudah ada yang berubah menurut kaca mata subyektifku, banyak atau sedikitnya, wallahu a’lam. Sehingga menghadirkan perbedaan defenisi tentang da’i di zamanku dengan di zaman mereka, para assabiquna awwalun kami. Juga, telingaku yang berjumlah dua ini sering mendengar  untaian-untaian mutiara siroh dari bibir pejuang, para Assabiquna awwalun kami, sosok insan hamba Allah yang telah menorehkan tinta sejarah yang berwarna-warni, merah, putih, hitam, bahkan emas yang kemudian berpadu menjadi satu dan melahirkan segumpalan cerita, yang memotivasi diri setiap pejuang yang mendengarnya. Siroh yang memiliki makna implisit, yaitu perbandingan seorang duat kampus di zamanku dan di zamannya. Sebuah kata yang kemudian lahir dari makna implisit tersebut, menggiliat di kepalaku, terus menggeliat.. Kata itu adalah “ADAB”.
baca lebih lanjut>>

 Ya betul saudaraku, Adab dari seorang muslim, yang seharusnya dimiliki oleh makhluk Nya yang telah melegitimasikan dirinya sebagai Pejuang Dakwah Kampus. Kemanakah ia pergi? Kemanakah makhluk itu bersembunyi? Apakah ia kebingungan mencari tempat yang pas untuknya bereksistensi? Karena ternyata seorang duat kampus pun tak pantas lagi ia jadikan sebagai tempat untuk bereksistensi. Tanyakan pada diri kita, apakah surah Al Ashr tak mampu lagi menjadikan kita sebagai “Pejuang Dakwah” yang On-Time ditiap ikrar perjanjian waktu Musyawarah? Apakah kita tak mampu lagi membedakan mana yang tua dan mana yang sebaya dengan kita, sehingga ilmu adab dalam bergaulpun bagai tak pernah singgah ditelinga kita? Apakah kekuatan Do’a orang yang terdzhalimi tak mampu lagi membuat kita takut untuk meminjam barang-barang saudara kita untuk megembalikannya tepat pada waktunya?? Dimana saudara kita dengan prasangka baiknya mempercayai kita bahwa kita mampu mengembalikannya tepat pada waktunya. Apakah bahaya fitnah syahwat tak lagi membuat kita takut untuk menundukkan pandangan terhadap si “DIA”? Makhluk indah Allah yang begitu “ganas” melontarkan fitnahnya. Bahkan kita merasa terbiasa dengan hal tersebut, dan tak pelak khayalan semu dan Riya menjadi bumbu penyedap dosa itu. Kita kemanakan ilmu-ilmu kita selama ini? Yang nampak… kita bagai orang-orang sekuler yang bermusyawarah, naiknya suara, terhamburnya majelis, dan sanggahan yang tak syar’i menjadi hal yang lumrah yang bisa kita temukan di majelis musyawarah para “PEJUANG”. Apakah majelis-majelis ilmu, yang Alhamdulillah sudah mudah kita dapatkan, justru dengan mudahnya pula kita lewatkan begitu saja? Merasa puaskah dengan ilmu kita? Tidak takutkah kita dengan perkataan yang kita lontarkan, merajut menjadi untaian kalimat, yang  memotivasi, menambah ilmu kita, dan yang melarang kita dari kesia-siaan dan kemungkaran, ternyata hanya dibibir saja? Hingga panutan pun menjadi barang yang langka, layaknya BBM.
Saudaraku… Ternyata aku bercerita tentang diriku sendiri.
--Abu Yusuf--
Ditengah guyuran hujan  di Desa Tonra, Kab. Gowa
Pukul 15.21 Waktu Notebook.

0 komentar:

Post a Comment

About us